Travel

Dulu Dikuasai Kartel Narkoba, Kini di Kolombia Banyak Paket Wisata ‘Narcos’

Beberapa tahun terakhir, Kolombia mulai konsisten menduduki puncak daftar “Negara Terbaik untuk Pelesiran.” Uniknya, di saat yang sama, negara Amerika Latin ini tetap berada dekat puncak daftar lain yang lebih mengerikan, yaitu negara-negara paling mematikan sedunia. Kami ngobrol bareng jurnalis foto pemenang penghargaan Mads Nissen, yang meliput beberapa konflik paling brutal di Kolombia, situasi perdamaian antara pemerintah dan gerilyawan kiri yang rapuh, serta realitas sejarah negara yang menakjubkan ini.


Mads Nissen menghabiskan hampir 20 jam di balik setir mobil sewaan, sebelum akhirnya tiba di kamp Pasukan Pembebasan Revolusioner Marxis (FARC), yang terletak di pedalaman hutan hujan Kolombia. Dari radio mobil terdengar iklan militer dari pemerintah.

Iklan itu menyatakan: Mampukah kamu berjuang keras untuk negaramu? Mampukah kamu membopong mayat teroris di bahumu?

Videos by VICE

Nissen sontak bergumam, “Tunggu dulu. Bukannya kalian sedang mengupayakan kesepakatan damai?”

“Orang-orang Colombia berkata ‘Kita lebih dari sekadar kokain dan kopi,’ tapi mereka juga tidak bisa mengelak bahwa lebih dari 90 persen kokain di Benua Amerika berasal dari Kolombia.”

Jurnalis foto asal Denmark ini—yang mendokumentasikan konflik sipil Kolombia sejak 2010—sedang mengerjakan sebuah potret ambisius negara ini seiring dengan upayanya mencapai perdamaian, setelah lima dekade konflik yang menewaskan sekitar 220,000 orang.

Gerilyawan FARC berpose di tengah hutan: Daniela, Yuli, dan Nancy. Foto oleh: Mads Nissen

Kesepakatan damai bersejarah pada 2016 menyatukan Presiden Juan Manuel Santos dan pemimpin pemberontak FARC Timochenko: laki-laki yang sejak lama dijuluki teroris, dan pernah menyebarkan foto bersama Nissen ke Twitter (“Saya merasa dimanfaatkan,” canda sang fotografer).

Lewat foto-foto yang kini dikumpulkan dalam buku Nissen berjudul We Are Indestructible—yang sebagian besarnya diambil setelah momen kesepakatan damai—sang fotografer kawakan ini ingin menunjukkan gambaran yang lebih utuh soal sisi lain Kolombia. Yaitu: pemberontak gerilya, anggota geng, produksi kokain, penduduk sipil yang hidupnya terkena dampak.


Tonton dokumenter VICE yang mendapat akses ekslusif merekam kehidupan anggota kartel narkoba Sinaloa yang paling berkuasa di Meksiko:


Nissen menunjukkan gambar-gambar ladang luas berisi tanaman ganja; anggota geng bertopeng dan bersenjata; seorang siswi fokus pada ponselnya, dengan santai berdiri di gunung yang dipenuhi ranjau (“Ada orang yang meninggal dunia akibat ranjau, tak jauh dari tempat foto ini diambil”).

Laboratorium kokain tersembunyi di Santa Rosa de Osos. Foto: Mads Nissen

Saat Nissen pertama kali memasuki wilayah yang dikuasai gerilyawan, dia sempat gentar. Beberapa laki-laki bersenjata mengelilinginya. Hal pertama yang dia sadari soal para pemberontak—yang dia gambarkan sebagai gerombolan laki-laki berusia 20-an, cerdas, dan berwawasan luas—adalah mereka mempunyai subkultur tersendiri. “Kamu bisa lihat lah, dari penampilan mereka, cara mereka berpakaian. Mereka merokok lebih banyak ketimbang orang Kolombia pada umumnya.”

Kala itu, Nissen sangat gugup. Jadi dia melontarkan kelakar. Salah satu laki-laki itu berujar, “Kau tidak takut pada kami?” Nissen bilang, “Kenapa aku harus takut, hanya karena kalian punya bisnis sampingan jadi kartel narkoba?!” Hening seketika. Nissen ingat betapa tegangnya situasi itu. Untungnya, tak lama kemudian mereka semua terbahak-bahak. Nissen bernapas lega. Joan, Jon dan Brian bertahan hidup dengan melakukan pencurian dan pembunuhan

Lalu mereka bertanya lagi, “Facebook itu apa, sih?” Mereka tidak diizinkan menggunakan ponsel, karena pemerintah bisa mendeteksi sinyalnya. Bagi mereka, Nissen adalah satu-satunya jendela menuju dunia luar.

