Politik

Jokowi Singgung Bahaya Intoleransi, Data Sebut Pemerintah Berperan Menyuburkannya

Kemendagri dan Kemenag jadi dua kementerian dengan kinerja toleransi terburuk menurut laporan terbaru Setara Institute.
Laporan Setara Institute simpulkan Presiden Jokowi Berperan Menyuburkan Intoleransi
Warga Kota Bandung gelar aksi lilin sebagai solidaritas untuk Basuki Tjahaja Purnama yang tersandung tudingan penistaan agama pada 2017. Foto oleh Timur Matahari/AFP

Periode kedua Presiden Joko Widodo ditandai dengan pendekatan politik akomodasi, sebut Setara Institute dalam siaran persnya. Terlalu banyak bagi-bagi kepentingan, pendekatan tersebut membuat kepemimpinan nasional Jokowi dianggap lemah.

Lemahnya kepemimpinan jadi alasan mendasar atas memburuknya kualitas toleransi yang tecermin pada kasus-kasus persekusi di Indonesia. Misal, rendahnya kesalingpahaman antaridentitas yang dipicu pembiaran ekspresi kebencian atas nama agama oleh figur-figur publik, serta politisasi agama.

Iklan

“Alih-alih membangkitkan harapan publik, tahun pertama periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi justru menunjukkan lemahnya kepemimpinan nasional dalam jaminan hak untuk beragama atau berkeyakinan secara merdeka sesuai dengan konstitusi,” kata DIrektur Riset Setara Halili Hasan, dilansir Tempo. Paparan Setara ini disampaikan dalam rangka Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November.

Setara menyorot spesifik peran Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama yang berkinerja buruk. Mendagri disebut gagal mengatasi intoleransi dan diskriminasi berbasis agama di tingkat daerah, sementara Menag dianggap gagal menjamin eksistensi seluruh agama secara institusional, khususnya agama lokal dan aliran kepercayaan, sebab ruang-ruang keagamaan masih kerap diisi ujaran kebencian.

Halali dan Setara menilai toleransi bisa diperkuat oleh gerakan masyarakat sipil. Beberapa yang bisa dilakukan: memperkuat literasi keagamaan, memperbanyak ruang perjumpaan lintas agama, menghadirkan narasi-narasi keagamaan yang sejuk dan moderat, dan membuat program membantun ketahanan sosial lintas identitas.

Pemaparan Setara ini hanya berselang sehari dari pidato Presiden Jokowi tentang toleransi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-11 ASEAN-PBB yang diadakan secara virtual, Minggu (15/11). Pada pidatonya, Jokowi berpesan untuk menjaga kemajemukan dan hidup bersinergi. 

“Kalau ini [intoleransi beragama] dibiarkan, maka akan mencabik harmoni dan menyuburkan radikalisme dan ekstremisme. Ini tidak boleh terjadi,” kata Jokowi. Siapa nih yang mau ngasih tahu beliau bahwa dia sendiri turut jadi penyebab suburnya intoleransi di Indonesia?

Iklan

Awal tahun ini Wahid Institute pernah merilis tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Hasilnya menunjukan kasus intoleransi terus meningkat. Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan ada 0,4 persen atau 600 ribu WNI pernah melakukan tindakan radikal. Lalu, ada 7,1 persen atau 11,4 juta orang rawan terpengaruh gerakan radikal.

Kabar baiknya, perilaku toleran di Indonesia juga dianggap naik. Wahid Institute memaparkan bahwa 54 persen WNI toleran, naik dari tahun sebelumnya yang sekitar 46 persen. Baru setengah sih, tapi hasil baik tetap perlu disambut dengan harapan.

“Hasil survei yang dilakukan Wahid Institute menunjukkan tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Data itu dihitung berdasarkan jumlah penduduk dewasa, yakni sekitar 150 juta jiwa karena kalau balita tidak mungkin melakukan gerakan radikal,” kata Yenny dilansir Media Indonesia.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan sependapat dengan Setara. Intoleransi terjadi turut disebabkan oleh belum adanya upaya nyata dari pemerintah untuk melenyapkannya. “Ada gejala meningkatnya intoleransi di masyarakat, secara umum belum ada perbaikan. Intoleransi religius-kultural cenderung turun sejak 2010, namun penurunan ini berhenti di 2017. Pasca 2017, intoleransi relijius-kultural cenderung meningkat terutama dalam hal pembangunan rumah ibadah,” kata Djayadi dilansir CNN Indonesia.

Pada September 2019, LSI membeberkan hasil survei yang mengatakan 59,1 persen warga muslim keberatan apabila warga selain muslim menjadi presiden. Begitu juga keberatan non-muslim menjadi wakil presiden (56,1 persen), gubernur (52 persen), dan bupati/wali kota (51,6 persen). Lalu, sebanyak 53 persen warga muslim keberatan jika non-muslim membangun rumah ibadah di sekitar tempat tinggalnya.  

Sebanyak 67,4 persen responden muslim setuju pemerintah harus mengutamakan agama Islam dalam kehidupan berbangsa, beragama, dan bernegara karena merupakan agama mayoritas.