Eksperimen Future Collective Gabungkan Elektro Pop dan Kesadaran Politik

Future Collective jenis musisi yang gemar mencoba hal baru. Sama seperti prinsip bermusiknya, mereka tertarik dengan hal-hal yang cair dan sulit ditebak. Setelah merilis album kedua Mundo Animal yang mendapat respons positif dari berbagai media musik, Future Collective bisa saja mengubah radikal konsep artistik ke depannya. Tida Wilson, anggota duo ini, mengatakan Future Collective sangat mungkin memainkan jenis musik yang berbeda nantinya.

“Gue soalnya kalo ada obyektif terus tercapai, gue cepet bosen jadinya,” kata Tida kepada VICE.”Mungkin salah satu caranya ya gitu, Future Collective berubah terus.”

Videos by VICE

Ambisi musik Future Collective sudah terlihat sejak mereka merilis album debutnya pada 2014, bertajuk #1: Ensemble Instrumental de Musique Contemporaine. Duo ini dijuluki oleh blog musik lokal Wasted Rockers dengan istilah “retro-futurist.” Future Collective menggabungkan elemen-elemen musik lawas macam pop dekade 60’an, krautrock, dan tropicalia yang disaring lewat lensa musik elektronik dan kualitas produksi modern.

Musik Future Collective dipengaruhi band new-wave Inggris dekade 80’an macam The Style Council serta jagoan krautrock-pop, Stereolab. Future Collective terdengar seperti memainkan musik elektronik bagi music nerd, alih-alih para clubber yang hobinya joget setiap akhir pekan. Bukan juga berarti musik mereka kekurangan beat yang asik, tapi melodi dan atmosfir juga sangat diperhatikan. Ya, lebih mirip musik latar yang sering diputar Mondo by The Rooftop dan FJ on 7 lah, dibanding Stadium atau Colosseum, apalagi diskotek Malioboro.

Album debut tadi menarik perhatian dari komunitas musik seputaran Ibu Kota, membuka kesempatan bagi Future Collective menjadi band pembuka gig Jakarta Neon Indian pada 2015. Dua tahun kemudian, duo ini merilis album terbaru mereka, Mundo Animal yang mutu materinya bagi Tida mengalami peningkatan dibanding album debut dulu.

“Album sekarang [Mundo Animal] udah cukup selaras dan fokus dari segi tema,” ujar Tida, “Album pertama emang ngeri sih, materinya campur aduk banget.”

Diambil dari bahasa Spanyol yang berarti “Dunia Binatang,” album kedua Future Collective mengekspresikan kekhawatiran mereka terhadap keadaan dunia yang kacau dan “regresif.” Tida menganggap bahwa mentalitas manusia justru semakin mundur di tengah teknologi yang serba modern. “Ya mungkin kita belum siap,” ujar Tida, “Buktinya bisa dilihat di mana-mana dan Mundo Animal mendeskripsiin itu.”

Tida sekaligus mengungkapkan kecemasannya soal kondisi politik global. Dia mengatakan kebangkitan kaum sayap-kanan di Eropa, AS dan Timur Tengah mempengaruhi Indonesia dan bagaimana bangsa kita bereaksi terhadap isu-isu yang memecah belah masyarakat. “Di sini juga banyak isu-isu nyerempet, ideologi yang nyerempet fasis sudah naik lagi,” ujar Tida. “Mungkin kita entah menutup mata atau gimana tapi yang gue liat sih gitu.”

Memasukkan pesan sosio-politik ke dalam musik elektronik pop yang catchy bukan tugas yang mudah—dan pesan yang ingin disampaikan mudah sekali hilang begitu saja. Lihat saja single perdana Mundo Animal, “Molposnovis.” Judul single ini terinspirasi gerakan seniman Rusia pada 1919 yang mengeksplorasi teori-teori dan konsep baru dalam seni saat itu, “Molposnovis” justru merupakan salah satu lagu Future Collective yang paling ngepop dan aksesibel—mungkin juga karena kehadiran vokal tamu Anindita Saryuf, anggota pelopor musik elektronik pop di negeri, Santa Monica.

Future Collective sadar betul gagasan politik di album ini rentan dilabeli gimmick doang. Mereka pun mengakui kalau musik mereka yang mayoritas tanpa vokal “problematis” dalam hal penyampaian pesan. Menurut Tida, musik elektronik berbeda dari hip-hop yang banyak memberikan ruang ekspresi secara lirikal. Musik Future Collective pun memiliki keterbatasan dalam hal aransemen. Biarpun begitu, mereka berargumen pasti akan ada pendengar yang menyukai sebuah lagu terlebih dahulu—karena melodi atau aransemennya—yang lantas memicu seseorang menyelami makna lagu tersebut lebih dalam. “Gue lebih senang orang denger musik Future Collective dulu terpisah dari visi misi ideologi politik gue,” ungkap Tida.

