Hubungan

Jika Tiga Pertanda Ini Muncul, Kalian Sebaiknya Putus Saja dari Pasangan

Momen karantina corona sangat tepat untuk menguji hubungan romantis kalian, dengan melihat apakah tanda-tanda tersebut muncul.
JG
London, GB
Tiga Pertanda Kalian Harus Putus dari Pacar yang Sekarang
Foto ilustrasi putus cinta oleh Emily Bowler 

Akibat virus corona, pemerintah di semua negara yang terdampak menghimbau—atau bahkan mengharuskan—semua penduduk menjaga jarak secara fisik selama beberapa bulan. Namun sebetulnya, momen ini adalah semacam berkah bagi kalian yang ingin mengakhiri hubungan romantis yang sudah mentok.

Putus sama pasangan sudah pasti tidak menyenangkan, tapi lebih enggak enak lagi diputusin. Setiap kali saya harus memutuskan hubungan dengan seseorang yang lebih naksir saya dibanding saya naksir dia, selalu muncul perasaan tidak enak. Rasa bersalahnya sekilas lebih parah dibanding perasaan ditolak. Tapi perasaan berdosa gini cuman bertahan selama sepuluh menit biasanya.

Iklan

Dunia percintaan memang tidak adil: kadang hatimu hancur berantakan, dan kadang kamu yang menghancurkan semangat hidup seseorang. Kadang kamu move on lebih cepat, dan menikmati masa-masa PDKT yang seru dengan seseorang yang baru; kadang kamu berdiri di tengah hujan, menangisi perasaan hancur yang tak kunjung usai.

Intinya, semua manusia pasti akan menderita. Jadi, jangan biarkan rasa bersalah membuatmu memaksakan diri bertahan dalam sebuah hubungan yang sebetulnya sudah mentok. Tidak ada gunanya berusaha bertahan bersama seseorang karena kamu tidak ingin menyakiti mereka.

Tapi bagaimana caranya kita tahu kapan saatnya enyah dari sebuah hubungan atau komitmen? Kebanyakan hubungan, bahkan ketika secara obyektif sudah sekarat, rasanya masih normal: kamu masih sayang dengan pasangan (sekalipun tidak cinta), kamu masih doyan nonton Netflix bareng doi (kalaupun kadar percakapannya sudah semakin berkurang).

Berikut beberapa pertanyaan yang bisa kamu tanya ke diri sendiri untuk membantumu memutuskan kapan saat yang tepat mengakhiri sebuah hubungan. Ingat, prinsip ini tidak peduli kalian merasa masih nyaman atau toleran satu sama lain.

APAKAH KALIAN TIDAK BAHAGIA SAAT MENGHABISKAN WAKTU BARENG?

Bayangkan skenarionya seperti ini: Malam minggu pertama pasca karantina COVID-19 berakhir, semua temanmu berbondong-bondong mengunjungi kafe atau bar favorit untuk bersenang-senang. Semua orang ingin melepas stres. Ada yang minum-minum, ada yang bersenda gurau, ada yang serius membahas situasi politik negara. Ada yang sudah mulai minum sejak pukul 5 sore, dan mabuk enggak karuan sampai dilarang masuk kafe lagi. Ya wajar sih, setelah beberapa bulan merasakan lockdown, banyak orang butuh sebuah pelepasan.

Tapi tunggu dulu, bagaimana jika pasanganmu justru sedang ingin menghabiskan malam bersantai di rumah saja? Mengingat sudah lama kalian tidak pacaran (demi keselamatan semua orang dong pastinya), pasanganmu agak kesal karena kamu memilih untuk bersenang-senang bareng temanmu, alih-alih nongkrong dengan pasangan untuk menonton dokumenter pembunuhan di Netflix.

Iklan

Dengan berat hati, kamu mengirim pesan ke group chat dan mengatakan kamu tidak bisa hadir. Sisa malammu dihabiskan nonton Insta Story teman-temanmu yang penuh tawa dan kebahagiaan seiring kamu duduk dalam keheningan, menyimpan rasa kesal.

Dalam situasi seperti ini, mungkin sudah waktunya kamu putus hubungan dengan pasanganmu. Tentunya kita semua punya kewajiban sebagai pacar, tapi kita tidak punya kewajiban untuk memenuhi kewajiban itu. Kalau kamu lebih memilih untuk nongkrong dengan teman-teman dibanding pasangan, rasanya kamu perlu pikirkan lagi status hubunganmu.

APAKAH KEBIASAAN DAN RUTINITAS KALIAN SEMAKIN BERBEDA?

