Ilmuwan Muslim Al Jahiz Sudah Menulis Evolusi dan Seleksi Alam Sebelum Charles Darwin
Ilustrasi via Getty Images |  Man_Half-tube
Sejarah Sains

Seribu Tahun Sebelum Darwin, Ilmuwan Muslim Sudah Menulis Evolusi dan Seleksi Alam

Temuan ini membuktikan teori seleksi alam bukan sepenuhnya ide peradaban Barat, melainkan gagasan klasik yang turut dihasilkan kalangan intelektual Islam di Irak, Persia, hingga India.

Pada musim panas 1837, Charles Darwin menggambar sketsa sederhana di buku hariannya yang kelak melegenda. Sketsa itu menunjukkan garis lurus bercabang makin rumit ke bawah. Goresan tinta ini menjadi pondasi gagasan Darwin mengenai proses evolusi mahluk hidup melalui seleksi alam, yakni adaptasi tumbuhan dan binatang merespons perubahan lingkungan, membuat satu spesies bertahan sementara yang lain punah. Di atas sketsa itu, Darwin menuliskan frasa “Saya pikir beginilah prosesnya.”

Iklan

Di buku-buku digambarkan kalau Darwin menduga terdapat proses seleksi alam setelah mengamati perubahan paruh burung di Pulau Galápagos. Kesimpulan observasi sederhana itu nantinya dianggap menghasilkan salah satu teori biologi yang terpenting sepanjang sejarah.

Dampaknya narasi yang beredar sekarang terlalu menitikberatkan pada pengalaman Darwin. Padahal, sejujurnya, asumsi mengenai adanya evolusi mahluk hidup sudah dipikirkan ilmuwan jauh sebelum Darwin. Beberapa pengelola museum dan akademisi ingin mengubah paradigma tersebut, dengan cara merevisi kurikulum dan konsep pameran biologi.

Salah satu yang ingin memberi alternatif teori evolusi yang tak terlalu ‘Darwin-sentris’ adalah Guru Besar New York University James Higham. Dia nge-twit soal rencana perubahan kurikulum bagi mahasiswa yang mengikuti kelasnya untuk mata kuliah sifat-sifat ekologi. Higham memperkenalkan beberapa nama ilmuwan pra-Darwin yang sudah memikirkan konsep evolusi. Nama alternatif yang paling dia tekankan adalah Al-Jahiz, akademisi muslim dari Irak yang hidup antara tahun 781 hingga 869 Masehi.

“Dokumentasi ilmiah menunjukkan kalau teori seleksi alam sudah dilontarkan ilmuwan seribu tahun sebelum Darwin ataupun Wallace,” tulis Higham. Sedikit catatan, Darwin bukan satu-satunya akademisi asal Inggris yang membuat makalah tentang evolusi. Pada masa yang sama, Alfred Russel Wallace secara terpisah menyodorkan berbagai bukti adanya seleksi alam, setelah mengamati flora dan fauna di Sulawesi hingga Papua.

Iklan

Saat dihubungi VICE News, Higham merasa perlu mengajak mahasiswanya mengenal Al-Jahiz setelah membaca karya-karyanya secara mendalam. Dia dulu sekadar mengenal nama Al-Jahiz sebagai ulama bidang filsafat Islam dan menjadi pemikir gerakan mu’tazilah. Namun, setelah dibaca lagi, Higham mengakui pemikiran Al-Jahiz telah masuk teritori kajian biologi serius untuk masanya.

“Saya benar-benar terkejut ketika mendapati beberapa makalah Al-Jahiz secara spesifik menyinggung konsep evolusi, atau lebih tepatnya seleksi alam,” kata Higham. “Beberapa gagasan yang disampaikan Al-Jahiz misalnya kompetisi mahluk hidup berebut sumber daya alam yang terbatas, kemudian adaptasi lingkungan, serta dampak adaptasi mahluk pada kesiapan mereka menghadapi perubahan zaman.”