Untuk mengakali gagasan artistiknya tak tersampaikan secara utuh, Future Collective selalu memasukkan tulisan dalam sampul album, menjelaskan pemikiran yang mereka berusaha sampaikan lewat musik di album kedua. Mereka juga merilis Construct, sebuah “publikasi multi-disipliner” digital yang terbit setiap dua bulan sekali berisi puisi, esai, dan seni visual berisi curahan ide. Menarik? Iya. Pretentious? Pastinya. Tapi kesan pretentious juga tidak melulu hal yang buruk.

Dalam sejarah musik, sudah sering ada musisi instrumental yang berusaha menyampaikan pesan sosio-politik lewat berbagai cara. Pada 1963, John Coltrane memainkan melodi penuh duka lewat lagu “Alabama” untuk menghormati empat perempuan yang terbunuh dalam pengeboman gereja Birmingham; Pada 2013, DJ Stingray dan Gerard Donald menggunakan nama NRSB-11 dan merilis Commodified, album tekno yang judul-judul lagunya semacam “Consumer Programming”, “Living Wage”, hingga “Market Forces”—sebagai bentuk pernyataan tentang konsumerisme kapitalis. Siapa juga yang bisa melupakan raksasa post-rock Kanada, Godspeed You! Black Emperor, yang mengkritik industri musik, dan kapitalisme secara umum, melalui pendekatan ideologi anarkis.

Musik pop dan politik juga bisa berjalan beriringan. Lihat saja Efek Rumah Kaca yang berhasil membawakan musik pop yang ramah di telinga namun tetap menyanyikan kritik terhadap pemerintah dan penghormatan bagi aktivis hak asasi manusia Munir yang jadi korban pembunuhan politik. Artinya, yang dilakukan Future Collective lakukan sebetulnya bukan hal baru. Faktanya memang sulit untuk mengukur seberapa sukses mereka menyebarkan pesan-pesan ini. Dalam kondisi sekarang, Future Collective mungkin masih terbilang terlalu kecil untuk bisa benar-benar menimbulkan dampak substansial bagi kancah elektronik, ataupun pendengar musik Indonesia secara lebih luas.

Tak peduli kamu sepakat sama pandangan politik mereka atau tidak, elemen dualitas dalam Future Collective ini justru memberi mereka identitas yang kuat. Kunci agar bisa benar-benar mengerti band ini sepenuhnya, kita harus melihat dinamika antara kedua pegiatnya: Sawi Lieu dan Tida Wilson.

Sawi, 29 tahun, sebelum membentuk Future Collective, bermain di beberapa proyek musik noise/eksperimental. Dia tidak pernah mengindahkan struktur dalam musik. “Dulu gue bikin musik gak ngerti komposisi,” ujarnya, “Terus secara disclipinary tuh gue kayak agak ngasal gitu.” Tida Wilson, 30 tahun, di sisi lain justru sangat paham dengan batasan-batasan musik pop. Menghabiskan masa mudanya bermain di band-band power pop, dia lebih terbiasa memainkan formula tradisional verse-chorus. Sama seperti latar belakang musiknya, Sawi secara pribadi lebih “lepas”, dan agak random kadang (Dia menghabiskan dua menit ngoceh tentang kekagumannya akan karakter Looney Tunes ketika ditanya tentang politik Tida dalam wawancara untuk artikel ini), sementara Tida lebih fasih dan percaya diri. Sawi adalah teman yang cocok untuk nongkrong sambil giting sementara Tida cocok dijadikan lawan debat semalam suntuk.

Di Future Collective, kedua figur ini bertemu di tengah-tengah. Sawi membawa unsur eksperimentasi sementara Tida memastikan struktur dan elemen pop terjaga. Lewat Mundo Animal, Sawi dan Tida telah menghasilkan musik yang, biarpun tidak sepenuhnya inovatif, mungkin bisa menantang definisi mainstream dari musik pop. Musik mereka retro namun juga modern, catchy tapi juga sinematik. Dan yang terpenting, Mundo Animal diproduksi dengan baik dan aksesibel.

Tentu sulit dipastikan apakah upaya Future Collective membangun diskursus sosio-politik lewat musik elektronik pop bakal menghasilkan sesuatu. Paling apes tentu dipandang sebagai sekedar gimmick kelas menengah. Tapi melihat situasi dunia saat ini, termasuk kebangkitan ideologi sayap kanan di Indonesia, usaha sekecil atau seremeh apapun terlibat mengubah keadaan layak untuk dihargai. Minimal, kita masih mendapatkan pasokan musik elektronik pop yang memukau dari Sawi dan Tida.