Artikel ini adalah bagian dari Seri Liputan Khusus VICE News untuk topik Populisme.
MANILA, Filipina — Juli 2015, Rodrigo “Digong” Duterte kala itu masih menjabat sebagai Wali Kota Davao, tampil di acara bincang-bincang televisi populer Filipina “Gandang Gabi Vice”. Pembawa acaranya, Vice Ganda—namanya secara harfiah bermakna “tukang maksiat yang cantik”—adalah seorang trans bakla (gay) flamboyan. Sebagian besar penonton acara itu warga kelas pekerja berusia 20-an. Sepert tayangan televisi lain di Filipina, acara ini penuh humor dan emosi di waktu bersamaan. Pertanyaan-pertanyaan Vice Ganda intim sekaligus memancing gosip. “Bapak (Duterte) punya berapa pacar?” atau “Di antara tiga perempuan di foto ini, yang mana yang paling cantik?”
Videos by VICE
Sesekali Ganda mengusut hal yang lebih serius. “Apakah Bapak mendukung pernikahan sesama jenis?” (jawabannya iya.) “Apa yang akan Bapak lakukan kalau anak Bapak ternyata gay?” (Engga masalah.) “Apa semasa sekolah Bapak pernah di-bully?” (Tidak, tapi banyak laki-laki di sekolah Duterte dulu anti-gay lalu merundung anak lelaki yang kemayu. Bullying itu merupakan awal dari kebencian Duterte terhadap penindasan.)
Sepanjang acara bincang-bincang itu, Duterte terkesan sederhana dan hangat. Ketika Vice Ganda bertanya berapa pistol yang dia miliki, Duterte keberatan menjawabnya. Katanya dia bisa ditangkap polisi dan berakhir di penjara kalau bicara jujur. Di salah satu segmen wawancara itu, Duterte memuji mata Vice Ganda yang tampak mengepak seperti kupu-kupu.
Duterte mungkin terdengar genit karena, ya, dia memang sedang genit. Dia gemar menggoda semua orang: dari kelompok pemilih gay yang telah ditekan oleh mayoritas Katolik di Filipina, penduduk yang sangat marah karena korupsi massif di semua level pemerintahan, dan—seperti yang kita ketahui—dia berhasil mengguncang bursa pencalonan presiden Filipina. Duterte bernyanyi di acara Vice Ganda. Dia bilang cinta yang tak fana hanya dengan Tuhan. Orang-orang di studio menangis. Vice Ganda memuji Duterte karena fasih berbahasa Inggris. Duterte menggelengkan kepala, kemudian berkata “Probinsyano lang ako” (Saya orang desa). Pada penghujung acara tersebut, Vice Ganda bertanya apakah dia akan mencalonkan diri menjadi presiden. Dia bilang tidak.
Vice Ganda membuat daftar calon presiden terdiri dari tiga kandidat dan menambahkan Duterte sebagai kandidat keempat. Itu adalah momen mengharukan. Vice Ganda balik menggoda. Dia bilang akan memilih Duterte. Semua penonton akan memilih Duterte, katanya. Ketika mengingat lagi kenangan saat menyaksikan tayangan televisi itu, mengingat penampilan si wali kota dari pelosok yang mempesona, saya juga bersedia memilih Duterte.
Duterte menang telak pada pemilihan presiden Filipina yang digelar Mei 2016. Perbedaan suaranya amat kentara sehingga tidak ada kandidat berani menuntut pemilihan ulang. Padahal Filipina adalah negara di mana semua realita bisa diperdebatkan. Hasil pemungutan suara menunjukkan Duterte memenangkan suara mayoritas tidak hanya di Mindanao, basis utama pemilihnya, tapi juga Manila. Selain memenangkan suara warga pedalaman, Duterte juga memikat warga kelas menengah yang lulus kuliah sekaligus masyarakat berpenghasilan tinggi. Kini, setelah menjabat 10 bulan, popularitasnya menurut survei masih bertengger di level 80 persen dari keseluruhan responden.
Duterte dituding memerintahkan pembunuhan massal dalam gugatan yang diajukan resmi ke Mahkamah Kriminal Internasional. Sejak dia menjabat pada akhir Juni tahun lalu, kebijakannya mencanangkan perang melawan narkoba menewaskan nyaris 8.000 orang. Apakah mereka dibunuh sehubungan dengan mandat Duterte untuk membasmi pengguna narkoba di negara itu masih patut dipertanyakan. Kepala Kepolisian Filipina, Ronaldo “Bato” dela Rosa, menyatakan motif ribuan pembunuhan yang terjadi masih diselidiki. Sampai sekarang aparat baru mengakui hanya sekian ratus warga yang resmi tewas akibat perang anti-narkoba sang presiden. Maret lalu, wakil presiden mengecam PBB lantara mempertanyakan pembunuhan misterius yang marak terjadi di kota-kota besar FIlipina.
Bagi pendukungnya, perang melawan narkoba hanya satu aspek dari gaya kepresidenan Duterte. Banyak warga Filipina mengakui Duterte seorang pembunuh, namun kenyataan itu tidak mengubah pandangan keseluruhan mereka terhadap Duterte. Selama saya berada di Manila sepanjang Januari, saya sering mendengar politikus 70 tahun ini disebut sebagai jenius strategi, si kakek gelo, pria mempesona, sebuah enigma, hingga raja filsuf. Dari luar Filipina, sulit melihat Duterte tanpa menganggap aksi ugal-ugalannya menghabisi pengguna narkoba. Media massa asing hanya memuat Duterte ketika dia berkata “bunuh semua pengguna narkoba,” atau makiannya untuk Presiden Obama “anak lonte”. Hal itu memang benar. Tapi ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan lagi jika kita ingin menceritakan sosok serumit Duterte.
Pesona terbesar Duterte bagi banyak orang adalah harapan yang dia tawarkan kepada warga miskin Filipina, demografi terbesar negara mayoritas Katolik itu. Duterte tidak dipilih karena kemahirannya berkata-kata, atau keterampilannya berdiplomasi, melainkan karena hal yang dia wakili di hadapan bangsa yang terguncang taifun, ombak besar, lonjakan populasi, kemacetan, dan budaya korupsi semakin membangkrutkan negara yang terlanjur miskin seperti Filipina. Jika ditengok lagi, rapor ekonomi Duterte sangat mulus, sikapnya terkait isu-isu lingkungan terkesan progresif, sebagaimana dukungannya terhadap komunitas LGBT yang menghebohkan banyak orang.
Meski Duterte datang dari kondisi politik mapan dan telah mempertahankan hubungan dengan sejumlah keluarga yang berpengaruh dan korup—seperti keluarga Marcos— dia bisa menampilkan dirinya sebagai seorang politikus dari luar jejaring kekuasaan lama. Dia dianggap kuat, cowok banget, dan tangguh. Duterte itu kalau kata orang Filipina ‘astig’. Sebuah reputasi yang dia peroleh berkat pendekatan tak kenal ampun kala membersihkan jalan-jalan Davao City dari kriminalitas. Selama dia menjabat sebagai walikota antara kurun 1988 hingga 2016. Istilah tagalog astig berasal dari bahasa sehari-hari, kebalikan dari kata tigas, yang berarti atos. Seringkali, kata itu diterjemahkan sebagai “preman,” namun kata tersebut juga memiliki citra ‘berangasan dengan penuh gaya’.
Demi memahami Duterte dan pandangan pendukung fanatiknya, kita perlu melihat isu-isu seperti apa yang menarik bagi warga Filipina. Mereka tidak memandang Duterte sebagai orang desa yang sukses di kota, melainkan seorang manipulator dalam struktur kekuasaan Filipina: berbahaya, tak segan menggunakan kekerasan, tidak berkompromi, tapi tidak tolol.
Filipina, tanah air ibu saya, sekaligus tempat saya menghabiskan sebagian besar masa kecil, adalah negara dengan lebih dari 7.000 pulau-pulau, punya 170 bahasa lokal, dan populasi lebih dari 102 juta jiwa. Nyaris 13 juta orang hidup di metro Manila, ibukotanya. Kota ini dikerumuni orang, sebagian warga memiliki kekayaaan luar biasa, namun sebagian besarnya hidup di bawah garis kemiskinan. Budaya Filipina amat rumit dan sulit dipahami sambil lalu, walaupun kalian menguasai bahasa Tagalog. Mudah sekali menjadi skeptis dengan cara media asing menggambarkan Filipina, tentang bagaimana bangsa dan warga Filipina secara umum keliru dimengerti oleh warga Amerika. Sulit memandang banyak hal di Filipina dengan jernih jika kita tidak berada langsung di negara ini.
Ketika saya tiba di Manila akhir Januari, berita terbesar saat itu adalah penculikan dan pembunuhan seorang pebisnis Korea, Jee Ick-joo. Dia diculik dua anggota kepolisian secara kasar yang memaksa masuk ke rumahnya. Polisi itu menuduh Jee terlibat dalam kasus peredaran narkoba.
Tindakan anggota kepolisian muncul tiba-tiba dan memaksa masuk disebut TokHang. Itu neologisme gabungan istilah Bahasa Cebuana, yakni ‘tok’, dari tok-tok (mengetuk), dan ‘hang’, untuk hangyo, yang berarti memohon belas kasihan. Kita tahu bahwa anggota kepolisian mengetok, dan para tertuduh memohon, tapi tidak ada skenario resmi soal apa yang terjadi sebenarnya setelah itu.
Dalam kasus tewasnya pengusaha Korea, korban menuruti permintaan anggota kepolisian, yang mengantarnya ke gerbang kantor polisi di Camp Crame, Manila. Polisi mencekik Jee di dalam mobil sampai tewas. Polisi itu bergegas menelepon istri mendiang, meminta uang tebusan sebesar 5 juta peso. Mereka menyuap seorang pengurus kamar mayat dengan jumlah uang yang tak diketahui, ditambah satu set peralatan golf. Si pengurus kamar mayat ini bersedia membantu membakar jasad Jee, membuangnya ke dalam toilet. Orang ini kemudian tertangkap, melalui peralatan golf tersebut. Aparat keamanan tidak yakin apakah peralatan golf tersebut diletakkan untuk menjebak korban.
