Pelanggaran HAM Berat

Gugatan Lawas Pelanggaran HAM Warga Aceh Libatkan Exxon Bakal Disidangkan di AS

Untuk kali pertama, pelanggaran HAM berat di Aceh akan dihadapkan ke muka pengadilan. Perusahaan migas ExxonMobil dituding membantu ABRI lakukan genosida warga sipil Aceh pada akhir ’90-an.
Gugatan 11 warga aceh atas dugaan genosida ABRI dibantu ExxonMobil Akan Disidangkan di Amerika September 2022
Tentara Indonesia mendatangi rumah warga sipil di Kabupaten Aceh Besar pada 16 Agustus 2003, yang diduga lokasi persembunyian anggota GAM. Foto oleh stringer/AFP

Kasus pelanggaran HAM berat yang lama tak terusut di Indonesia, tahun ini berpotensi akan digali oleh pengadilan mancanegara. Kasus berjudul “Doe dkk. melawan ExxonMobil Corp. dkk” pertama kali didaftarkan ke Pengadilan Distrik Columbia, Amerika Serikat, pada Juni 2001. Gugatan ini sekarang beralih ditangani pengadilan federal AS. Doe adalah julukan serupa ‘Mr X’, alias korban kejahatan atau penggugat yang tidak disebut namanya untuk alasan keamanan. Gugatan terhadap Exxon diajukan 11 warga Aceh yang dirahasiakan identitasnya.

Iklan

Menurut kuasa hukum para penggugat, setelah 21 tahun menghadapi upaya ExxonMobil mengulur waktu, akhirnya kasus tersebut berpotensi disidangkan pada September 2022, demikian dikutip BBC Indonesia.

Kesebelas orang Aceh itu mendakwa perusahaan minyak dan gas (migas) ExxonMobil mensponsori genosida, pembunuhan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pemerkosaan terhadap warga sipil di sekitar fasilitas-fasilitas tambang gas bumi milik ExxonMobil di Aceh Utara. Exxon merupakan salah satu raksasa migas terbesar berpusat di Texas, Amerika Serikat, sehingga kasus ini dapat ditangani pengadilan federal.

Pelaku kekerasan di Aceh adalah aparat TNI (saat itu masih disebut ABRI), yang pada akhir 1990-an hingga awal 2000 dikerahkan menjaga properti ExxonMobil dari gangguan milisi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tugas itu, dalam praktiknya, membuat tentara Indonesia justru lebih sering menyasar warga sipil, atas tuduhan tanpa bukti bahwa korban adalah anggota GAM. Situasi kekerasan itu berlatar Aceh dalam status Daerah Operasi Militer sepanjang 1989-1998 (disusul Darurat Militer pada 2003-2004 pada era Presiden Megawati). 

Iklan

“Suami saya dibawa tentara,… Tangannya dipotong dan mereka mencungkil matanya,” demikian pengakuan salah seorang penggugat yang kehilangan suami sejak Januari 2001, saat diwawancarai Nikkei Asia. Suaminya tak pernah pulang sejak saat itu. Kasus suami “hilang” ini jamak dialami penggugat lain.

Pada laporan berbeda, resume buletin Down to Earth (tayang Agustus 2001) merekam kisah seorang warga yang sedang bersepeda membawa sayur ke pasar, tiba-tiba ditembaki lengannya dan dilempari granat oleh tentara yang berjaga di Unit 113 Exxon, tanpa babibu. Ada pula seorang pria yang disekap tiga bulan di tempat penyiksaan rahasia bernama “Kamp Rancong”. Pada akhirnya ia dibebaskan, namun sebelumnya ia sempat ditunjukkan sebuah lubang berisi potongan kepala-kepala manusia serta rumahnya dibakar.

Para korban merujuk pelaku sebagai “tentara Exxon”. Dalam gugatan tersebut turut disebut bila mesin pengeruk milik ExxonMobil dipakai TNI membuat lubang kuburan massal korban kekerasan aparat. 

Jika sidang ini resmi tergelar, maka untuk kali pertama sejak Reformasi 1998, kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh berhasil dibawa ke hadapan pengadilan. Tak ada data berapa korban yang jatuh selama perang saudara sepanjang DOM 1989-1998, termasuk di masa transisi menuju perdamaian Indonesia-GAM setelah bencana tsunami, namun jumlahnya dipercaya mencapai ribuan jiwa.

Iklan


Terobosan hukum macam ini baru bisa terjadi di pengadilan luar negeri. Di Indonesia, mandat MoU Helsinki 2005—yang jadi dasar perjanjian damai RI-GAM—menyatakan semua kejahatan sipil oleh aparat militer harus diadili di pengadilan sipil. Namun mandat tersebut sejauh ini hanya jadi catatan di atas kertas. Baik penyelidikan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) maupun Komnas HAM, hasilnya terhenti di Kejaksaan Agung

“Sekarang masalahnya Kejaksaan Agungnya bolak-balik berkas terus sama Komnas HAM,” ujar Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, pada 2020 lalu, kepada VOA Indonesia.

Beking militer untuk perusahaan asing

Adalah Mobil Oil Corp. yang mula-mula membuka cabang di Jakarta pada 1967, dua tahun setelah dimulainya suksesi berdarah G30S. Empat tahun kemudian, perusahaan tersebut menemukan cadangan gas alam cair dalam jumlah besar di Lhoksukon, Aceh Utara.

GettyImages-1187382191.jpg

Prajurit TNI memeriksa jenazah dua lelaki diduga anggota GAM di Lhokseumawe, pada 25 Mei 2003. Foto oleh Choo Youn-kong/AFP

Penemuan membuat Mobil Oil Indonesia (MOI)—cabang lokal Mobil Oil Corp.—bergandengan dengan Pertamina membentuk perusahaan patungan bernama PT Arun LNG untuk mengolah gas alam di lokasi yang kemudian bernama Lapangan Arun.

Iklan

Kerja sama ini tampaknya mendorong pemerintah Indonesia menyatakan Lapangan Arun sebagai Objek Vital Nasional. Gugatan menyebut, kontrak kerja sama keduanya mencantumkan bahwa Pertamina setuju membantu dan mempercepat produksi dan ekstraksi gas dengan cara “menyediakan… perlindungan keamanan… sesuai yang diminta [Exxon]”. 

Pada 1999, setahun setelah Suharto mundur, ExxonMobil Corp. membeli Mobil Oil Corp. memicu penggabungan dua perusahaan raksasa migas global ini. Di Aceh, MOI yang berubah nama menjadi ExxonMobil indonesia, terus melakukan eksploitasi di Arun dengan pengawalan tentara Indonesia. Pada Juni 2021 The Jakarta Post melaporkan, 2.200 personel militer ditempatkan sepanjang 80 kilometer jalur distribusi gas di Lhoksukon, demi menghadang gangguan GAM.

Dalam jawaban resminya atas gugatan warga Aceh, ExxonMobil menampik semua tudingan pelanggaran HAM berat tersebut. Jubir Exxon beralasan, “Tergugat tak punya kontrol, karena hukum Indonesialah yang mewajibkan mereka untuk memiliki personel keamanan militer di lokasi.” Mereka juga mengklaim tak mengetahui adanya pelanggaran HAM maupun kekerasan yang terjadi di sekitar situs ExxonMobil di Aceh. 

Terry Collingsworth, salah satu kuasa hukum penggugat, sekaligus pengacara HAM dari LSM The International Labor Rights Fund, “membantah” argumen Exxon lewat artikelnya di Harvard Human Rights Journal (terbit 2002). Ia menuliskan bila Exxon Mobil, dengan segala kekuasaannya, tak pernah berusaha membuat pasukan keamanan menghentikan kekerasan terhadap penduduk lokal. Sebaliknya, perusahaan cenderung tak peduli.

“[…] pada Maret 2001, memanasnya konflik sipil antara separatis Aceh dan pemerintah membuat petinggi Exxon Mobil merasa terancam sehingga perusahaan langsung menghentikan operasinya dan meminta tambahan keamanan dan ‘jaminan’ keselamatan pekerjanya. Tak pernah Exxon Mobil turut meminta adanya prosedur keamanan baru demi keamanan warga desa. Permintaan tambahan keamanan jelas akan mendatangkan lebih banyak pasukan dan lebih banyak pelanggaran HAM pula, yang tampaknya dimaklumi Exxon Mobil. Pada Juli 2001, Exxon Mobil mengumumkan telah puas dengan pengamanan baru ini serta akan membuka kembali asetnya,” demikian kutipan catatan Collingsworth. 

Dengan adanya perkembangan baru ini, salah seorang penggugat bertekad maju terus. “Kami ingin tahu vonisnya. Kami ingin semua ini jelas, dan kami tak takut. Kami sudah menghadapi dan mengalami penyiksaan. Kami adalah orang-orang yang dipukul dan disiksa itu,” tuturnya kepada Nikkei Asia.