Joan, Jon dan Brian bertahan hidup dengan melakukan pencurian dan pembunuhan. Foto: Mads Nissen

Di tengah situasi perdamaian yang masih sangat dini itu, berita soal popularitas Kolombia sebagai tujuan wisata pelancong global bermunculan di mana-mana. Majalah Forbes menyertakan Kolombia dalam daftar 10 Coolest places to Visit pada 2015; Culture Trip merilis artikel berjudul The Meteoric Rise of Colombia Tourism; The Telegraph menerbitkan artikel Colombia: from failed state to Latin American powerhouse, membahas bagaimana negara ini bertransformasi selama dua dekade terakhir. Banyak artikel menunjukkan peningkatan stabilitas politik sesudah tercapainya kesepakatan perdamaian, pertumbuhan ekonomi, investasi, dan perbaikan taraf hidup kelas menengah.

“Ada banyak masyarakat di Kolombia yang sekarang masuk kategori kelas menengah,” ungkap Nissen. “Tentu saja jadinya banyak lingkungan anak muda kreatif di Bogotá. Ada banyak galeri, banyak mahasiswa, kafe yang seru-seru, restoran enak, dan makanan yang luar biasa. Saya jadi makan terus!”

Colombia Reports, situs berita nirlaba, menyatakan “Industri wisata Kolombia sudah meningkat lebih dari 300 persen sejak 2006, saat satu juta warga negara asing mengunjungi negara ini.” Situs ini sekaligus melaporkan bahwa pada 2017, negara ini dikunjungi lebih dari tiga juga wisatawan asing. Selain itu, Bogotá disebut-sebut sebagai tujuan wisata paling digemari, disusul Cartagena dan Medellín. Tempat yang disebut belakangan dulunya merupakan pusat pembunuhan beruntun, kampung halaman mendiang gembong narkoba Pablo Escobar.

Alexandra Mazo usia 12 tahun, hidup di dekat kamp gerilyawan FARC. Foto: Mads Nissen

Membahas soal Kolombia memang tak lengkap tanpa menyebut Narcos, serial Netflix yang populer mengangkat kisah hidup Pablo Escobar dan perang narkoba di negara Amerika Latin tersebut. Sebagian besar adegan dalam serial ini direkam betulan di Kolombia, tepatnya di Bogotá dan Medellín. Termasuk adegan Escobar ditembak mati pada bubungan atap yang direkam di lokasi berjarak dua rumah dari tempat kejadian.

Ada bukti bahwa lonjakan jumlah wisatawan di tempat-tempat seperti Medellín berkaitan dengan popularitas Narcos. Ketertarikan turis asing pada babak yang kelam ini dalam sejarah Kolombia sangat tinggi. Bahkan, sekarang wisatawan bisa memesan tur pribadi ke tempat-tempat yang pernah dihuni Escobar, atau bergabung ke Pablo Escobar History Tour di kota kelahirannya. Banyak tur sejenis meraup untung dari popularitas serial Netflix tersebut.

“Menyaksikan Narcos sesungguhnya menarik…” ujar Nissen, yang sempat diam untuk berpikir sebelum melanjutkan obrolan. “Sulit rasanya, karena kita menonton serial ini tapi kita tidak membaca buku sejarahnya, jadi kesan kita hanya berdasarkan percampuran antara dokumenter dan fiksi.”

“Berlayar menuruni sungai, mengemudi di jalanan yang buruk, bahkan mengendarai seekor keledai menjadi ladang ranjau—Nissen tahu daerah berbahaya lebih baik daripada area aman.”

Nissen mengingatkan saya, kalau banyak warga Kolombia yang membenci serial itu. Mereka bilang, Kolombia lebih dari sekadar kokain dan kopi. Itu benar, kata Nissen, meski mereka tetap tak bisa mengelak bahwa lebih dari 90 persen kokain di jalanan Amerika berasal dari Kolombia.

“Saat ini bahkan kartel Kolombia memproduksi kokain dalam jumlah paling banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Saya tahu warga Kolombia ingin punya reputasi berbeda dari Narcos, tapi begitulah kenyataannya. Mungkin mereka perlu mulai menerima fakta di lapangan.”

Saya bertanya soal perbedaan antara serial Netflix dengan kenyataan yang dia saksikan. “Saya rasa gembong narkoba level atas tak lagi membawa senjata kemana-mana. Sekarang mereka mengenakan jas dan mungkin bahkan tidak tinggal di Kolombia,” ujarnya.

“Yang saya dengar dari lapangan, termasuk dari para diplomat dan orang-orang di divisi anti-narkotika PBB, adalah produksi narkoba Kolombia sudah diambil alih kartel Meksiko.”

Cahaya buatan digunakan untuk meningkatkan produksi ganja. Lokasi di Miranda, Cauca Dep.

Potret Narcos tentang Kolombia sebagai negara yang dirusak oleh narkoba dan kekerasan adalah realitas yang berusaha diubah perusahaan wisata seperti Visit Colombia. Video promosi wisata perusahaan ini menampilkan seorang perempuan berpakaian bikini menikmati pantai yang hampa dan orang-orang berdansa di bar yang diterangi lilin, senyuman, dan suasana ceria.

