Kebijakan Ditjen Dukcapil Kemendagri untuk mewujudkan Kartu Tanda Penduduk yang benar-benar digital, sudah diumumkan sejak Juni 2021 lalu. Konsep KTP baru ini sekilas memudahkan sekaligus menegaskan bahwa e-KTP lama yang dimiliki mayoritas masyarakat sebetulnya kurang bertaji. Dosa apa kita sampai kudu satu negara dengan koruptor bernama Setya Novanto, yang membuat huruf ‘e’ di KTP jadi terasa abal-abal.
Menurut Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, sejak 2021 lembaganya udah menguji coba pemakaian e-KTP digital di 58 kabupaten dan kota. Uji coba itu masih berjalan sampai sekarang sehingga aplikasinya belum bisa diakses masyarakat umum.
Videos by VICE
Teknisnya bakal kayak gini. Kelak, e-KTP digital bisa dimiliki oleh warga yang udah punya e-KTP jadul itu (huft). Untuk mulai menggunakan, dimulai dengan warga mengunduh aplikasinya lewat Play Store atau App Store. Habis itu pengguna harus mendaftar dengan cara mengisi NIK, alamat email, dan nomor ponsel.
Kelar ngisi, pengguna diminta melakukan verifikasi lewat face recognition. Jujur saja, bagian ini bikin kami khawatir mengingat kualitas foto e-KTP udah jadi urban legend tersendiri. Apabila lulus pengenalan wajah, pengguna akan diminta memverifikasi email. E-KTP digital siap dipakai jika pengguna lolos di semua tahap itu.
Preview penggunaan e-KTP digital di YouTube pribadi Dirjen Dukcapil sih tampak menjanjikan. Nantinya, setiap harus setor e-KTP ketika mengurus administrasi apa pun, kita cukup nyetor QR code yang tersedia di aplikasi tersebut. Fitur supaya enggak perlu fotokopi ini juga ditekankan Dirjen Dukcapil kepada kantor-kantor Dukcapil di daerah.
“Ini juga penting saya sampaikan, bagi kantor-kantor untuk tidak lagi meminta fotokopi dokumen kependudukan dari masyarakat, tetapi menggunakan akses verifikasi data langsung dari Dukcapil karena dokumennya sudah menjadi data digital,” kata Zudan, Sabtu (1/1), pekan lalu, dilansir Merdeka.
Preview juga menampakkan bahwa selain data e-KTP, aplikasi turut menampilkan data vaksinasi, NPWP, kepemilikan kendaraan, dan kepegawaian (bagi PNS). Btw variasi data yang ditampilkan aplikasi lebih sedikit daripada yang disebut Zudan pada Juni lalu. Waktu itu doi sampai menyebut data ijazah, paspor, dan rekening bank segala.
Hal lain yang langsung terasa, aplikasi ini enggak pake diksi “e-KTP” melainkan hanya “KTP digital”. Dimaklumi sih, emang siapa dah yang enggak terganggu dengan ironi “e-KTP digital”.
Zudan menjelaskan, KTP digital ini akan melekat di ponsel WNI. Dengan demikian, jika ponsel hilang, pemilik perlu datang ke kantor Dukcapil setempat buat mengirimkan KTP digital lagi ke ponsel baru.
“Tidak perlu mencetak blanko dan tidak menyimpan di dompet. Dokumen cukup di hape, foto KTP didigitalkan berupa QR code. Butuh datanya tinggal scan QR, tidak perlu fotokopi,” imbuh Zudan, Kamis (6/1) lalu, dilansir CNBC Indonesia. Ia juga menyebut ada penghematan anggaran sangat besar dengan fitur baru ini. Namun, tujuan KTP digital versi Dukcapil bukan buat ngirit ya, melainkan memudahkan pelayanan publik dan mencegah pemalsuan data.
Tambahan lain soal KTP digital ialah penggunaannya akan dilakukan bertahap, mengingat tak semua WNI memiliki ponsel dan tidak meratanya jaringan internet di semua daerah. Zudan berjanji pula, selama masa transisi, e-KTP lama itu berbentuk fisik itu masih dipakai.
Anehnya, dalam update Dukcapil kali ini, tak lagi disebut soal aplikasi KTP digital ini bisa melacak pergerakan ponsel penduduk, sebagaimana dipaparkan Juni tahun lalu. Dukcapil jelas utang penjelasan soal ini.
Di balik kemudahan paperless yang ditawarkan KTP digital, kekhawatiran dan skeptisisme pegiat perlindungan data pribadi tentang keamanan data penduduk tak terelakkan. Juni lalu, perwakilan Task Force Perlindungan Data Pribadi di Asosiasi Fintech Indonesia Marshall Pribadi mewanti-wanti agar ada pengelola database KTP digital di luar pemerintah. “Bisa BUMN atau swasta, yang mengelola identitas digital. Ini agar ketika satu sumber diserang, ada cadangan atau back-up,” kata Marshall kepada Katadata waktu itu.
Komentar Marshall masih moderat dibanding respons peneliti keamanan siber Teguh Aprianto. Ia langsung menentang gagasan KTP digital. “[Ide ini] konyol. Soalnya kita bisa bilang e-KTP aja udah produk gagal. Dulu e-KTP katanya juga kayak gitu [untuk mewujudkan satu data]. Apalagi kita tahu mereka [pemerintah] payah dalam hal keamanan data,” ujar Teguh kepada VICE. “Kita semua tahu Dukcapil selama ini sudah memberi data ke pihak ketiga. [Tindakan seperti itu bagi] kita sebagai warga negara keuntungannya apa?”
Kata Teguh, KTP digital baru boleh diadakan setelah pemerintah Indonesia membuktikan diri mampu menjaga keamanan data. Pasalnya, data terintegrasi justru memicu bahaya lebih besar manakala bocor. Ia juga menekankan harus ada prosedur persetujuan warga apabila Dukcapil hendak memberikan data kependudukan ke pihak ketiga.
Budaya memfotokopi e-KTP (beserta KK dan bermacam dokumen kependudukan lain) saat mengurus administrasi kependudukan sudah jadi objek gibah dan materi meme abadi netizen Indonesia. Meme ini salah satu aja. Dampaknya pada VICE, kami sampai perlu bertanya pada pengamat kebijakan publik Agus Pambagio soal alasan e-KTP, KK, dan lain-lain masih perlu difotokopi ketika data kependudukan konon telah terintegrasi secara online.
Kata Agus sih, budaya fotokopi dokumen kependudukan bisa dengan mudah dibunuh. Caranya muda, kantor pemerintah dan swasta yang sering minta e-KTP cukup menyediakan card reader buat membaca KTP elektronik kita.
Namun, mengapa Dukcapil tak memakai solusi itu dan justru bikin aplikasi ponsel? Apakah maksudnya e-KTP lama kita adalah barang gagal yang isinya kosongan? Kenapa sistem administrasi ini enggak cukup dengan menyebutkan NIK aja dan otomatis data keluar? Kenapa pengantar RT-RW tetap harus ada, berbentuk fisik, padahal ketua RT-RW sering susah ditemui? Dan yang terpenting, jaminan apa yang Dukcapil berani kasih agar kita percaya data kita aman? Apa sanksinya kalau akhirnya bocor juga?
Pusing.