Musik

Resto, Hotel, Toko, hingga Kafe kini Wajib Bayar Royalti Saat Memutar Lagu

PP terbaru mengatur 14 jenis layanan komersial wajib bayar royalti ke musisi. Ini jelas kabar baik buat musisi Indonesia. Untuk UMKM tarif royaltinya lebih murah.
PP No 56 tahun 2021 wajibkan restoran, mal, swayalan, kafe, dan hotel bayar royalti ke musisi saat putar lagu
Foto ilustrasi untu kolase oleh Filip Havlik dan Rendy Novantino/via Unsplash

Berita baik buat para pencipta lagu seantero Indonesia. Pada 30 Maret 2021, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Regulasi ini mengatur sistem pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik yang wajib dibayarkan para penyelenggara kegiatan komersial kepada pencipta dari lagu yang mereka putar di kegiatan mereka. Sistem diatur satu pintu lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Iklan

“Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional [LMKN],” sebut Pasal 3 ayat 1 PP 56/2021.

LMKN adalah lembaga pemerintah yang dibentuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 2015 dengan kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pemilik hak cipta. Penyanyi Ebiet G. Ade jadi satu nama tenar yang jadi komisioner di lembaga tersebut.

Pasal 3 ayat 2 PP 56/2021 menyebutkan 14 jenis layanan publik yang dikenai kewajiban membayar royalti. Lini usaha yang dikenai wajib bayar royalti musik dan lagu ini meliputi seminar, tempat kongkow seperti kafe hingga diskotek, konser musik, alat transportasi seperti pesawat hingga kapal, pameran dan bazar, bioskop, nada tunggu telepon, bank dan perkantoran, pertokoan, pusat rekreasi, televisi dan radio, hotel, hingga karaoke. 

Bagaimana mekanismenya? Pertama, pencipta, pemilik hak cipta, pemilik hak terkait, ataupun yang diberi kuasa mengajukan permohonan pencatatan lagu dan/atau musik yang diciptakannya kepada LMKN. Karya tersebut akan dicatatkan dalam “daftar umum ciptaan” yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual. Pusat data ini akan diperbaharui setiap tiga bulan sekali.

Iklan

Apa bagian lagu yang mesti dicatat? Menurut pasal 7, pusat data lagu memuat informasi soal pencipta (penulis notasi, lirik, dan pengarah musik), pemegang hak cipta (penerbit musik, ahli waris pencipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta), serta pemilik hak terkait (produser fonogram dan pelaku pertunjukan).

Setelah pencatatan tersebut, apabila ada pemilik usaha yang mau memutar lagu favoritnya di tempat usaha yang ia kelola, dia bisa mengajukan permohonan lisensi melalui LMKN. Setelah mendapatkan izin penggunaan lagu, pemilik usaha melakukan pembayaran sejumlah uang. Pembayaran dilakukan setelah pemilik usaha melaporkan penggunaan lagu kepada LMKN. Beruntung bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, pemerintah memutuskan akan ada keringanan tarif royalti.

Dari sana, LMKN akan mendistribusikan uang royalti kepada mereka yang berhak sesuai daftar catatan yang mereka punya.

Berhubung udah menyangkut soal bayar-membayar, pengusaha mungkin jeri kudu membayar billing royalti lagu yang dalam sehari bisa ratusan yang disetel. Soal besar royaltinya, PP tersebut bilang nanti LMKN yang akan menentukannya, disahkan oleh Menteri hukum dan HAM.

Tapi buat gambaran, 2016 lalu LMKN udah pernah bikin daftar tarif royalti lagu dan musik. Rinciannya: Pameran dan bazar membayar lumpsum Rp1,5 juta per hari. Konser musik membayar 2 persen dari hasil kotor penjualan tiket. Nada tunggu kantor dan bank Rp500 ribu per hari. Restoran dan kafe Rp60 ribu per kursi pelanggan per tahun. Klub malam, bistro, dan bar Rp180 ribu per meter persegi tempat usaha per tahun. Diskotek Rp430 ribu per meter persegi tempat usaha per tahun. Karaoke bervariasi dari Rp12 ribu sampai Rp300 ribu per ruangan per tahun.

Soal hukuman buat yang ngeyel nyetel musik dan lagu tanpa lisensi, UU 28/2014 tentang Hak Cipta yang jadi induk PP ini menyebut di Pasal 113 bahwa hukuman pidana yang menanti berupa penjara maksimal 3 tahun dan/atau denda maksimal Rp500 juta. Hiy seram.

Aturan ini jadi angin segar setelah LMKN dibentuk sejak 2015 namun tak kunjung menghasilkan aturan konkret. “Dengan terbentuknya LMKN ini, para komisioner wajib segera menyusun anggaran dasar, kode etik LMKN di bidang lagu dan musik, dan menetapkan tata cara pendistribusian royalti dan besaran royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait agar mendapatkan kepastian hukum,” kata Yasonna dilansir Detik, 2015 silam.

Semoga dengan diterbitkannya PP ini, musisi tidak lagi ketar-ketir ketika job manggung sepi kayak pas corona gini :(