Video itu diakhiri dengan seorang laki-laki berkata, “Satu-satunya risiko di Kolombia adalah Anda jadi ingin tinggal di sini selama-lamanya.” Ucapan itu tentu saja parodi untuk mengubah citra miring zaman Escobar masih berkuasa. Iklan ini hendak mengatakan, Kolombia dikuasai kartel narkoba tuh dulu, sekarang semua berbeda.

Namun dewasa ini ini, tetap saja, pertanyaan yang dilontarkan wisatawan di mana-mana adalah: Seberapa aman jika kita pelesir ke Kolombia?

Dalam saran resmi pemerintah Inggris Raya soal kunjungan ke Kolombia, ada peta di mana sebuah area besar ditandai dengan tulisan “jangan dikunjungi kecuali ada keperluan penting.” Tak satupun dari tujuan favorit wisatawan—Bogotá, Medellín, Cartagena, Cali—masuk ke dalam zona tersebut.

Pemerintah Inggris Raya juga mencantumkan kawasan-kawasan pedesaan yang sebaiknya tidak dikunjungi, dan menyebut bahwa “situasi keamanan yang memburuk di sepanjang perbatasan Kolombia-Ekuador,” tempat terjadinya serentetan penculikan. Terakhir, mereka juga meyakinkan wisatawan bahwa, “Meski tingkat kriminalitas tinggi, sebagian besar kunjungan ke Kolombia bebas masalah.”

Pemakaman seorang tetua adat. Foto: Mads Nissen

Nissen punya saran khusus untuk para wisatawan asing. Dia bilang, “Ya, waspada saja.” Sebagian orang yang dia potret rela membunuh demi uang. “Pastikan mereka mendapatkan sesuatu,” ujarnya. “Jangan mencoba melawan, jangan sok pahlawan. Itu adalah hal paling tolol yang bisa kamu lakukan, karena mereka putus asa.”

Dia juga bilang, jangan mencegat taksi dari pinggir jalan. Kenapa? “Karena bisa saja mereka membawamu ke suatu tempat lalu merampok barang-barangmu.” Saya kemudian bertanya, bagaimana dengan taksi jalanan di kota-kota modern seperti Bogotá atau Medellín? Dia bilang, “Ya sama saja. Tapi, ya, saya memang enggak akan asal mencegat taksi di banyak negara.”

Hal terbaik yang bisa dilakukan, menurutnya, adalah memesan taksi lewat aplikasi, karena kita bisa mengikuti jejaknya. Atau, minta staf restoran untuk menelpon taksi, jadi mereka punya kodenya. “Tapi semua orang tahu ini kok, jadi sebenarnya mudah saja menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.”

Didiller Angulo, usia 9 tahun. Tinggal di Bogota. Foto: Mads Nissen

Saya tidak menyangka keadaannya begitu modern. Dia bilang, saya bisa dengan mudah berkunjung sebagai wisatawan. “Saya rasa di Cali, Medellín, Bogotá, banyak orang terkejut betapa modern dan berfungsi kota ini,” ujarnya.

“Ada banyak restoran enak. Saya juga pernah ke pesisir, tapi itu bukan kawasan yang kamu mau kunjungi sebagai wisatawan. Coba ngobrol dengan warga lokal, mereka paham daerahnya. Jadi mereka bisa kasih tahu kawasan mana saja yang berisiko.”

Tentu, Nissen telah menyaksikan sisi lain Kolombia. Menjelajah satu demi satu teritorial, terbang empat belas kali, melewati sungai, mengemudi di jalanan rusak, dan bahkan mengendarai seekor keledai melewati ladang ranjau, sang fotografer lebih mengenali kawasan-kawasan berbahaya dibandingkan kawasan-kawasan aman. Meski demikian, dia bilang Kolombia tetap menjadi salah satu negara kesukaannya. “Saya akan berkunjung lagi dengan anak-anak saya,” katanya, dan berimbuh dia perlu melakukan riset lebih mendalam terlebih dahulu.

Gerilyawan bernama Over dan anjingnya. Foto: Mads Nissen

Dia masih ingat saat-saat sebelum meninggalkan Kolombia setelah 8 tahun memotret di sana. Nissen kembali cemas, namun kali ini bukan karena gerilya bersenjata; melainkan karena anjing-anjing pengendus di bandara udara.

“Saya takut karena saya pernah mengunjungi laboratorium kokain,” ujarnya. “Di bandara ada anjing-anjing penjaga yang bisa mengendus jejak-jejak narkoba. Saya langsung menggosok-gosok pakaian saya!”

Pada akhirnya dia lolos pemeriksaan imigrasi. “[Para produsen kokain] menjelaskan pada saya, karena mereka paham betul apa saja yang bisa dan tidak bisa diendus anjing penjaga. Pada dasarnya mereka menceritakan bagaimana cara menyelundupkan kokain—yang tentunya tidak pernah saya lakukan,” ujarnya lalu tertawa. “Tapi saya cemas terus setiap melihat anjing di tempat pemeriksaan.”


Oliver Lunn adalah jurnalis lepas yang tinggal di London. Hubungi dia via Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di AMUSE