Artikel ini pertama kali muncul di VICE US.
Seiring proses pemilihan presiden AS yang terus memanas dan mendekati garis akhir, makin jelas bahwa Hillary Clinton akan menang. Hillary merupakan kandidat unggulan ketika kampanye kepresidenan baru dimulai 18 bulan lalu dan kini dia merupakan kandidat terdepan berdasarkan banyak polling nasional, termasuk polling di negara bagian penentu (swing state). Biarpun masa kampanye masih tersisa beberapa minggu, Hillary sudah mempersiapkan diri memimpin di Gedung Putih. Laporan menyebutkan bahwa Hillary mendekati pejabat Partai Republik untuk membahas kompromi politik di kemudian hari dan mempertimbangkan nama-nama untuk mengisi posisi administrasi kepresidenannya.
Videos by VICE
Jika Hillary Clinton menang, pertanyaannya adalah—apa yang akan dia lakukan ketika bekerja dari Gedung Putih? Bagaimana dia akan melakukannya?
Jawaban dari pertanyaan pertama mudah saja. Tidak seperti Donald Trump, Hillary telah secara mendetail menjelaskan banyak rencananya yang mencakup berbagai isu: Dia berjanji akan meningkatkan penggunakan energi hijau, menggratiskan biaya kuliah bagi banyak pelajar, dan membuat zona larangan terbang di Suriah. Hillary juga mempunyai pandangan netral dalam hal perdagangan sekaligus menganut paham kebijakan luar negeri yang intervensionis. Tentunya, dia juga merupakan seorang liberal dari Partai Demokrat.
Pertanyaan bagaimana pemerintahan Hillary Clinton akan dijalankan, lebih susah dijawab, namun email-email masa kampanye Hillary yang diretas dan kemudian dirilis oleh WikiLeaks sebulan terakhir ini memberi sedikit gambaran. Pemerintahan Hillary dinilai memandang rendah musuhnya dan kadang terobsesi dengan cara masyarakat memandang sebuah masalah. Di sisi lain, pemerintahan Hillary dinilai rentan membuat keputusan yang merugikan diri sendiri dan berisiko membuat blunder politik.
Sesungguhnya, WikiLeaks belum merilis satupun email Hillary yang membuktikan adanya tindak kejahatan atau kegiatan ilegal. Dan seringkali, konteks dari email-email yang telah diretas (yang biasanya gagal disediakan oleh badan transparansi internasional ) menjadi kabur akibat proses pelaporan dan pelaporan ulang yang terjadi. Ambil satu dari banyak contoh yang ada, misalnya tentang email-email yang digunakan berbagai oknum untuk menuduh Hillary bahwa dia berusaha menghindari kejaran media. Ternyata email itu malah berisi debat sengit antara Hillary dan tim kampanyenya, ketika mereka membahas cara menjawab pertanyaan pers di acara-acara tertentu.
Namun, beberapa surat elektronik memang menyingkap fakta, seperti email-email yang menunjukkan bahwa di tahun 2015, Hillary Clinton berniat menerima donasi sebesar Rp156 miliar dari Raja Maroko atas nama organisasi nirlabanya, Clinton Global Initiative. Donasi ini berujung pada undangan agar Clinton Global Initiative terlibat serangkaian acara di Maroko. Kalaupun aliran dana itu bukan tindak korupsi, di dalam sebuah email, Huma Abedin, ajudan Hillary merujuk transaksi ini sebagai “kekacauan.”
Ketika Hillary Clinton sedang menyiapkan diri untuk bersaing menjadi presiden AS, dia semestinya tidak menimbulkan kesan sedang menjual akses politik ke pemimpin negara lain. Memang akhirnya Hillary batal hadir di Maroko, tapi keputusan awalnya untuk menerima tawaran sang raja menyakiti tim kampanyenya.
Ada juga pertanyaan-pertanyaan seputar hal-hal yang dikatakan oleh Hillary di luar media massa dan seputar yayasan Keluarga Clinton. Beberapa pertanyaan ini dipicu oleh email-email WikiLeaks. Mengapa Clinton Foundation menerima jutaan dollar dari rezim represif Arab Saudi? Mengapa dia setuju dibayar mahal untuk berbicara di acara-acara perbankan dan kemudian memuji-muji Wall Street dalam pidatonya? Mengapa para penasihat senior Hillary terjebak dalam potensi konflik kepentingan hingga dikritik secara pribadi oleh Chelsea Clinton? Mengapa para ajudan Hillary menjelek-jelekan kaum progresif di email-email tersebut?