Dari catatan Higham, setidaknya ada delapan ilmuwan muslim yang sudah membahas teori evolusi, jauh sebelum Darwin. Higham tidak sendirian. Rio Diogo, asisten guru besar di Howard University, pada 2017 menerbitkan paper berjudul "An untold story in biology: the historical continuity of evolutionary ideas of Muslim scholars from the 8th century to Darwin’s time”.

Perubahan kurikulum yang dicetuskan Higham disambut positif akademisi lain. Beberapa dosen kampus lain merespons twitnya, lalu menyatakan akan merevisi kurikulum di kelas masing-masing. Sebagian sudah melakukannya, seperti Andy Higginson, dosen biologi di University of Exeter yang menyatakan, "Aku belum lama ini juga memperkenalkan ilmuwan muslim saat mahasiswa belajar teori evolusi.”

Iklan

Perubahan sikap para akademisi ini bukan hendak menuding Darwin meniru pemikiran ilmuwan muslim Abad 8 hingga Abad 10. Tapi penting bagi para pembelajar, terutama generasi muda, memahami bila ilmu pengetahuan berkembang dengan cara metode falsifikasi, dialektika, serta sintesis, menggabungkan pemikiran orisinal berbagai ilmuwan yang merentang berabad-abad.

“Sebab, sejarah pengetahuan selalu merupakan cerita keberhasilan kolektif umat manusia. Bukan sekadar kemampuan individu menciptakan karya besar, melainkan kolaborasi dan kegigihan manusia berjuang bersama menciptakan terobosan,” kata Salman Hameed, Direktur Kajian Ilmiah Lembaga Studi Muslim Societies di Hampshire College Amherst, Massachusetts.

Ada satu masalah yang menggelayuti penulisan sejarah sains, khususnya di Eropa dan Amerika Utara. “Terlalu fokus pada pencapaian individu tertentu,” kata Sarah Qidwai, mahasiswa pascasarjana bidang sains murni di the University of Toronto. Beberapa pemikir non-Barat akhirnya terpinggirkan, padahal turut menyumbang gagasan penting bagi pengembangan beberapa disiplin ilmu.

Erns Mayr, dalam bukunya The Growth of Biological Thought yang terbit pada 1982, menuding peradaban ilmiah dunia Arab, khususnya pemikir Irak, Iran, atau Mesir, “kurang berkontribusi pada kajian biologi.” Pemikir Islam diakui kontribusinya pada filsafat, matematika, astronomi, atau kedokteran, tapi bagi Mayr, tidak untuk bidang biologi. Asumsi itu jelas keliru, mengingat Dinasti Abbasiyah di Baghdad merupakan kekhalifahan Islam yang paling mendukung kebebasan intelektual, bahkan mendukung para ilmuwan masa itu untuk lebih sering meneliti dan menulis untuk topik apapun.

Iklan

Sementara menurut Qidwai, ilmuwan muslim yang sezaman dengan Darwin saja ada yang mendukung seleksi alam. Salah satunya Sayyid Ahmad Khan, ulama India yang hidup di Abad 19. Ahmad Khan menulis beberapa makalah yang menjelaskan seleksi alam versinya sendiri. Sang ulama juga menegaskan, bahwa konsep evolusi tidak bertentangan dengan iman penganut Islam ataupun ajaran Al Quran. Karena teori ini sekadar menjelaskan cara kerja alam, bukan menjawab asal-usul manusia.

Sementara dari hasil pembacaan Rui Diogo, Al-Jahiz paling intensif membahas teori seleksi alam di Kitab Al-Hayawan, atau bisa diterjemahkan “Buku-buku tentang Binatang”, terdiri dari tujuh jilid. Dalam seri kitab itu, Al-Jahiz menuliskan hasil pengamatannya bertahun-tahun tentang pola hidup beragam binatang di Jazirah Arab.

Hasilnya, dari perbedaan karakter mahluk yang tinggal di daerah tandus dan subur, Al-Jahiz menyimpulkan kemampuan organisme bertahan hidup ditentukan kemampuan pihak yang lebih efektif mengumpulkan sumber daya. Sehingga, dia mengasumsikan mahluk hidup mengalami evolusi fisik, yang terjadi berkat ketentuan Allah SWT.

“Al-Jahiz secara spesifik menyebut seleksi alam adalah proses dari keinginan mahluk untuk bertahan hidup. Dia juga menjelaskan kesiapan fisik dan perubahan fungsi tubuh organisme akan mendukung ambisi tersebut,” kata Diogo. “Al-Jahiz sekaligus menyimpulkan bila dalam spesies yang sama, mahluk yang lebih sehat dan kuat lebih berpeluang bertahan dibanding sejawatnya yang lemah, lalu mewariskan keturunan yang juga mampu hidup di kondisi berat.”

Iklan

Gagasan evolusi, yang seringkali diserang kaum religius karena dianggap menyamakan manusia dengan binatang lain, bahkan ditulis secara spesifik oleh Abu Alraihan Muhammad Ibnu Ahmad Al-Beruni, 800 tahun sebelum Darwin membuat kesimpulan serupa.

Alraihan menyatakan manusia “hijrah” dari kerajaan fauna lalu mencapai kondisi yang lebih sempurna di muka bumi sebagai mahluk yang memiliki akal. Alraihan meyakini primata seperti kera merupakan salah satu proses hijrah sebelum manusia menjadi spesies unggul.

Ilmuwan muslim tenar lainnya, Ibnu Khaldun, yang berkarya di Afrika Utara sepanjang Abad 14, turut menuliskan proses perubahan gradual tiap spesies, termasuk manusia, agar sesuai dengan proses seleksi alam. Khaldun juga menyinggung bahwa perbedaan ras sebagai efek dari adaptasi manusia terhadap lingkungan tinggalnya selama berabad-abad, yang kemudian diwariskan lewat proses genetik. Khaldun memakai argumentasi ini untuk menolak rasisme.

“Kulit hitam bukan tanda seorang manusia berdosa,” tulis Khaldun, seperti dikutip Diogo. “Kulit semacam itu adalah kausalitas dari iklim yang panas di wilayah selatan benua ini, sehingga pigmen meresponsnya menjadi lebih hitam agar manusia lebih tahan beraktivitas di alam bebas.”


Tonton dokumenter VICE saat meliput komunitas pengikut Harun Yahya, penulis Turki yang terkenal gigih menolak teori evolusi:


Para ilmuwan muslim tersebut juga meyakini evolusi tidak bertentangan dengan iman. Ibnu Miskawayh, filsuf muslim asal Persia yang hidup pada Abad 10, menulis kalau bukti di alam menunjukkan manusia berkembang dari mahluk lain yang lebih sederhana. Tapi berkat Allah, manusia menjadi satu-satunya yang memiliki akal dan budi pekerti.

Iklan

Pemikiran para ilmuwan muslim itu sudah pasti beredar luas, menjadi perbincangan, dan kelak menginspirasi pemikir-pemikir Eropa sebelum Darwin. Bahkan Darwin secara tegas mengaku terinspirasi mendalami evolusi karena membaca karya-karya pakar botani Joseph Dalton Hooker, geolog Charles Lyell, dan kakeknya sendiri Erasmus Darwin

“Kadang orang komentar, ‘tapi kan teori ilmuwan muslim berbeda dari Darwin’. Ya memang beda. Kajian saya tidak berusaha bilang yang dipikirkan Darwin sudah dipikirkan orang Islam, bukan seperti itu,” kata Diogo. “Tapi saya mau bilang, gagasan para filsuf dan pemikir dari peradaban Islam ini jelas masuk kategori teori evolusi. Sebagian dari mereka tegas menulis kalau manusia dan kera itu berasal dari garis keturunan yang sama. Jadi dimensi kajiannya tentu layak disebut masuk teori evolusi.”

“Darwin sepanjang yang saya tahu tidak pernah mengenal pemikiran Jahiz dari catatan pribadinya, jadi tidak mungkin ada pencurian ide atau plagiasi gagasan,” kata Rebecca Stott, yang pada 2013 menulis buku Darwin's Ghosts. “Namun saya yakin, andai Darwin berkesempatan membaca buku Jahiz, dia akan menyetujui beberapa kesimpulannya.”

Peradaban Islam di masa keemasan, terutama saat Dinasti Abbasiyah berkuasa di Irak, disebut-sebut berjasa besar memuluskan transisi peradaban barat menuju masa modern. Sebab karya-karya pemikir Islam dari era tersebut merawat filsafat Yunani serta pengetahuan Romawi Kuno, ketika di abad yang sama, Eropa sedang berada dalam keterpurukan.

Iklan

Sebagian ilmuwan modern berhati-hati memasukkan pemikiran ulama muslim masa lalu dalam kurikulum ilmiah. Alasannya karena mereka masih mempertimbangkan keterlibatan Tuhan dalam setiap peristiwa alam, sehingga tulisan-tulisan tersebut lebih pas disebut kajian agama, atau spekulasi mistik.

Namun, Diogo atau Hameed meyakini kalau sudut pandang itu bisa didamaikan. Sebab ilmuwan manapun pasti pernah pada satu titik mempertimbangkan agama. Darwin sendiri ketika mencetuskan teori evolusi juga sempat bimbang memikirkan dampak teorinya pada keyakinan agama.

Pemikiran itu tergambar dalam suratnya pada 1879 pada seorang kolega. “Saya tidak pernah merasa diri ini Atheis, dalam arti menyangkal keberadaan Tuhan. Saya mungkin lebih tepat tidak memikirkan esensi ketuhanan saat membahas fenomena alam, sehingga saya lebih nyaman disebut agnostik,” tulis Darwin.

Ilmuwan Barat lain yang legendaris, seperti Isaac Newton bahkan jelas-jelas pribadi yang religius. Dalam korespondensinya di surat pada rekan sejawat, Newton menegaskan kalau Tuhan berperan besar dalam penempatan planet-planet dengan menempatkan sistem gravitasi.

Hameed menyatakan, istilah dan definisi ‘ilmuwan’ baru muncul pada Abad 19. Sebelum era itu, laku Darwin atau Newton masuk kategori kerja-kerja filsuf atau sejarawan hukum alam.

“Sehingga, saya pikir tidak bijak bila kita mengabaikan kajian pemikir sebelum Abad 19, hanya karena mereka terpengaruh pandangan agama. Tidak adil rasanya karena berarti kita harus mengabaikan kontribusi para pemikir abad pertengahan dari ilmu modern,” kata Hameed.

Di kalangan akademisi muslim sendiri, mulai muncul renungan mengapa teori Darwin sering ditolak oleh ulama. Lewat esainya di jurnal Nature yang terbit pada 2015, guru besar Universitas Yordania, Rana Dajani, menyatakan penolakan kalangan muslim terhadap teori evolusi baru muncul secara agresif pada Abad 20.

Sebab, teori Darwin dipakai negara-negara Barat menjustifikasi penjajahan. “Ada asosiasi kuat mulai awal 1900-an, yang mengaitkan teori Darwin dengan kolonialisme, imperialisme, atheisme, serta rasisme,” tulis Dajani. Namun, dari penelusurannya, cukup banyak ilmuwan muslim sejak abad pertengahan yang menyinggung teori seleksi alam.

Higham sendiri mengaku keputusannya memasukkan nama-nama ilmuwan muslim dalam kurikulum kampusnya adalah cara untuk mengajak mahasiswa menyadari bila perkembangan pengetahuan senantiasa terjadi secara gradual, dalam waktu yang panjang. “Prosesnya juga melibatkan banyak individu dari wilayah berbeda di seluruh dunia,” tandasnya. “Sebab dengan begitu, kita menyadari siapapun bisa berkontribusi pada pengetahuan tak peduli dari mana dia berasal.”

Follow Shayla Love di Twitter.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard