Dunia yang Kita Tinggali Sekarang Makin Mirip Cerita Film ‘Children of Men’

film Children of Men

Meski Roma arahan Alfonso Cuarón tidak memenangkan kategori film terbaik di Academy Awards, film merupakan salah satu sinema terbaik sepanjang 2018. Roma masuk Oscar dengan sepuluh nominasi dan memenangkan tiga kategori, termasuk piala untuk sutradara terbaik.

Kisah Roma menceritakan perjalanan emosional seorang pembantu rumah tangga pribumi Meksiko menghadapi kehamilan yang tak direncanakan, sembari keluarga majikannya mengatasi masalahnya sendiri. Cerita itu amat sesuai dengan tema yang dirasakan banyak minoritas akhir-akhir ini. Kita sedang menghadapi dunia di Abad 21 yang penuh pertentangan kelas dan juga kesadaran soal hak-hak minoritas. Roma membuktikan sekali lagi bahwa Cuarón merupakan sosok sutradara visioner.

Videos by VICE

Tapi ada film Cuarón yang lebih revolusioner, karena secara jitu seakan bisa meramal kondisi dunia ketika populisme ala Trump mendominasi percakapan global. Film itu tayang pada 2006, judulnya Children of Men. Di film tersebut, Cuarón mendalami tema-tema seperti yang terdapat dalam Roma, tetapi dalam konteks sangat berbeda. Children of Men menampilkan masa depan penuh distopia, ketika perempuan di seluruh dunia tidak bisa hamil selama dua puluh tahun.

Film ini adalah kisah tentang perjuangan manusia bertahan hidup. Tokoh-tokohnya berjuang melestarikan versi masa depan ideal untuk kemanusiaan. Di balik adegan penuh darah, kekerasan, dan kerusuhan sosial sepanjang durasi Children of Men, terdapat benang merah cerita yang amat paralel dengan masa kini. Film itu secara tidak langsung menyoroti perdebatan soal imigrasi di banyak negara.

Saat pertama kali tayang, Children of Men dianggap alegori untuk Perang Melawan Teror yang digencarkan AS sejak runtuhnya menara WTC pada 2001. Kala itu, kritikus film memandang cerita ini sebagai thriller politik. Bagi mereka, Children of Men merupakan gambaran kecemasan eksistensial yang memicu UU Antiterorisme di Negeri Paman Sam yang diciptakan diciptakan rezim George W. Bush ketika menyerbu dan merusuhi Irak.

Children of Men tayang pada 2006. Terorisme kala itu masih jadi isu besar bagi banyak negara. Cuarón pun berulang kali menampilkan adegan teror sepanjang film.

Masalahnya, adegan penting sepanjang film justru bukan tentang terorisme, tapi tentang meliyankan mereka yang bukan sebangsa dengan kita. Di salah satu adegan, kita bisa melihat bus-bus bertulisan “KEAMANAN DALAM NEGERI ADALAH YANG UTAMA.” Imigran berunjuk rasa di jalanan Inggris. Sebagian imigran tadi, yang wajahnya khas Timur Tengah, membawa senjata otomatis dan bersorak “Allahu akbar!”

Kesan film ini membahas terorisme hanya karena ada sosok bertudung hitam yang berdiri di dalam sebuah kandang kain hitam dan mengulurkan tangannya keluar. Adegan terakhir itu dikenal sampai sekarang karena jelas terinspirasi pada foto “Laki-laki bertudung” dari tempat penyiksaan tahanan terorisme di Abu Ghraib.

Buat saya, banyak kritikus secara keliru memandang Children of Men hanya sebagai satir zaman Bush. Padahal film ini lebih tepat dipahami sebagai pernyataan “bila/maka”.

Premisnya begini: Bila sebuah masyarakat sedang merasa terancam, maka ia berpotensi mengandalkan nasionalisme yang mengizinkan mereka menyalahkan minoritas paling terpinggirkan sebagai biang kerok berbagai masalah yang dialaminya. Pola kayak gini seharusnya sudah kita kenal. Salah satu pelajaran terbesar dari Perang Dunia Kedua adalah pentingnya mencurigai nasionalisme macam itu. Aneh memang. Fokus Children of Men jelas cerita tentang imigrasi. Sementara kritikus di masa tayangnya malah fokus pada detail-detail tidak penting.

Salah satu adegan pada awal film juga gamblang membahas bahaya nasionalisme populis. Theo Faron–sang protagonis yang diperankan Clive Owen—naik kereta sembari menyaksikan video-video propaganda berputar di layar gerbong. video itu menyinggung bahwa kota-kota besar di seluruh dunia telah hancur, sementara Inggris masih bertahan.

Pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah polisi di Moskow. Sebuah bom atom meledak di Manhattan. Akhirnya, Istana Westminster ditutupi tulisan “Hanya Dengan Arahan Tentara Inggris Kita Bisa Bangkit Kembali.” Penonton segera menyaksikan iklan lain yang menampilkan warga yang mengaku kenal imigran ilegal. Naratornya menyatakan, “Mempekerjakan, memberi makan, atau melindungi imigran ilegal melanggar hukum.”

Respons kritikus yang terlalu mengaitkan Children of Men sebagai alegori perang AS melawan teror membuat pesan film ini terlambat disadari. Sepuluh tahun setelah rilis, barulah Children of Men dianggap sebagai puncak seni film modern yang membicarakan isu imigrasi. BBC mengulasnya sebagai salah satu film terbaik ketiga dalam dekade pertama Abad 21. Vulture menyebutnya mahakarya.

Pujian untuk film ini muncul setelah kritikus menyadari dunia menuju ke arah seperti dalam cerita Children of Men. Berbagai masalah sosial muncul di AS, Eropa, Australia, hingga Asia, mengenai cara menangani arus imigrasi. Children of Men baru dianggap punya pesan profetik soal kekacauan dunia akibat populisme sekitar 2016.

Pemicunya tentu saja nasionalisme sempat ala Trumpism dan Brexit. Rezim Donald Trump, membuat kita makin sulit membedakan kehidupan nyata dan dengan cerita Cuarón. Perselisihan politikus AS seputar rencana pembangunan tembok perbatasan Trump menggambarkan betapa rezim yang sedang berkuasa di Negeri Paman Sam punya agenda anti-imigrasi. Lebih mengerikan lagi adalah kebijakan Trump yang memisahkan keluarga imigran. Kita seakan melihat Children of Men di dunia nyata.

Kisah Children of Men terjadi pada 2027; film ini ternyata tidak berusaha membahas masa kini, melainkan masa depan yang tak jauh. Film ini merupakan peringatan yang diabaikan kritikus dan penonton saat pertama kali tayang. Children of Men mencela apa yang mungkin terjadi ketika “keamanan” diutamakan ketimbang kebebasan.

Cerita ini secara akurat memprediksi kombinasi nasionalisme, ketakutan pada yang serba asing: nasionalisme berlebihan akan selalu menumbalkan imigran. Kita di Indonesia juga mulai merasakannya lewat slogan yang memecah belah seperti ‘asing/aseng’ atau ‘sobat gurun’.

Film ini memperlihatkan kondisi yang dapat ditimbulkan oleh kebijakan populis macam Trump jika tidak dihentikan. Karena rasanya kita sudah mulai menuju ke arah dunia yang menyeramkan semacam itu.

Follow Clayton Schuster di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.