Para pendukung Hillary pasti bisa mengarang cerita untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun ada satu lagi pertanyaan yang belum terjawab. Email-email WikiLeaks menunjukkan bahwa tim kampanye Hillary sangat sensitif mengenai bagaimana publik menilai posisi dan tindakan kandidat mereka. Jadi mengapa Hillary (yang diduga saat itu sudah berniat menjadi presiden AS untuk pemilu 2016) menyampaikan pidato-pidato dan menerima donasi yang dapat mengakibatkan ribuan skandal? Sulit dipercaya bahwa Hillary tidak paham bahwa tindakan-tindakan ini akan dicecar oleh media dan publik. Mungkin saja saking seringnya Hillary bertengkar dengan publik tentang kehidupan pribadinya, dia tidak peduli lagi.
Masa bulan madu kepresidenan Hillary Clinton tidak akan bertahan lama—Senat Partai Republik yang kemungkinan akan mengendalikan majelis rendah Kongres, berencana melanjutkan penyelidikan server email pribadi Hillary setelah dia dilantik. Clinton dan tim administrasinya akan menghadapi tantangan baik dari sayap kanan dan sayap kiri, mengingat banyak kaum progresif tidak memercayai Hillary bahkan sebelum email WikiLeaks keluar. Pemerintahan Gedung Putih akan kerap dikritik, yang kemungkinan akan memaksa pemerintahan Clinton terus melakukan serangan balik.
Permintaan maaf merupakan kelemahan Hillary Clinton, tulis seorang penasihatnya di sebuah email yang bocor dalam skandal server pribadi. Alih-alih meminta maaf, insting Hillary adalah menutup-nutupi atau meminta bawahannya untuk mencemarkan nama pihak penuduh—di sebuah acara debat politik, kandidat wakil presiden Tim Kaine menilai beberapa email yang dibocorkan WikiLeaks palsu (tanpa menyebut contoh spesifik) dan manajer tim kampanye Robby Mook menolak membahas email-email ini karena dianggap hasil “curian.”
Clinton terpisah jauh—secara geografis dan politis—dari pendiri WikiLeaks, Julian Assange. Tapi keduanya mungkin memiliki kesamaan. “Masalah Julian adalah dia bertujuan mulia namun penuh korupsi pribadi,” tulis James Ball, mantan karyawan WikiLeaks pada tahun 2013. “Dia mengutuk perilaku buruk orang lain. Namun ketika dia berperilaku tak jauh beda, dia memaafkan dirinya karena percaya bahwa di lubuk hatinya, dia adalah seseorang yang baik.”
Hillary mungkin percaya pada hal yang sama. Karena yayasan keluarganya banyak berbuat baik, politikus perempuan ini percaya bahwa mengumpulkan uang atas nama yayasan bukanlah tindakan korupsi. Dia percaya bahwa masa kepresidenannya akan menyelamatkan banyak orang dan mendorong Partai Demokrat ke arah yang lebih baik, sehingga tidak ada yang namanya tindakan politik—mulai dari pengumpulan dana hingga perubahan posisi kebijaksaannya—yang salah.
Di situasi yang normal, logika semacam itu akan diabaikan karena hampir semua politikus bertindak serupa. Namun kampanye kepresidenan tahun ini berkisar seputar kemurnian, tentang Bernie Sanders, seorang politikus paria dari Negara Bagian Vermont; atau seorang bintang acara televisi realitas – tentu saja ini tentang Donald Trump – yang mampu menjungkirbalikkan banyak hal, memulai evolusi, hingga “menguras lumpur yang mengotori AS.”
Sepertinya, lumpur-lumpur ini tidak akan dikeringkan. Hillary Clinton terancam krisis dalam dan luar negeri yang lazimnya dialami seorang presiden baru, namun dia sekaligus menghadapi partai oposisi yang keras dan kaum sayap kiri yang tidak mempercayainya. Lebih dari itu, dia juga harus menghadapi kecenderungan dirinya sendiri yang kerap mengabaikan kritik dari luar lingkaran kepercayaannya, karena merasa paling benar. Hal ini diperburuk kumpulan staf yang sangat sensitif dengan perubahan opini publik.
“Saya adalah seorang progresif yang selalu menyelesaikan masalah” merupakan salah satu slogan Hillary selama lebih dari setahun belakangan ini. Ketika 20 Januari tiba (momen presiden baru AS dilantik), dia harus membuktikan slogan tersebut di depan orang-orang yang memilihnya—baik dari Partai Demokrat maupun Partai Republik.
Follow Harry Cheadle di Twitter.