Pembunuhan tersebut adalah salah satu dari indikasi awal bila eksekusi mati para pengedar narkoba, biasa dijuluki EJK, tidak terbatas pada orang miskin atau oenduduk Filipina saja. Warga asing bahkan bisa menjadi korban pembunuhan ekstrajudisial tersebut. Sejak itu kritik terhadap perang narkoba ala Duterte mulai dapat kritikan dari dalam negeri.
Di bawah tekanan, Duterte akhrnya menghentikan sejenak perang tersebut. Dia berkata eksekusi para pengedar dan pengguna mula terasa di luar kendali. (Sebulan kemudian, perang anti-narkoba tersebut dilanjutkan dengan nama baru: “Project Double Barrel Reloaded.”)
Mayoritas korban EJK berasal dari area kumuh Manila seperti Tondo, Caloocan, dan Mandaluyong. Mandaluyong terletak di perbatasan wilayah bisnis Manila, yaitu daerah Makati, namun tidak ada jalan besar di sana. Kawasan ini adalah rumah bagi Barangay Plainview. Barangay seringkali diterjemahkan sebagai “desa,” namun tempat itu terasa lebih seperti komplek perumahan. Di beberapa barangay, sudah biasa jika semua orang saling mengenal satu sama lain. Desember tahun lalu, tiga orang tewas dibunuh dan dua orang luka-luka di Plainview dalam waktu dua jam. Insiden ini menjadi tajuk berita “Season of Fear” atau “Musim Ketakutan,” yang merupakan musim terakhir bagi beberapa warga. Selama liburan, bar dan kafe lokal biasanya buka sampai pagi. Tahun ini bar-bar itu kosong. Jalanannya menurut laporan media lengang seperti “kuburan”.
Ada masalah narkoba yang kasat mata di Filipina—sebagian besarnya akibat persebaran methamphetamine yang disebut shabu—sebelum dimulainya era TokHang, kepolisian menyasar pengguna narkoba yang terfokus pada rehabilitasi dan menawarkan pekerjaan. Sebagian besarnya adalah cepu polisi di jalanan. Karena mereka dibunuh secara misterius, banyak pengguna narkoba buru-buru menyerahkan diri, mendaftar pada pusat rehabilitasi di awal periode kepresidenan Duterte. Mereka berharap supaya tidak menjadi korban TokHang (pembunuhan misterius).
Olahraga adalah salah satu aktivitas wajib dalam rehab. Di Barangay Plainview, olahraga tersebut adalah Zumba. Ketika anggota rehab menampilkan tari hip-hop, mereka memastikan tidak ada mata-mata, dan orang-orang yang membawa pistol.
Sebagian besar orang di barangay adalah warga kelas pekerja yang miskin: OB, kuli bangunan, penjahit, dan mekanik. Pusat komunitas barangay adalah gedung dua lantai yang rapi. Sebuah banner menutupi seluruh tembok depan menggambarkan jenis orang-orang yang berbeda dengan motor: seorang laki-laki memboncengi perempuan, seorang laki-laki memboncengi anak-anak, dan yang terakhir adalah laki-laki dengan dua kawannya. Dua pilihan pertama adalah puede (diizinkan), dan yang kedua adalah bawal (dilarang). Ketika saya ditanya apa makna spanduk tersebut, saya diberitahu bahwa pembunuhan dari penembakan dengan motor, yang disebut sebagai tandems, telah menjadi masalah di barangay. Alhasil, kepolisian melarang dua laki-laki boncengan bareng.
Di lantai atas, dalam sebuah kamar dengan mesin pendingin ruangan, saya bertemu beberapa perempuan yang memperjuangkan isu-isu perempuan: edukasi, lapangan pekerjaan, dan ASI. Tak lama kemudian, kami membicarkan pembunuhan-pembunuhan di luar hukum. Sebagian besar warga Filipina berhasil menghindari teror karena mereka tidak terpengaruh secara pribadi, namun di Plainview berbeda. Satu perempuan berkata dia telah kehilangan seorang keponakan, akibat salah tembak. Dia bukan pengguna narkoba. Dia hanya duduk-duduk dengan seorang tersangka dan ditembak oleh dua orang laki-laki dengan motor di siang bolong. Tetangga mereka, seorang pembuat roti, sedang istirahat dari kerja dengan rekan kerjanya pada pagi hari, ketika dia merasakan panas dari dalam, dan telah meledak ketika sebuah motor mengitari belokan dan kemudian ditodong pistol di kepalanya. Pada menit-menit terakhir, seorang pengendara mengintervensi dan berkata bahwa tukang roti itu bukanlah seorang tersangka, dan kemudian tidak jadi dibunuh. Namun sekarang dia terlalu takut untuk kembali kerja, atau bahkan meninggalkan rumahnya.
Saya bertanya ke para perempuan tersebut apabila ada dampak positif dari kebijakan perang narkoba ala Duterte. Iklim Filipina yang mencekam saat ini tentunya akan menakuti siapapun yang berpikir untuk menggunakan narkoba. Namun di luar itu, penyisiran yang dilakukan oleh polisi ditambah dengan pernyataan Duterte bahwa dia “tidak akan segan-segan membantai semua pecandu narkoba” membuat para perempuan itu khawatir.
Namun tetap saja mereka ragu-ragu untuk mengatakan bahwa ini semua tanggung jawab Duterte. Perlu diingat bahwa bukan sang presidenlah yang berkeliling naik motor menembaki orang-orang. Banyak kontribusi dari polisi dan kadang juga penjahat-penjahat yang bersengkongkol dengan pengedar narkoba.
Masalah perilaku kepolisian Filipina yang tidak menentu dan gemar menindas sudah ada sebelum Duterte terpilih, dan sang presiden cukup lihai untuk memanfaatkan sejarah korupsi pihak kepolisian sebagai senjatanya. Di awal bulan Februari, publisitas negatif seputar pembantaian Jee Ick-joo dan kemarahan organisasi-organisasi macam Amnesti Internasional akibat pelanggaran HAM di Filipina sudah tidak bisa lagi diabaikan Duterte. Dia berniat membungkam semua pihak.
Duterte mengumumkan pembunuhan tanpa peradilan akan dihentikan sementara pada 7 Februari. Dia mengumpulkan 300 polisi “preman” dan melakukan pemecatan masal yang disiarkan oleh saluran televisi Filipina, diliput oleh media internasional.
Duterte memulai pidatonya dengan tenang, tanpa skrip, menjelaskan bahwa dia sadar betapa berat kehidupan seorang polisi. Mereka semua ingin mampu membeli mobil dan menyokong kehidupan istri dan anak-anaknya, namun tidak memiliki gaji besar. Duterte berjanji untuk melipatgandakan gaji personel kepolisian.
Biarpun terdengar simpatik, Duterte menjelaskan alasan dibalik rencana penaikkan gaji ini untuk mencegah polisi bertindak korup. Sepanjang pidatonya, Duterte terdengar tegas dan konsisten. Jangan salah, berbagai macam sumpah serapah masih keluar dari mulutnya—frasa favoritnya, putang ina (anak sundal) dan ulol (bajingan). Dia juga terlihat menggelengkan kepala beberapa kali seakan-seakan gerombolan polisi preman ini (scalawags dalam bahasa Tagalog) telah mengkhianatinya.
Tidak lama kemudian Duterte bercerita bagaimana aparat polisi kerap bersekongkol dengan sindikat narkoba. Sebagai orang daerah, dia mengaku tidak mengerti cara kerja korupsi di Manila, tapi dia kemudian menjelaskan bagaimana dana operasi pemberantasan narkoba ujung-ujungnya masuk kantong pribadi polisi. “Sedih sekali bagaimana kebanyakan pelaku kriminal paling keji adalah mantan polisi atau mantan militer,” kata Duterte. “Kalian lah yang bertanggung jawab membuat anakmu menjadi pecandu narkoba.”
“Kalian semua kriminal,” kata sang presiden di hadapan ratusan personel kepolisian.
Duterte menyediakan narasi yang membuat argumennya tampak masuk akal untuk melakukan perang melawan narkoba. Dia menjelaskan ribuan warga Filipina meninggal dalam operasi pemberantasan narkoba. Semua merupakan tanggung jawab kepolisian yang beraksi di luar kendali, bukan atas perintah Duterte. Para “scalawags” ini bukanlah tentara bawahannya, tapi musuh pemerintah. Apabila mereka menolak dipecat, Duterte akan mengirim mereka ke pulau Basilan melawan Abu Sayyaf, teroris lokal Filipina yang kerap menculik warga asing dan meminta tebusan. Dia juga mengancam para polisi korup dan malas membersihkan Sungai Pasig yang membelah kota Manila. Selepas masa jabatannya, Duterte berjanji akan melayani polisi yang dendam padanya dengan cara adu tembak.
Lewat dua kebijakan ini—menghentikan sejenak rangkaian pembunuhan ekstrajudisial dan mencaci maki anggota Kepolisian Nasional Filipina di depan umum—Duterte mendapatkan kambing hitam untuk disalahkan atas pembunuhan-pembunuhan yang telah terjadi. Dia juga memanfaatkan momen tersebut menekankan ambisinya membasmi korupsi agar citranya terjaga.
Jika anda menonton langsung penampilan Duterte, sulit untuk tahu mana yang bisa dipercaya dan mana yang tidak. Tapi ada satu hal yang pasti: Duterte adalah seorang orator ulung. Memang sumpah serapah yang tak terdengar elok di telinga, tapi apabila kita berfokus ke hal ini saja, kita akan melewatkan bukti-bukti keahliannya berpidato. Dengan piawai, dia mampu menjabarkan situasi yang rumit, melempar kesalahan ke pihak lain, lantas melayangkan hukuman untuk memperkuat posisinya. Ketika dia menggunakan bahasa Inggris dalam pidatonya, hal itu menunjukkan dia tidak sebodoh yang kita kira.
