​Tomb Mold / Photo by Joey Arredondo
Tomb Mold / Foto oleh Joey Arredondo

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik Metal

Tahun 2018 Adalahnya Tahunnya Old School Death Metal

Sound-sound death metal lawas ini kembali untuk mengingatkan kita bahwa hanya kematian yang nyata.

2018 akhirnya lewat juga dan meninggalkan catatan menarik tentang geliat lanskap death metal global. Sepanjang tahun kemarin, extreme metal masih tetap genre musik yang jarang terbaca oleh radar penggemar musik pada umumnya—fakta yang sepertinya tak akan berubah sampai sekian tahun ke depan. Terlepas dari itu, kancah death metal global tetap hidup, diramaikan oleh segepok band-band inovatif yang secara tekun menggali, mengoprek dan bahkan mengembangkan sound-sound lawas death metal. Tren mengetengahkan kembali sound-sound death metal tua ini jelas bukan suatu yang khas pada 2018. Maksudnya, penggalian ini sudah dilakukan sejak lama. Hanya saja, tahun lalu kecenderungan seperti ini mencapai puncaknya. Ada begitu banyak band yang merevitalisasi anasir-anasir death metal ‘90an, dari blastbeat bengis khas kawasan pantai Florida hingga suara gitar mirip gergaji mesin ala-ala band-band Swedia.

Iklan

Sebelum larut ngomongin bangkitnya death metal purba 12 bulan kemarin, mungkin ada baiknya kita tentukan dulu apa yang dimaksud dengan old school death metal (selanjutnya disingkat OSDM). menggambarkan OSDM secara singkat dan padat itu adalah PR tersendiri. OSDM, seperti genre-genre metal lainnya, tak seragam. Bentangannya luas. Istilah ini memayungi banyak corak, gaya dan sound. Sejumlah kawasan—bahkan negara—punya varian OSDM khas tersendiri. Misalnya, Di luar Obituary—yang memainkan death metal rawa yang lamban, kolektif-kolektif OSDM asal Florida umumnya berlomba-lomba menyajikan death metal yang soundnya seakan berasal dari luar bumi secepat mungkin. Sebagian malah menambahkan part-part yang jazzy dan psikedelik. Di Swedia, efek boss HM-2 adalah kunci yang melahirkan apa yang kini dikenal dengan sound gitar “chainsaw.” Tak jauh dari situ, di Finlandia, band-band seperti Demilich dan Demigod menyetem gitarnya amat rendah dan memainkan track-track death metal yang butuh skill tinggi.

Meski begitu, masih terdapat benang merah dari semua varian OSDM ini. Semua band death metal membangun musiknya dari sound gitar dan bass yang sangat terdistorsi serta pola gebukan snare dan bass drum super cepat yang dikenal dengan nama “blastbeat.” Mereka juga cenderung memainkan lagu dengan tempo yang ekstrem, entah sangat cepat atau kelewat lamban. Kadang, dua tempo ekstrem ini digabungkan dalam satu lagu. Tak lupa, kebanyakan vokalis OSDM bernyanyi—jika masih bisa disebut demikian—dengan teknik growl. Penggemar OSDM tak merasa terganggu bahkan ketika lirik-lirik band kesukaan mereka tak terdengar jelas lantaran vokalisnya lebih sering gegerowokan daripada menyanyi.

Iklan

Band OSDM masa kini asal Philadelphia, Horrendous—yang mengingatkan kita pada raksasa-raksasa death metal lawas asal Florida semacam Death dan Cynic—memasukkan permainan fretless bass yang ngejazz dan liukan melodi-melodi forward-thinking dalam album terbaru mereka, Idol. Sementara itu, rekan sejawat mereka dari Toronto, Tomb Mold berkembang dari duo menjadi satu kolektif death metal utuh dan merilis album panjang kedua mereka Manor of Infinite Forms, yang sarat dengan anasir-anasir death metal Finlandia. Di Quebec, Outre-Tombe mewujudkan kecintaan mereka akan sound gitar gergaji mesin khas Swedia dalam album kedua mereka, Nécrovortex. Ketiga album ini merajai daftar album metal terbaik 2018 yang dikeluarkan oleh sejumlah publikasi metal ternama.

Dan percayalah, ini baru puncak gunung es tren revitalisasi OSDM.

Patut dicatat, death metal tak pernah menemui ajalnya. Veteran-veteran genre ekstrem metal dari tahun ‘90an ini masih terus melahirkan album-album berkualitas. Sekian di antaranya—ambil contoh, Obituary—malah tengah menikmati level kepopuleran yang tak pernah mereka rasakan dulu. Hanya saja, sound-sound death metal lawas ini harus kalah pamor dari subgenre death metal lainnya—mulai dari melo-death ngepop macam In Flames, prog-death ala Opeth, death metal disonan besutan Portal, Ulcerate dan sebangsanya, tech-death garapan Psycroptic hingga oplosan death, thrash dan black metal yang disajikan Skeletonwitch. Dengan kata lain, antusiasme untuk menggali sound-sound death metal tua yang lebih straightforward terhitung rendah (sudah begitu stagnan lagi), apalagi di kalangan penikmat death metal muda.

Iklan

Akan tetapi, beberapa tahun lalu situasinya berubah drastis. Mendadak, OSDM jadi komoditas hot di kancah metal global. Dan, kentara sekali bahwa memuncaknya gerakan kembali ke khitah death metal awal ‘90an ini adalah buah dari pergeseran tren ini. Kini, semua yang kuno jadi baru kembali.

Uniknya lagi, yang bikin kebangkitan sound purba ini menarik adalah penggeraknya bukan scenester-scenester death metal bangkotan, melainkan musisi muda yang umurnya bahkan jauh lebih muda dari death metal itu sendiri. Sebagian besar anggota Scorched, band OSDM asal Delaware, bahkan belum duduk di bangku SD saat OSDM masih disebut “death metal” tok. Walau begitu, Scorched tak bisa disepelekan. Album mereka yang dirilis tahun lalu Ecliptic Butchery mampu menghidupkan kembali sound dan kegalakan death metal kuno. Gitaris Outer Heaven Jon Kunz harus cabut dari band lamanya yang lebih moncer secara komersil Rivers of Nihil, untuk menyelesaikan debut Outer Heaven Realms of Eternal Decay. Tak pelak, gara-gara punya kesamaan obsesi terhadap OSDM, dua band ini merilis sebuah 4 way split pada 2016.

Salah satu band yang namanya sedang mencuat dan juga ikut merilis lagu dalam 4 way split itu adalah Gatecreeper. Tahun lalu, mereka merilis split bersama veteran thrash metal/crossover Iron Reagan. Album pertama band asal Arizona ini Sonoran Deprivation, dilepas pada 2016 dan mendapatkan sambutan yang hangat dari khalayak pecinta death metal. Di tahun yang sama, Blood Incantation dari Denver melepas album perdana mereka yang fenomenal Starspawn (Blood Incantation cuma merilis album live dalam format kaset pita tahun lalu). Tahun ini, Blood Incantation akan menggelar tur selama musim semi, menggandeng Necrot, unit death metal beraroma punk yang digawangi personel Acephalix, Vasum, dan Scolex—semuanya berasal dari skena death metal di kawasan San Francisco Bay. Masing-masing band yang disebut barusan berperan penting bagi kebangkitan OSDM belakangan ini.

Iklan

Akan tetapi baik Blood Incantation, Gatecreeper, Outerheaven ataupun Scorched bukanlah pencetus revitalisasi OSDM. Benih-benih kembalinya sound-sound lawas death metal sudah mulai disemai satu dekade silam. Biang keroknya adalah Black Breath dan Trap Them, dua band hardcore punk yang sekarang sudah bubar. Keduanya mencuplik sound gitar death metal Swedia dan mengaplikasikannya dalam konteks yang lebih kekinian. Beberapa tahun berselang, sejumlah band seperti—Grave Miasma, Dead Congregation, dan Necros Christos—meminjam sound bengis yang dipelopori death metal Pennsylvania Incantation untuk kemudian ditingkatkan level kebengisannya. Hasilnya: death metal beracun dan bengis yang berada di garis ambang batas antara death metal dan musik ambient.

Tren masuk perlahan-lahan seperti skrup yang diputar ke batang kayu. Awalnya, sejumlah band mengadopsi sound-sound OSDM, tapi meninggalkan strukturnya. Lalu, sebagian kelompok awal yang mengadopsi sound lawas ini menggali lebih dalam lagi (ini yang dikerjakan oleh Blood Incantation dan Gatecreeper) dan namanya langsung populer. Ini membuka jalan bagi band-band lainnya dan menyulut ketertarikan akan OSDM di kalangan pecinta death metal. Tanpa fondasi seperti ini, rasanya kita sudah membayangkan betapa masifnya kebangkitan OSDM setahun kemarin.

