Artikel ini pertama kali tayang di i-D.
Meski mencetak rekor penerima nominasi Oscar paling banyak sepanjang masa, La La Land jadi bahan perdebatan antara kritikus film dan para fans beratnya. Sebagian kritikus menghujat film peraih 14 nominasi Oscar tahun ini, sementara pemujanya tidak terima film kesayangan mereka diberangus kritikus.
Videos by VICE
Dari semua genre film, rasanya tak yang bisa menandingi kemampuan kategori musikal memecah belah pendapat penonton. Mendengar nama genre ini saja sudah cukup untuk bikin perut beberapa penggemar film melilit, seakan baru saja menenggak susu basi.
Bagi kelompok kontra, musikal cuma genre usang yang berulang kali berusaha dibangkitkan oleh filmmaker yang doyan bernostalgia. Kualitasnya? Buat penonton anti-musikal tentu saja kacrut. La La Land adalah kasus termutakhir. Review jelek yang menyerang film ini bertebaran di Internet. Namun, setelah berhasil menggondol banyak penghargaan di gelaran Golden Globe lalu mengumpulkan 14 nominasi Oscar 2017, muncul beberapa pertanyaan penting: apa mungkin film musikal kontemporer akan kembali disukai di masa depan? Bisakah film musikal tentang kisah cinta mengharukan di Los Angeles mengubah pandangan kaum yang dari dulu ogah nonton film musikal? Jawabannya mungkin tidak.
Setidaknya, La La Land punya peran penting wajib kita apresiasi. Film arahan Damien Chazelle itu memancing penonton film generasi baru—yang mungkin awalnya tidak terlalu fanatik dalam hal pro/kontra pada genre musikal—bergegas mencari film-film musikal modern lainnya.
Nah, ngomong-ngomong soal film musikal modern, ini dia enam film musikal modern yang menurut tim i-D berkualitas dan pantas kalian sempatkan nonton.
Guy and Madeline on a Park Bench
Damien Chazelle naik daun berkat Whiplash. Film drama perjuangan seorang musisi muda yang ingin menjadi drummer jazz sejati di bawah bimbingan guru musik superngehek dan jahat. Damien ternyata sejak awal sudah menyadari takdirnya adalah membuat film-film seputar musik. Debut sejatinya sebagai sutradara adalah menggarap film musikal hitam-putih berjudul Guy and Madeline on a Park Bench. Film ini diambil dengan menggunakan kamera 16mm. Hasil akhirnya terkesan kasar, malah mungkin terlalu lo-fi untuk sebuah film musikal. Bagaimanapun, ini adalah film yang menggunakan aktor amatir dan mengandalkan dialog penuh improvisasi.
Guy and Madeline on a Park Bench bercerita tentang kisah cinta tragis antara Guy, seorang peniup terompet jazz dengan Madeline, mahasiswi S2 yang introvert. Cinta mereka kandas ketika film baru mulai. Guy kemudian mulai jalan dengan perempuan lain, sementara Madeline pindah ke kota berbeda, memulai hidup baru. Belakangan, Guy merasa kalau dialah yang jadi biang keladi putusnya cinta mereka. Dia mencoba kembali mencari Madeline. Masalahnya, jangan-jangan Madeline sudah move on? Menonton film ini selepas La La Land membuat kita sadar ada beberapa ciri khas yang sudah dipupuk Damien, jauh sebelum dia membuat La La Land. Di film debutnya itu ada lagu jazz, ada tarian, bahkan ada adu tap dance. Guy and Madeline on a Park Bench terkesan lebih dipengaruhi aliran sutradara Prancis macam Jean-Luc Goddard berjudul dari A Bout De Souffle alih-alih tradisi musikal klasik Hollywood seperti Singin’ in the Rain. Gaya lo-fi yang dipakai Damien mungkin saja upaya menyiasati budget. Dana untuk pembuatan film perdananya itu hanya US$60,000 (setara Rp800 juta). Sebagai perbandingan, La La Land menghabiskan dana sebanyak US$30 juta (setara Rp400 miliar).
Chi-Raq
Dengan kualitas gambar yang sekilas hampir setara dengan video musik MTV, Chi-Raq rupanya menjadi film musikal yang amat politis, bersetting di Kota Chicago. Memang sih, film ini belum bisa disandingkan dengan karya-karya lain yang masuk dalam daftar ini. Cerita Chi-Raq diadaptasi dari drama kuno Yunani Lysistrata, berkisah tentang aksi mogok melayani seks yang dilakukan sekelompok istri pemberani. Jargon film ini: NO PEACE, NO PIECE. Bagaimanapun, film ini tak sekadar karya politis yang berani tapi jatuhnya kering. Warna ungu dan oranye banyak digunakan sepanjang durasi mewakili bermacam grup dan geng dalam film ini. Chi-Raq menjadi semacam versi modern West Side Story. Lalu ada juga dialog yang muncul sangat alamiah bagaikan rima-rima musik rap. Orang bilang aktor musikal terbaik sepanjang masa adalah Gene Kelly dengan suaranya yang melengking merdu ceria. Bah! Kalau Samuel L. Jackson bisa merapal puisi jalanan macam “Stop the murder madness or there will be no more pole” di film musikal, kami jelas memilih yang belakangan.
Cry-Baby
Kalau John Waters jadi sutradara Grease, barangkali hasilnya bakal seperti ini. Bersetting di Baltimor di dekade 50an, Cry-Baby menelusuri rivalitas antara “drapes” (montir pemakai jaket sport) dan “squares” (hipster pemakai kemeja button up. Johnny memerankan sosok Wade “Cry-Baby” Walker, pemimpin kelompok pertama. Ketika salah satu anggota Drapes jatuh cinta pada anggota Squares. Ceritanya langsung mirip dengan kisah cinta Danny Zuko and Sandra Dee dalam Grease. Bedanya, Waters punya pola pikir yang ribet. Jadi, jelas ini adalah film musikal anak muda kacangan. Coba deh bayangkan: gambar close up muka Johny Depp, setitik air mata terus membasahi pipinya. Tambah juga suara narator yang mengucapkan line standar ini: “He’s been hurt. He’s been mistreated. He’s been misunderstood. He’s Cry-Baby Walker.” Kentara sekali kalau ini adalah film emo rockabilly Johny Depp lengkap dengan rambut Johny Depp yang disisir kebelakang ala musisi rockabilly dan rahangnya yang rapi seakan baru dipahat. Johny Depp juga mencuri perhatian dengan menyanyikan nomor-nomor klasik seperti High School Hellcats dan Teardrops are Falling. Dan, oh iya, apa saya sudah bilang kalau Iggy Pop berperan jadi paman Walkers yang redneck? Yang kayak gini engga bakal ada di Grease.
School Daze
Ilham film ini didasarkan pada, salah satunya, masa-masa awal sutradara Spike Lee menjadi mahasiswa S1 di Morehouse College, Kota Atlanta. School Daze adalah skomedi kocak tentang perseteruan perkumpulan mahasiswa dan perkumpulan mahasiswi di sebuah universitas mayoritas kulit hitam. Tentu saja, ada banyak lagu di film ini. Lee memparodikan proses inisiasi masuk perkumpulan mahasiswa (kalau di Indonesia OSPEK lah ya). Lee sendiri berperan sebagai seorang maba yang dijuluki “gammite”. Dia berjuang melewati masa inisiasi itu. Sosok yang diperankan Lee dikisahkan masih perjaka dan persyaratan masuk perkumpulan mahasiswa adalah harus sudah pernah gituan. Beratnya jadi maba di film ini masih harus ditambah berbagai “siksaan” lain, semisal dirantai seperti anjing, ditutup matanya, dan dipaksa memegang pisang berlendir di toilet. Momen musikal paling keren di film ini terjadi ketika dua grup mahasiswi berhadapan di salon kecantikan dan bicara—lebih tepatnya nyanyi sih—tentang segala hal yang berhubungan dengan rambut. School Daze adalah salah satu film musikal paling ngehek sepanjang sejarah.
Dancer in the Dark
Ini mungkin film musikal tergelap sepanjang masa, yang sebenarnya tak mengagetkan karena sutradaranya adlaah Lars von Trier. Siapa Lars? Itu loh, om-om yang bikin Antichrist. Dalam Dancer In The Dark, sutradara gendeng ini memberi Björk peran sebagai pekerja pabrik, yang mati-matian menabung demi biaya operasi mata anaknya. Tentu saja, seperti film-film Lars von Trier lainnya, semua upaya protagonis tak berjalan lancar. Ketika sosok yang diperankan Björk akhirnya dipecat, dia pulang ke rumah dan menemukan tabungannya hilang tak berbekas. Film ini memang bikin trenyuh. Menonton Dancer In The Dark sama rasanya seperti nonton film realisme sosial Italia era 50-an yang diiringi lagu. Adapun lagu-lagu dalam film ini seringkali muncul ketika karakter Björk melamun. Misalnya ketika dia merindukan jalan keluar dari hidupnya yang nelangsa. Paduan realisme yang keras dan lagu-lagu yang imajinatif sekilas bukan campuran resep yang pas. Nyatanya, di tangan Lars von Trier, oplosan ini menghasilkan tontonan yang bikin bulu kuduk merinding.
8 Women
Ketika François Ozon membesut film sepenuhnya memakai pemeran perempuan—yang dibintangi oleh Catherine Deneuve, Isabelle Huppert, dan Emmanuelle Béart—hasilnya adalah komedi gelap penuh gaya. Alkisah, delapan perempuan terjebak dalam sebuah sebuah rumah kecil karena badai. Delapan perempuan ini lantas dikagetkan dengan tewasnya kepala keluarga pemilik cottage tersebut. Masing-masing dari mereka segera tertuduh sebagai pembunuh. Sepintas, jalur ceritanya mirip dengan kisah-kisah dalam game misteri. Namun, sejatinya, 8 Women adalah penghormatan untuk melodrama dekade 50-an yang dibuat oleh Douglas Sirk, dengan sedikit penggambaran yang hangat tentang sebuah keluarga hanya berisi perempuan dan para pekerjanya. Ozon sangat memahami semua formula klise dari film musikal. Sehingga dia tak ragu memasukkan segala sesuatu yang kelihatannya engga banget. 8 Women adalah Dial M For Murder yang dibenturkan dengan Cabaret. Keren.