Biarpun datang dari keluarga kaya dan ayahnya menjabat sebagai menteri di Kabinet Ferdinand Marcos, Duterte masuk ke dalam arena politik dengan cara menarik perhatian pemilih yang frustrasi dengan pemerintahan. Untuk mengerti bagaimana Duterte bisa melakukan ini, silakan tonton debat kandidat kepresidenan sebelum dia menjabat. Di podium ada Grace Poe, politikus sekaligus selebritas dengan rambut indah dan aksen yang mewah. Ada pula Mar Roxas yang mengenakan baju kuning, perwakilan kaum Liberal dari rezim lama. Kemudian terlihat Duterte di sana, tersenyum-senyum sendiri seakan-akan tidak bisa percaya dia hadir di panggung yang sama dengan dua lawan politiknya.
Debat dimulai dengan Roxas mengucapkan terima kasih terhadap para pendukung yang memegang posisi kuat dalam iklim politik Filipina saat itu. Poe berbicara setelahnya, memamerkan tim suporternya yang juga penuh kuasa. Ketika giliran Duterte tiba, dia hanya menatap para penonton dan berteriak, “Wah, gue gak kenal siapa-siapa nih di sini!” dan melanjutkan “Kalian semua yang tidak dipanggil, kalian masuk tim saya.”
Semua yang tidak suka dengan status quo, yang merasa pemerintah Filipina era Presiden Benigno Aquino III gagal mengatasi masalah-masalah seperti kemacetan, kependudukan, isu lingkungan, dan korupsi, mereka semua segera tertarik dengan Duterte; walikota asal Davao yang lucu dan canggung. Semua yang pernah melihat keahlian Duterte berinteraksi dengan penonton akan sadar bahwa dia tidak bisa diremehkan. Sama seperti pendukung Donald Trump dan pemilih Brexit, banyak warga Filipina mencari sesuatu yang “berbeda” dengan memilih Duterte.
Duterte berhasil memenangkan simpati dalam berbagai isu penting dan masalah-masalah negara yang kerap diabaikan oleh pemerintahan sebelumnya. Terlebih lagi, ekonomi Filipina berkembang dengan pesat, mendekati 7 persen. Berbagai proyek yang tertunda di bawah pemerintahan Presiden “Noy Noy” Aquino—contohnya renovasi bandar udara, peningkatan sistem transportasi Manila—semua mengalami kemajuan di bawah pemerintahan Duterte, berkat sokongan investasi Cina dan Jepang. Dunia bisnis Manila yang dikendalikan oleh pengusaha-pengusaha Cina-Filipina juga senang melihat cara kerja Pemerintahan Duterte.
Kemarahan yang kerap ditunjukkan media Amerika Serikat dan Eropa terhadap pembunuhan ekstrajudicial atau pernyataan-pernyataan kontroversial Duterte mungkin menganggu warga Filipina yang bersimpati terhadap posisi presiden mereka. Contohnya, biarpun rasanya sulit untuk membela keputusan Duterte yang ingin merendahkan batas umur masuk penjara ke 9 tahun, para warga Filipina menyadari bahwa banyak organisasi kriminal mengincar anak kecil dan menggunakan mereka untuk mencopet, mencuri mobil, mengedarkan narkoba dan bahkan membunuh seseorang. Memang memenjarakan anak kecil itu salah, tapi presiden Duterte berusaha menghilangkan insentif bagi kriminal untuk merekrut anak kecil, jelas mereka. Mereka akan mengatakan bahwa Duterte tidak ingin memenjarakan anak kecil, tapi ingin melindungi mereka dari perilaku manipulatif orang dewasa tidak bertanggun jawab. Mereka juga membenci kelakuan negara-negara Barat yang bersikap sok suci.
Dalam sejarahnya, penduduk Filipina cenderung lari ke agama dan keyakinan masing-masing sebagai usaha menenangkan diri. Paska penjajahan Spanyol, Filipina harus menghadapi dampak dari Perang Spanyol Amerika di 1902 dan dampak dari kapitalisme Amerika Serikat yang membebani tidak hanya Manila, tapi seluruh Filipina. Kekuasaan diturunkan lewat oligarki keluarga kaya, seperti keluarga Aquino yang masih memiliki hubungan erat dengan AS. Mereka kerap berpindah-pindah antara Filipina dan AS dan mengirimkan anak mereka ke universitas-universitas di Amerika. Dari perspektif Amerika, hubungan ini terlihat seperti persahabatan. Namun dari sudut pandang warga miskin Filipina, hubungan ini terlihat seperti mengabaikan sesama warga negara hanya untuk menjilat pantat Amerika yang rasis dan sok tahu.