Band-band yang kurang mujur mengecap popularitas seperti Tomb Mold atau Horrendous menempuh satu-satunya opsi yang mereka punya: makin dalam menenggelamkan diri dalam OSDM dan memadupadankan anasir-anasir OSDM guna menciptakan komposisi death metal yang segar. Ghastly, dari Finlandia, memfokuskan diri pada part-part psychedelic Morbid Angel untuk menggubah album mereka yang trippy, Death Velour. Kolektif asal Spanyol Ataraxy menyatukan komposisi funeral doom yang muram dengan part-part ngebut Ala Bolt Thrower dalam album Where All Hope Fades. Di Turki, Burial Invocation sampai memeram album debut mereka, Abiogenesis, selama tujuh tahun agar bisa merenteng bagian gitar shredding ala Guitar Hero, interlude akustik dan eksperimentasi gaya bernyanyi guttural dalam komposisi yang umumnya berdurasi lebih dari 10 menit. Binah menggabungkan elemen-elemen serupa dengan tone gitar khas Swedish Death Metal di album Phobiate. Chapel of Disease dari Jerman lebih nekat lagi. Mereka menyusupkan lick-lick ala nenek moyang heavy metal seperti Blue Oyster Cult dan Deep Purple dalam komposisi death metal purba di album debut mereka … and as We Have Seen the Storm, We Have Embraced the Eye (Plus, mereka dengan santai memainkan teknik chicken-picking yang dipopulerkan oleh Dire Straits. Brengseknya, hasilnya tetap nyambung, logis dan tak merusak cita rasa death metalnya sama sekali).

Iklan

Oh ya, jika kalian pikir tren OSDM ini belum sampai di Indonesia, kalian kecele. Meski menyebut musiknya sebagai adult contemporary progressive death metal, Goddess of Fate, band asal Yogyakarta, sedikit banyak mengingatkan kita pada Opeth, Edge of Sanity dan karya-karya Dan Swano.

2018 adalah tahunnya OSDM. Ini fakta yang sepertinya harus kita terima, terlepas kita merayakan atau tidak kembalinya sound-sound death awal ‘90an. Namun, penyebab kenapa tren ini menguat beberapa tahun terakhir masih sangat bisa diperdebatkan. Jawaban paling gampang adalah masifnya konsumsi musik di internet. Kita bisa saja ngomong, “itu kan bisa terjadi karena anak-anak zaman sekarang menemukan betapa gaharnya musik Entombed dan Morbid Angel dan membanjirnya band-band OSDM adalah sebuah konsekuensinya.” Walaupun tak melenceng-melenceng amat, penjelasan ini tak bisa menggambarkan secara komprehensif bangkitnya OSDM. Jelas, kebangkitan sound-sound death metal tua punya dimensi sosial dan politik. Hal ini diamini oleh Horrendous. Dalam salah satu wawancaranya awal tahun lalu, member Horrendous mengakui bahwa track-track dalam album Idol terinspirasi pilpres Amerika Serikat 2016. Lagu “Idol”—lanjut mereka— mengacu pada bagaimana media macam FOX menuhankan Trump serta agenda nasionalisnya yang rasis dan memasarkan Trump sebagai tuhan palsu bagi Amerika Serikat.

Sentimen yang juga diisyaratkan oleh rilisan OSDM lainnya tahun lalu. Realms of Eternal Decay-nya Outer Heaven , Where All Hope Fades milik Ataraxy, dan album Chapel of Disease … as We Have Seen the Storm, We Have Embraced the Eye memang bukan album yang politis, namun semuanya sarat dengan kecemasan yang seragam. Album-album ini bercerita tentang dunia yang membusuk dengan cepat dan perjuangan penduduknya mencari secercah harapan.

Ini jelas bukan pandangan dunia yang mengada-ada. Sepanjang tahun lalu, otoriterianisme semakin menjadi-jadi dengan Donald Trump—lelaki yang diacu dalam lirik Horrendous sebagai "idolator-in-chief”—berada di pusatnya. Malah, kondisinya bisa lebih busuk dari yang kita kira. Menurut laporan National Climate Assessment, kesempatan yang kita punya menyelamatkan peradaban manusia dari kerusakan dahsyat akibat aktivitas industri manusia makin menyempit. Dalam kondisi segenting ini, kematian adalah satu-satunya nyata. Kematian memaksa kita menyadari bahwa umat manusia cuma daging dan darah bernyawa yang satu saat akan menemui ajal. Dengan terus “mendekatkan diri” dengan kematian, lewat death metal, terbuka kemungkinan kelak maniak death metal melawan kesewenang-wenangan ini dan mengubah kondisi yang menyebalkan ini. Inilah alasan kenapa kebangkitan OSDM sangat nyata dan relevan setahun lalu.

Mengutip penulis horor yang jadi sumber inspirasi banyak lagu death metal, Cliver Barker, “Tiap orang itu tak lebih dari buku penuh darah. Halaman manapun yang terbuka, warnanya tetap merah.”

Death metal mengingatkan kita bahwa—terlepas dari apapun identitas yang kita sandang dan pandangan hidup yang kita yakini, kematian tak pernah jauh. Artinya, segala tindakan sangat berharga sebab ajal toh datang kapanpun dan semaunya.

Joseph Schafer bisa diajak ngobrol tentang death metal purba di Twitter .