Reformasi Birokrasi

Bertanya Pada Pakar: Kenapa di Indonesia Kita Masih Diminta Fotokopi Dokumen Penting?

Bila data kependudukan terintegrasi di dukcapil, kenapa e-KTP sampai akta perlu difotokopi? Kata pengamat kebijakan publik, budaya itu sebetulnya bisa dihapus, tapi ada hambatan tragis.
Penyebab orang masih fotokopi e-KTP dan dokumen lain saat berurusan dengan birokrasi
Ilustrasi salinan dokumen fisik yang masih marak di Indonesia. Foto oleh Aditya Irawan/NurPhoto via Getty Images

Cita-cita birokrat Indonesia boleh tinggi: kepengin mewujudkan revolusi industri 4.0 dengan memanfaatkan big data. Tapi cita-cita kudu bersandar pada kenyataan dan kenyataan yang dihadapi orang Indonesia hari ini, KTP kita yang udah elektronik itu lebih sering difotokopi daripada digesek chip-nya. Benar-benar ironi yang merasuk sampai ke tulang.

Selain soal e-KTP yang masih harus dicetak dalam selembar kertas, kita tentu familier pula sama cetakan macam Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK) untuk membuktikan kita enggak pernah terlibat pembunuhan berencana. Lalu ada juga Surat Pengantar RT/RW/Kelurahan untuk menunjukkan kita benar-benar warga wilayah setempat.

Iklan

Sekian dokumen fisik tersebut udah kayak persyaratan template ketika berurusan dengan administrasi pemerintahan. Pertanyaannya, bukankah pemerintah sudah punya database kependudukan, termasuk catatan kriminal, yang seharusnya bisa diakses internal birokrasi sendiri?

Aku pribadi merasakan keribetan ini saat mengurus pernikahan, November tahun lalu. Aku dan calon istri yang bekerja di tanah rantau harus balik ke kampung halaman untuk mendaftarkan perkawinan ke kantor urusan agama (KUA) sesuai domisili KTP masing-masing.

Aku juga harus mengurus surat pengantar RT dan kelurahan untuk membuktikan diri bukan makhluk virtual. Semua proses itu menuntutku menyiapkan fotokopi KTP mempelai, fotokopi Kartu Keluarga, pas foto, fotokopi KTP saksi, fotokopi KTP masing-masing orang tua, fotokopi akta kelahiran, dan fotokopi ijazah terakhir. Huft, kenapa sih semua itu tidak dibuat mudah aja dengan dokumen digital?

Kukira pengalaman serupa dirasakan hampir semua orang Indonesia (hampir, karena Djoko Tjandra tidak mengalaminya). Lihat aja celetukan di media sosial ini.

Keresahan itu mendorongku ngobrol sama pengamat kebijakan publik Agus Pambagio untuk menjawab satu pertanyaan besar: mengapa administrasi negara ini terkesan ribet?

Iklan

Menurut Agus, dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil) sebenarnya sudah memiliki sistem informasi terintegrasi berdasarkan nomor identitas kependudukan (NIK) setiap warga negara. Semua informasi itu sudah digital, bahkan kita sudah bisa mencetak e-KTP dan KK secara mandiri. Kendalanya memanfaatkan digitalisasi ini ada di instansi lain yang belum bisa menggunakannya.

“Yang belum banyak itu, [misalkan] bank-bank itu yang harusnya menyediakan card reader, bukan memfotokopi [e-KTP]. Itu yang musti dikejar kenapa enggak beli card reader-nya, aturannya kan sudah ada,” kata Agus kepada VICE. “Dukcapil datanya sudah bisa dicetak online kok, mau sendiri dicetak di rumah juga bisa. Nah, kalau sekarang masih ada yang itu [masih minta e-KTP difotokopi], instansi-instansi itu yang masih malas. Di pelayanan publik kan sering dia [masih] harus nunjukin fotokopi KTP, harusnya enggak usah. Tinggal e-KTP digosok [dengan card reader], terbaca, dan keluar [informasinya],” Agus menjelaskan.

Aturan yang dimaksud Agus adalah Peraturan Presiden No. 67/2011 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional. Pasal 10 C ayat 1 dan 2 menyebut instansi pemerintah, pemerintah daerah, lembaga perbankan, dan swasta wajib menyiapkan kelengkapan teknis yang diperlukan berkaitan dengan penerapan e-KTP, salah satunya card reader.

Saat kutanyai perihal kebutuhan surat pengantar dari RT dan RW (yang lagi-lagi butuh fotokopi e-KTP), Agus kembali menekankan penerapan teknologi ini di masing-masing instansi. “Sekarang persoalannya adalah di masing-masing instansi yang tidak mau mengikuti aturan [harus punya card reader]. E-KTP kan sebenarnya bisa dilihat di layar [komputer] saja, kalau mau dicetak ya tinggal dicetak masing-masing kantor. NIK itu sudah gampang, data Anda sudah ada. Anda punya mobil berapa, nomor BPJS Anda berapa, nomor SIM Anda, segala macam sudah ada,” tambah Agus.

Lantas, apa kendala instansi ini sehingga tidak menerapkan aturan yang bisa bikin mereka disayangi masyarakat?

“Ya, kalau instansi pemerintah ya anggaran lah. Tapi, kalau pelayanan publik kayak perbankan [harusnya sudah punya]. Jadi, enggak perlu fotokopi kita. Kalau di daerah, itu pasti malasnya karena anggarannya enggak ada. Lalu, belum semua itu mau, dan pemerintah belum melakukan sanksi. Kan harusnya ada sanksi, wong itu ada aturannya,” tutup Agus.