Tak ayal ketika Duterte, yang dikenal bermulut besar, mengatai-ngatai Obama putang ina (anak sundal), dia sebenarnya tengah menyuarakan kegeraman akan sejarah kelam kolonialisme di Flipina, atau yang disebut oleh menteri luar negeri Filipina Ferfecto Yasay Jr sebagai “rantai tak kasat mata” yang mengikat Filipina agar selalu tunduk pada tuannya: Amerika Serikat. Lalu ketika Duterte mendamprat Duta Besar Amerika Serikat untuk Filipina dengan sebuat “anak gay sundal” gara-gara “turut campur dalam pemilu di Filipina” dan menegaskan bahwa Filipina adala sebuah “negara yang berdaulat,”, Duterte sesungguh tengah bicara dengan seluruh rakyatnya—tak cuma mereka yang masih tinggal di Filipina tapi juga yang kini merantau ke luar Filipina entah itu sebagai perawat, pengasuh anak, pekerja bangunan dan pekerjaan kelas pariah lainnya yang membuat mereka tersingkirkan. Bagi banyak orang Filipina, pemerintahan Duterte mengingatkan mereka pada serial TV yang dibintangi Jimmy Stewart “Mr. Smith Goes to Washington.” Film itu sendiri berkisah tentang sosok naif dan tak diperhitungkan yang berjuang melawan korupsi. Bedanya, dalam kasus Duterte, pemimpin naif itu mewujud dalam sosok lelaki Filipina yang macho dan tak ragu-ragu ingin menguasai dunia. Teman saya, seorang pendukung loyal Duterte, menggambarkan hal ini dengan sangat baik lewat unggahannya di Facebook, “Maaf ya, tapi Imperium Eropa dan Pax Americana sepertinya sudah lewat.”
Sikap keras Duterte terhadap peredaran obat-obatan terlarang konon dilatarbelakangi oleh perjuangannya sang putra yang mengalami kecanduan. Selalu ada hubungan antara kebijakan Duterte yang tak ortodoks dengan pengalaman hidup sang presiden. Menurut salah satu pengusaha perempuan di Filipina, “masalah pribadi Duterte ujung-ujungnya akan berubah menjadi permasalahan nasional Filipina.” Setelah didiagnosa menderita Buerger’s disease dan terpaksa berhenti merokok, Duterte mengesahkan aturan larangan merokok yang ketat di Davao. Duterte mengaku pernah jadi korban pelecehan oleh seorang pendeta. Besar dugaan ini adalah akar kebencian Duterte terhadap Gereja Katolik Filipina, sebuah kekuatan besar di Filipina yang terus dia hina namun tak pernah berhasil dimejahijaukan.
Meski mayoritas penduduk Filipina adalah penganut agama Katolik, Gereja Katolik biasanya dekat dengan pemerintah. Namun, bagi Duterte, berjibaku dengan Gereja Katolik adalah salah satu cara yang mau tak mau harus ditempuh supaya dia bisa merealisasikan tujuannya. Duterte misalnya berseberangan dengan Gereja dalam masalah kaum Gay, dia terekam pernah menunjukan tolerasi terhadap perkumpulan kaum gay. Posisi ini sebenarnya agak aneh mengingat Duterte kerap mengeluarkan pernyataan yang kental dengan nuansa homofobik. Tapi, begitulah Duterte, mulutnya tak pernah berhenti bicara, dan tak semua pernyatannya bisa dipegang.
Saya menemui Danton Remoto, seorang profesor jurnalosme, tokoh pertelevisian, dan pendiri Ladlad, Partai LGBT di Filipina. Remoto adalah seorang yang selalu sibuk. Dia mengajar di dua universitas berbeda dan menjadi presiden di satu universita lainnya. Tiap sore di hari kerja, Remoto akan melakukan rekaman tayangan TV-nya, meski begitu dia masih bisa menyempatkan waktu untuk bercakap-cakap dengan saya di Max’s Fried Chicken, Manila. Remoto punya pandangan yang jelas tentang kekejaman Duterte, tapi beberapa kali dia mengulang pernyataan bahwa beberapa pembunuhan ekstrajudisial tak direstui oleh Duterte. “Hampir setengah pembunuhan yang terjadi tidak diprakarsai oleh Duterte tapi oleh para organisasi vigilante. Bahkan menurut juru bicara polisi yang saya wawancarai, beberapa di antaranya adalah tindakan balas dendam.” ujarnya.
Tak ada yang pernah tahu jumlah pasti pembunuhan yang terjadi di Filipina. Lebih jauh, tipis kemungkinannya daftar identitas korban dan pelakunya dibeberkan dalam waktu dekat.
Yang lebih penting bagi Remoto, Duterte adalah pendukung potensial hak-hak kaum gay. Di tahun 2010, ketika Ladlad pertama kali mengajukan permohonan untuk turun serta dalam pemilu presiden Filipina, permohonan mereka ditolak oleh Komisi Pemilu Filipina karena partai tersebut dianggap menyebarkan paham “immoral.” Duterte, yang waktu itu masih menjabat sebagai walikota Davao, memberikan pernyataan tentang hal ini dan menyebut tindakan Komisi Pemilu Filipina sebagai “intoleransi tingkat tinggi.”
Dalam kapasitasnya sebagai seorang presiden, Duterte telah mengakui kekerasan terhadap perempuan dan kaum LBGT sebagai tindak kriminal. Dia juga menyetujui pendirian help desk untuk kaum perempuan dan LGBT di seluruh kantor polisi di Filipina. Kendati demikian, pemerintahan Duterte belum menghasilkan kemajuan berarti bagi komunitas LGBT di Filipina—golongan yang tergolong baru dalam peta politik Filipina dan belum mendapatkan basis pendukung yang luas. Bulan Maret lalu, Duterte menganulir salah satu janjinya semasa kampanye pilpres lalu: melegalkan perkawinan sesama jenis.
Ketika saya desak Remoto tentang kebijakan Duterte yang kerap plin-plan, dia berkukuh. “Duterte menarik ulang pernyataan antigaynya sehari setelah itu. Dia bilag kaum LGBT juga berhak bahagia dan menjalin hubungan dengan sesamanya. Sayangnya, sampai saat ini, perundang-undangan Filipina belum mengizinkan hal itu.” Sampai saat ini, belum ada pengacara yang mau menangani kasus LGBT dan perkawinan gay adalah salah satu hal yang kerap dipermasalahkan di ranah hukum. Remoto cuma bisa bersyukur bahwa Duterte tak punya pendirian keras melawan kaum LGBT.
Di sisi lain, Duterte adalah seorang pembela masalah lingkungan. Baru-baru ini, dia baru saja mengesahkan peraturan yang akan mengubah praktek penambangan di Filipina guna mengerem polusi air di daerah pedesaan, yang kebutuhan akan airnya kadang disepelekan. Dulu, pertambangan hanya menguntungkan kelompok tertentu karena perjanjian tambang biasanya dikuasai oleh aliansi lama Filipina yang korup. Jadi, tak ada yang aneh ketika Duterte ingin mengubah kondisi ini karena toh kita tahu Duterte sudah kadung bega dengan kelompok lama yang menguasai Filipina. Menteri Lingkungan dan Kekayaan Alam Gina Lopez Maret lalu mengatakan bahwa “dirinya merasa sangat tersentuh atas dukungan yang diberikan oleh Duterte. Duterte adalah sosok sejati, bukan cuma boneka. Dia sangat memikirkan rakyat dan mementing Filipina.”
Duterte yang berpikiran maju seperti inilah yang menarik perhatian generasi muda dan kaum yang sedikit lebih berpendidikan di Filipina serta mereka yang terlanjur bosan dengan korupsi dan janji-janji yang marak saat pemilu. Selama pemilu, raihan angka Dutere melampaui pesaingnya Roxas. Di kalangan lulusan universitas, Duterte unggul 28 poin. Tapi kelompok ini juga mencakup kaum yang bersebrangan dengan Duterte layaknya Gereka Katolik dan mereka yang prihatin dengan pelanggaran hak azazi manusia di Filipina. Ini golongan yang khawatir bahwa Duterte, yang jelas-jelas mengatakan bahwa persoalan obat-obatan terlarang sudah terlalu parah hingga dia butuh kekuasaan yang tak terbatas untuk mengatasinya, akan menerapkan kembali darurat militer yang pernah berlaku hampir satu dekade selama presiden Marcos berkuasa. Selama periode itu, yang berlangsung dari tahun 1972 hingga 1981, 72.000 dijebloskan ke penjara, 34.000 orang disiksa dan 3.240 jadi korban pembunuhan. Sebagian besar orang yang pertama kali digiring ke penjara adalah pegiat organisasi mahasiwa dan para aktivis.
Beberapa Mahasiswa dari University of Santo Tomas, universitas tertua di Asia, sepakat bertemu dengan saya di sebuah kafe dekat kampus mereka. Sebagian dari mereka adalah orang pertama mereka yang mengecap kehidupan kampus, hanya sedikit dari mereka yang mendukung Duterte. Ray Padai, pemilih pemula dalam pilpres Filipina lalu, tidak memilih Duterte, tapi ayahnya yang berasal Davao mencoblos sang presiden. Saya lantas pada mereka apakah ada yang berubah dalam hidup mereka setelah Duterte berkuasa, entah itu jadi lebih baik atau sebaliknya. Bagi beberapa orang, rangkaian pembunuhan ini membawa kenangan akan rumah. Orang tua Phil Cruz adalah penjaja daging babi di salah satu pasar terbuka di Manila. Para penjagal yang menyembelih babi yang dagingnya dijual orang Cruz terlibat perdagangan obat-obatan. Mereka ditembak mati di rumah jagal mereka. “Para penjagal itu akhirnya dijagal juga,” ujar Cruz. tapi masalah sebenarnya bukan obat-obatan terlarang atau serangkaian pembunuhan semata, tapi juga merebahknya—ciri utama pemerintah diktator orwellian—dan ancaman darurat militer. “Duterte terus menerus bilang akan menerapkan darurat militer,” tutur Harvey Castillo, seorang intelektual sosialis muda, “tapi kenapa dia terus mengulang hal itu?”
Yang dikhawatirkan Castillo bukan tanpa dasar. Pada pidato tanggal 12 Maret dalam ulang tahun ke 35 pendirian partai PDP-Laban, sang presiden mengatakan jika pada akhirnya darurat militer diterapkan, “talaga tapos ang problema,” (itu bakal jadi solusi bagi seluruh masalah). “Masalah” yang dimaksud oleh Duterte adalah kombinasi antara terorisme dan kultur obat-obatan terlarang. Tapi saya menerka bahwa Duterte mencium bahaya yang lebih besar: oposisi yang bakal menghalanginya dari semua yang dia inginkan. Masalahnya, bagi Duterte, keberadaan oposisi dilindungi oleh konstitusi.
Salah satu orang penentang Duterte yang vokal adalah Senator Leila de Lima, yang menyebutnya sebagai “pembunuh berantai sosiopath” dan mengatakan bahwa pembunuhan ekstrajudisial yang digagas Duterte adalah perang melawan kaum miskin. Duterte membalas dengan menuduh de Lima ikut menjalankan kelompok pengedar obat-obatan terlarang saat menjabat menteri kehakiman Filipina. De Lima lantas dicokok atas tuduhan yang mengada-mengada yang berdasarkan pada pengakuan tak jelas beberapa napi di penjara Bilibid. Saat ini, de Lima mendekam di Camp Crame menunggu proses pengadilan. Dalam pola pikir pragmatis Duterte yang ngaco, penangkapan de Lima punya dua fungsi: pertama, untuk menunjukan bahwa perang melawan perdagangan obat-obatan terlarang tak hanya menyasar kaum papa tapi juga para pemegang kuasa. Kedua, dia memberikan peringatan pada mereka yang bersebrangan dengannya agar terus menjaga mulut mereka. De Lima mungkin bukan bandar obat atau sekadar korban ketidakadilan, yang jelas Duterte berhasil meyakinkan bahwa tak ada untung-untung jadi panlaban (lawan) Duterte.
Beberapa unjuk rasa pernah terjadi semasa pemerintahan Duterte. Yang paling terkenal adalah protes atas penguburan jenazah Ferdinand Marcos di Heroes’ Cemetery November lalu, yang sangat kontroversial karena Mahkamah Agung mengeluarkan beberapa petisi untuk menghentikanya. Ribuan orang berkumpul di People’s Power Monument, yang dibangun untuk memeringati jatuhnya Marcos, guna menunjukan ketidaksetujuan mereka. Duterte memang dikenal dekat dengan keluarga Marcos dan pembangunan makam ini dinilai sebagai bentuk kesetiaan Duterte pada meraka. Duterte “menutupinya” dengan memilih menghadiri KTT Ekonomi di Peru alih-alih menghadiri upacara pemakaman. Namun, perlawanan ini sangat dilematis: tak semua penduduk Filipina membenci dinasti Marcos. Anak Marcos, Bongbong Marcos, menempati urutan kedua dalam pemilihan wakil Presiden lalu dan dicintai banyak penduduk Filipina. Begitu juga saudarinya, Imee Marcos yang jadi Gubernur di Ilocos Norte, provinsi penting di ujung utara Luzon.
Suster Josephini Ambatali, dekan Saint Joseph’s College di Quezon City dan veteran People’s Power Movement, masih mengenang trinitas yang membuat revolusi Edsa berhasil: Gereja Katolik, Militer dan Amerika Serikat. Tapi, membunuh tersangka bandar obat-obatan dan pemadat tak lantas memicu kemarahan massa yang serupa. Lebih dari itu Ambatali melihat ada perlawanan yang sama terhadap Duterte. Revolusi tak akan meletus ketika hanya 20 persen populasi mau bergerak melakukan perubahan mendasar. Ambatali sampai saat ini masih menentang kebijakan pembunuhan pelaku peredaran obat-obatan. Menurutnya, semua insan religius negara ini harus mengambil sikap serupa. Meski demikian, Ambatali masih belum tahu apa yang kelak menghentikan kegilaan Duterte. “Ke mana sih Amerika Serikat ketika kami benar-benar membutuhkannya?” ujarnya sambil diiringi tawa yang sarkastis.
Pandangan saya tentang pemerintahan Duterte agak bergeser setelah tinggal bebearapa saat di Manila. Duterte tak sepandir yang digambarkan pers Amerika Serikat, tapi dia tetap saja sosok yang berbahaya. Kekuatannya tak didapat dari kekejiannya membantai banyak orang tapi lebih dari kemampuannya memanipulasi rakyat Filipina dengan bertindak layaknya badut, berperangai macho dan—ini mungkin terdengar aneh—menjadi pembela isu-isu yang penting bagi banyak orang.
Sampai saat ini, mayoritas penduduk Filipina masih mendukung Duterte karena sang presiden membuat mereka merasa nyaman alih-alih ketakutan. Basis pendukung setianya masih terdiri dari kaum papa dan kelas pekerja, meski di saat yang sama Duterte juga memperhitungkan para pelaku bisnis, kaum oposan pemerintah sebelumnya dan idealis yang masih percaya bahwa Duterte adalah pembela kaum lemah dan musuh para koruptor.
Bahkan ketika acaknya korban pembunuhan yang dilakukan rezim Duterte membuat orang berpikir siapa saja bisa jadi korban, kenyataan bahwa masih ada calon korban yang hidup bisa sedikit menutupi kekejaman Duterte. Kemarahan moral adalah barang mahal, hanya milik kaum elit intelektual dan aktivis kampus yang memendam kegeraman. Di luar itu, yang banyak terdengar di luar adalah pendapat bahwa tak seorang sempurna. Bagi kaum tak punya apa-apa lagi selain mimpi, maka ilusi menjadikan seorang probinsyano—orang kuat—sebagai presiden adalah gagasan yang sangat mungkin diwujudkan.
Sabina Murray adalah penulis sekaligus peserta program MFA sekolah pascasarjana University of Massachusetts Amherst.
Hannah Reyes Morales adalah fotografer kelahiran Filipina yang berbasis di Manila.