kejahatan seksual

Perwira Polisi di Sulsel Ditangkap, Paksa Pembantu yang Masih SMP Jadi Budak Seks

Pelaku yang berpangkat AKBP dari Gowa itu berulang kali memerkosa korban, dengan iming-iming akan membiayai pendidikannya. Dia kini ditahan Propam Polda Sulsel.
Perwira Polisi di Kabupaten Gowa Sulsel Ditangkap Propam Karena Perkosa Perempuan Masih SMP
Ilustrasi tindak kekerasan seksual via Getty Images

Perwira berinisial AKBP M, yang bertugas di Polda Sulawesi Selatan, ditangkap Bidang Profesi Pengamanan (Propam) institusinya sendiri karena berkali-kali memperkosa anak perempuan berusia 13 tahun berinisial IS. Selama lima bulan, IS diperkosa setidaknya 15 kali. Pelaku melancarkan aksi biadabnya pada korban yang masih duduk di bangku SMP, selama IS bekerja di rumah pelaku sebagai pembantu rumah tangga.

Iklan

Kasus ini menjadi aib kesekian lembaga kepolisian, lantaran tindak kejahatan serius justru dilakukan oleh penegak hukum. Propam menangkap pelaku di rumahnya, di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Senin (28/2), setelah mendapat laporan mengenai pemerkosaan tersebut. Menurut Propam Sulsel, pelaku masih diperiksa secara intensif. 

"Untuk memudahkan proses pemeriksaan, kami resmi tahan yang bersangkutan," ujar Kabid Propam Polda Sulsel Kombes Pol Agoeng Adi Koerniawan, pagi ini (1/3), dilansir JPNN. Saat ini AKBP M juga masih berstatus polisi aktif, karena keluarga korban belum melaporkan secara resmi kasus ini. Rencananya, laporan akan dilayangkan pengacara korban pada Selasa, 1 Maret 2022.

Kakak korban berinisial AI mengatakan, korban menjadi pembantu di rumah AKBP M sejak September 2021. "Dia masuk kerja bulan [September] pertengahan, bulan 10 adikku sudah dia setubuhi," kata AI kepada Detik.

Dengan getir, IS menuturkan bagaimana ia bisa berjumpa dengan pelaku. "Jujur, Kak, saya orang tidak punya, keluargaku hidup di bawah garis kemiskinan,” kata IS kepada Sindonews. Tawaran kerja itu datang dari kenalan ibu korban. Karena kebutuhan ekonomi, korban menerimanya. 

Iklan

IS baru bekerja seminggu bekerja ketika AKBP M mencoba memerkosanya. Serangan seksual itu dilakukan ketika IS sedang menyapu rumah. Namun, menurut IS, ia bisa melawan. Pada Oktober, pelaku masih merayu korban agar mau diperkosa, dengan janji akan dibiayai sekolah dan dipenuhi kebutuhan keluarganya.

“Pas bulan 10, dia iming-imingi akan biayai sekolahku, akan perbaiki kehidupannya keluargaku, jadi aku mau berhubungan badan sama itu bapak. Di kamar pribadinya di rumah keduanya karena rumah pertamanya itu, dekat jembatan Barombong, ada istrinya di sana,” kata IS dalam bahasa lokal, masih kepada Sindonews

Setelah itu, pelaku menjadikan korban budak seksnya. Korban terus diperkosa setidaknya tiga kali sebulan, hingga Februari 2022. Polisi sudah menerima hasil visum korban untuk penyelidikan.

Kuasa hukum korban, Amiruddin, mengatakan kasus ini bukan sekadar pencabulan, tetapi juga perdagangan manusia. Pelaku lain adalah perantara yang merekrut korban agar menjadi pembantu di rumah AKBP M. Menurut Amiruddin, ada tiga korban lain yang menjadi budak seks berkat perantara tersebut. 

"Jadi bukan cuma satu korban, menurut keterangan klien saya, ada sekitar 3 orang korban yang rata-rata umurnya belasan tahun," ujar Amiruddin kepada Viva. Jika AKBP M terbukti melanggar UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 82 ayat 1, ia terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp5 miliar.

Seakan tidak mempan pada “ancaman” Kapolri, kasus polisi memperkosa perempuan terus terjadi. Baru empat bulan lalu, geger Kapolsek Parigi di Sulawesi Tengah memperkosa anak seorang tahanan, menyita perhatian nasional.

Iptu IDGN, nama polisi bajingan itu, memperalat S (20) agar mau diperkosa dengan iming-iming bahwa ayah S yang sedang ditahan di Polsek Parigi akan segera dibebaskan. Kasus ini terungkap Oktober tahun lalu. Seminggu kemudian, sidang kode etik yang digelar Polda Sulteng memberhentikan IDGN dengan tidak hormat, namun pelaku menyatakan banding. Polisi juga berjanji memproses pidana pelaku lewat peradilan umum, namun belum ada kabar kelanjutannya hingga kini. 

Komnas Perempuan pernah melaporkan bahwa sepanjang 2016-2019, hanya 30 persen laporan pemerkosaan yang diproses hukum. Saat itu Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, ngadatnya kasus-kasus pemerkosaan kerap kali disebabkan tingkah penyelidik yang menyalahkan korban, dan intervensi pejabat atau elite berkuasa.