Faktor ini terutama berlaku bagi mereka yang sudah lama pacaran. Kalau kamu pacaran dari zaman SMP atau SMA, jangan kaget kalau setelah lulus universitas, nasibmu dan pasangan bisa jauh berbeda, terutama dari segi penghasilan dan gaya hidup. Kadang ketika ini terjadi, meneruskan sebuah hubungan menjadi sangat sulit kalau bukan tidak mungkin.

Ini tentunya menyakitkan kalau kamu adalah pihak yang lebih rentan. Pacar pertama saya memutuskan hubungan ketika dia lulus dari universitas dan pindah ke ibu kota untuk memulai kariernya. sementara saya masih bekerja di toko dengan gaji UMR di kota kecil. Kala itu saya sering makan makanan kalengan karena tidak memiliki uang.

Saat itu, saya merasa getir karena tak bisa masuk dalam gaya hidup barunya yang lebih mengkilap. Saya mulai merasa dia jadi dangkal, terpukau gemerlap kota besar. Tapi sebetulnya pilihan dia masuk akal. Buat dirinya sendiri tentunya. Kami berdua semakin berbeda jalan hidupnya, dan tidak lagi nyambung seperti dulu. Kami tidak punya mimpi yang sama (karena saya tidak tahu mau jadi apa). Jadi ini sebetulnya keputusan yang baik baginya. Bagi saya? Jelas tidak. Saya menghabiskan setahun setelah putus dalam kegalauan, tapi mending enggak usah dibahas deh itu.

Iklan

Ketika hidupmu dan pasangan menjadi semakin berbeda, kamu tidak bisa bertahan karena alasan simpati atau mencoba setia terhadap masa lalu. Rasa dendam dan amarah yang pelan-pelan terkumpul akan menghabisimu dan akan memperburuk suasana seiring waktu bergulir. Apakah saya menghimbau kalian untuk putus dengan pasangan hanya karena mereka gajinya lebih kecil atau tidak seambisius kamu? Tentu tidak, biarpun saya sendiri belum pernah berada di posisi di mana saya punya lebih banyak uang dibanding partner saya.

Satu-satunya nasehat yang bisa saya berikan adalah: "Sudahi hubungan dengan pasangan apabila kamu terganggu dengan fakta bahwa mereka tidak semapan dirimu." Tentu apabila kamu melakukan ini, pasanganmu berhak menyebut kamu berengsek.

KAMU MULAI SERING MEMBAYANGKAN MASA DEPAN LEBIH BAIK TANPA SOSOKNYA?

Merindukan sesuatu yang abstrak adalah aspek paling menyakitkan ketika kita masih lajang. Ketika saya tidak punya pasangan, saya kangen memiliki seseorang yang menyayangi saya, kangen dengan romansa berapi-api bersama doi.

Ketika berada dalam sebuah hubungan, harusnya pikiranmu sudah tidak lagi seperti ini, tapi seringkali toh ini tetap terjadi, terutama ketika hubunganmu sudah mendekati akhir. Tentu saja normal kalau tertarik sama orang lain ketika kita sudah pacar. Tapi ketika titik intensitasnya sudah tinggi, ketika kamu merasakan gairah dahsyat terhadap orang lain, ini mungkin pertanda ada yang salah dengan hubunganmu sekarang. Kalau kamu hanya bisa memikirkan gairahmu untuk orang lain, mungkin sudah waktunya ada perubahan.

Iklan

Banyak pasangan mencoba berbagai cara untuk menjadi intensitas api asmara mereka. Bahkan ada yang sampai mencoba open relationship. Tentunya semua pilihan ada pro dan kontranya sendiri, tapi upaya nekat seperti apapun akan sia-sia kalau hubungannya memang sudah mentok.

Kalau masih sekedar "wah si anu itu menarik ya" tentu masih normal, tapi kalau sudah sampai "kayaknya lebih seru pacaran sama dia ya?" nah itu sudah mulai bahaya. Di titik inilah kamu harus mulai khawatir.

Jujur, kalau kamu bahkan pernah bengong dan membayangkan putus sama pacar, itu tandanya ada sesuatu yang salah dan mungkin hanya masalah waktu sebelum hubunganmu benar-benar berakhir. Tentu, bisa saja keadaan akan membaik seiring waktu, tapi bisa juga enggak. Gillian Rose, dalam buku Love’s Work, menulis, "Tidak ada demokrasi dalam hubungan asmara: hanya belas kasihan." Intinya, kamu selalu punya hak untuk mengakhiri sebuah hubungan, dan apabila ini menyakitkan buat pasanganmu, apa boleh buat, sekalipun kalian sedang berada dalam sebuah pandemi seperti virus corona.

Tapi jangan lupa, selalu jadi pribadi yang sensitif dan penuh welas asih.


Follow penulis artikel ini lewat akun @fudwedding

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK