Saya Meminta Dokter Bedah Plastik Populer di Instagram Mengubah Wajah Saya Jadi Boneka
Semua foto oleh Sean Foster

FYI.

This story is over 5 years old.

Makna Kecantikan

Saya Meminta Dokter Bedah Plastik Populer di Instagram Mengubah Wajah Saya Jadi Boneka

Dr Naomi, sosok yang kini dipuja para pecinta operasi plastik, memberi pemahaman baru soal apa makna kecantikan.

“Satu milimeter di muka sama dengan satu kilometer dalam jiwa,” ucap Dr. Naomi. “Hal-hal kecil yang kita lakukan, bisa mengubah hidup orang selama-lamanya.” Sayangnya, meski Dr. Naomi ngomong demikian, saya belum bisa menemukan bukti omongannya. Semenjak kunjungan pertama saya ke klini Paddington, saban kali saya melewati permukaan yang memantulkan bayangan, mata saya langsung tertuju pada goresan halus di jidat saya. Sebenarnya, saya bisa saja menghapusnya dari muka saya. Prosesnya paling beberapa detik saja. Tapi ya itu, hasilnya cuma sementara. Kali lain, mata saya akan tertumbuh pada lekukan di bawah hidung yang makin dalam di daerah dekat bibir saya. Atau bisa saja saya memandangi lengkungan di garis dagus saya.

Iklan

Begitulah yang sering terbersit di benak begitu saya sadar akan perubahan-perubahan kecil di wajah. Saya sih kerap menenangkan diri dengan bilang kalau perubahan-perubahan ini dimaksudkan untuk membuat wajah saya mendekati kesempurnaan. Asal kamu tahu, perubahan-perubahan adalah hasil kerja seorang dokter kosmetik paling termashur di Sydney. Saya menemuinya untuk ngobrol tentang seluk-beluk pekerjaannya. Namun, begitu saya meminta dirinya mempraktikkan keahliannya di wajah saya, sejujurnya saya enggak pernah tahu apa yang bakal saya dapatkan.

Dr Naomi tengah mengamati wajah penulis

“Di sepertiga atas mukamu, kamu sebenarnya cantik sekali,” kata Dr Naomi, sambil menunjukkan jarinya ke garis rambut saya. Jempol Naomi berada tepat di alis saya. “Tapi, kamu bakal kelihatan lebih cantik lagi kalau punya dahi yang bundar. Dahimu ini terlalu vertikal. Pelipis kamu kelihatan kosong. Alis kamu juga bakal lebih manis kalau garis rambutnya jauh lebih panjang.” Saya berbaring di atas kursi recliner mewah di dalam kantor Naomi yang mewah di klinik tempatnya praktik. Dia menjelaskan bahwa dia membagi wajah saya menjadi empat bagian dan dengan seksama memeriksa tiap bagian dengan mata seorang dokter bedah yang terlatih. “Kuadran ketiga wajahmu cantik sekali.” katanya. “Tapi, saya wajahmu kurang simetris. Ini adalah bagian wajahnya yang paling fotogenik.”

Tepat di atas kepala saya tergantung sebuah lampu khusus, yang membuat foto wajah selepas dioperasi begitu memuka di Instargram. Sampai tulisan ini dimuat, Naomi punya lebih dari 166.000 follower yang siap menanti postingan terbaru Naomi di Instagram. Di luar kantor Naomi, tepatnya di ruang tunggu yang sangat pantas mengisi halaman tengah majalah Architectural Digest, ada beberapa perempuan yang sedang menanti giliran bertemu dengannya. Inilah perempuan-perempuan yang rela menghabiskan banyak uang—bahkan lebih banyak dari jumlah ongkos sewa apartemen saya—untuk mengejar bentuk sempurna wajah mereka. Inilah “boneka-boneka” Naomi yang sepenuhnya menyerahkan nasib kesempurnaan wajah mereka di kedua tangan Naomi. Di depan mereka, mau tak mau kita menyadari ketidaksempurnaan wajah kita. Kecantikan perempuan-perempun ini benar-benar tak masuk akal. Sama tak masuk akalnya dengan pengunjung festival musik yang tetap rupawan setelah tiga hari nonton band manggung dari panggung ke penggung tanpa henti. Saya bahkan hampir yakin waktu saya pertama kali sampai di Manse Clinic milik Naomi—telat, keringetan dan acak-acakan, resepsionis pasti mikir kalau saya salah masuk klinik.

Iklan

Boneka-boneka ini adalah bintang dalam postingan Instagram Naomi. Prosedur perombakan wajah mereka dibeberkan dengan sangat detail—kadang bikin jijik juga sih—oleh Naomi di akunnya. Kebanyakan dari mereka masih muda, namun, Naomi, segera mewanti-wanti bahwa tak semua pasiennya adalah perempuan muda. Bagi Naomi, ada semacam garis pembatas antara generasinya dan pasien-pasiennya yang jauh lebih muda. “Perempuan-perempuan muda cenderung tak mau akan operasi wajah yang mereka jalani,” jelasnya. “Saya kerap membaca komentar dalam postingan saya di Instragam yang mengatakan ‘harusnya yang dipasang adalah perempuan di atas 40 tahun..’ Sayangnya, saya cuma bisa menampilkan foto dengan seizin pemiliknya.” “Mulai dari sini ke bewah,” kata Naomi, jarinya melintas pelipis saya, “saran saya sih kamu harusnya punya tulang pipi yang lebih kentara. Piopi kamu bagus di sebelah sini. Saya ingin menghubungkannya dengan bagian ini.”

Dia lantas membuat garis sampai sampai ke telinga saya. Begitu saya gerakan ujung jari saya di sepanjang garis tersebut, saya baru sadar kalau tulang pipi saya makin tenggelam di sepanjang garis tersebut. Dalam hati, saya masih ragu apakah penampilan saya bakal naik drastis, kalau Naomi menghubungkan bagian sepanjang garis itu.

Di daerah dagu, Naomi berhenti sejenak. “Saya suka lebar garis dagu kamu, cute banget,” pujinya. “Tapi…sepertiga terbawah wajah kamu adalah bagian paling lemah dari mukamu.” Diam-diam saya langsung mengamini pengamatan dokter bedah di depan saya. Bibir saya tipis dan bikin saya kelihatan murung, dagu yang kendor, serta lesung pipi yang miring. Di daerah situ, saya memang kelihatan acakadut. Cuma mau bilang apa, saya cuma dapat warisan genetis dari kedua orang tua saya.

Iklan

Naomi melihat ke arah saya dari atas. Mukanya yang manis tertutup masker berwarna pink yang lucu. Anehnya, Naomi tak pernah mau di foto tanpa masker tersebut. Saya iseng mikir kalau jangan-jangan, Naomi punya kelamahan yang ditutupi oleh masker tersebut. Di sisi lain, saya bertanya-tanya seperti apa rasanya punya kemampuan mengenali cacat wajah, sekecil apapun itu, termasuk dalam wajah kita sendiri. Untungnya, lantaran saya kini tengah berada di klinik Naomi, sepertiga paling bawah wajah saya yang divonis sebagai kekurangan ini bukanlah sebuah musibah. Sebaliknya, ini adalah sebuah karunia. Lewat kekurangan ini, saya bisa merombak wajah saya dan mendekatkanya pada kesempurnaan.

“Apa ada solusinya, Dok?” tanya saya. “Botox,” jawabnya lurus saja, sambil mengeluarkan jarum kecil dari sebuah laci di salah satu sisi ruangan. Naomi segera membuka bungkus plastiknya dan mendekatkan ujung suntikan ke dekat mata saya. Dari dulu, saya tak pernah punya hubungan baik dengan jarum suntik. Saya benci jarum suntik. Titik. Saya dengan polos bertanya pada Naomi apakah disuntik botox bakal sangat menyakitkan. Dia cuma menggeleng dan berhenti sejenak. “Begini, keuntungan membuat video dengan gadis-gadis itu adalah mereka terlalu ngebet kelihatan cantik. Itu dengan sendirinya sebuah distraksi tersendiri,” jelasnya. “Kami biasanya pakai krim penghilang rasa sakit. Oh iya, mereka juga dikasih happy gas. Kamu juga harusnya diberi gas itu.”

Iklan

Mungkin karena pembawaan Naomi yang menenangkan atau pengaruh nitrogen oksida yang saya hisap, saya tak berontak sedikit pun ketika Naomi “menghunuskan” jarum suntik tak jauh dari muka saya. Kursi recliner yang saya duduki tetap diam tanpa gerakan berarti. Saya lantas ingat kalau saya selalu senang nonton postingan video Naomi menyuntik bibir pasiennya yang kelihatan sudah empuk hingga kelihatan penuh dan menggemaskan. Tak sedikitpun rasa takut atau jijik terlintas di benak saya. Beda kasusnya, kalau saya nonton film-film bergenre gore dan body horor. Bukannya senang dan bersemangat, saya malah biasanya semaput.

Dugaan saya kira-kira begini: saya berani nonton prosesi rombak wajah di Instragram karena tak ada satupun yang kelihatan nyata di dalamnya. Naomi berhasil menciptakan sebuah dunia di mana pasien-pasiennya jadi boneka dan semua orang tak harus hidup wajah bawaan mereka. Inilah dunia di mana kesempurnaan bisa dibanderol dengan harga….yang tentunya tak murah. Menurut tuturan Naomi, kalau saya benar-benar ingin memperbaiki wajah saya, ongkos cuma sekitar $600—itupun yang bertugas melakukan operasi adalah seorang dokter yang berkonsultasi langsung ke klinik Naomi. Sebagai gambaran, untuk sekedar ngobrol dengan Naomi, kamu harus merogoh uang sebanyak $500 dengan catatan kamu beruntung bisa melewati daftar tunggu pasien Naomi yang panjang. Saat ini, kata Naomi, panjang daftar tunggu pasien sudah mencapai tiga bulan.

Iklan

“Kalau aku ingin menyempurnakan wajah, aku akan menyuntikan botox di sini dan sedikit botox di sana. Kamu akan kelihatan cantik luat biasa,” ujar Naomi, sambil menempelkan ujung jarum suntik di dahi dan di bawah mata saya. “Kamu akan kelihatan lebih melek dan segar dan tak begitu kecapaian.” Mendengar diagnosa Naomi, saya lumayan terkejut. Dengan beratus-ratus gelas gin dan tonik yang saya tenggak seumur hidup dan hari-hari ketika saya lupa pakai sunscreen, apa yang diucapkan Naomi kedengeran tak jelek-jelek amat. “Lipatan ini harus diisi, itu akan jadi keputusan yang bagus,” Naomi meneruskan amanatnya sambil menggerakkan jarinya melintasi pipi saya. “Yang ini harus diisi. Ini juga..dagumu juga harus diisi botox.”

Naomi menjelaskan kalau Botox masih tetap jadi alasan utama orang datang ke Manse Klinik. Namun, filler—biasanya dibuat dari asam hyaluronic—kian hari kian digemari pasiennya. Filler biasanya digunakan untuk memontokkan dan menghaluskan kulit, memunculkan depresi yang diakibatkan jerawat. Namun, Naomi juga buka kartu kalau prosedur perombakan wajah paling signifikan saat ini adalah penggunaan pengencer lemak di bawah dagu, sebuah prosedur yang baru dikenal di Austrialia awal tahun ini. “Perombakan bibir sudah sangat populer sekarang,” tambahnya. “Saya sudah jarang menangani perombakan bibir.” Selama ngobrol dengan Naomi, kentara sekali bahwa bedah kosmetik adalah hidupnya. Jika tak sedang melakukan tindakan medis, Naomi menggunakan waktu luangnya di Instagram: mengunggah foto seleb dan mengamati jejak penuaan dalam wajah mereka, mendekonstruksi wajah Kylie dan Bella serta mencoba mengamati apa yang dilakukan koleganya pada wajah mereka. Dan ini sudah jadi kebiasaan Naomi sejak masih jadi mahasiswa kedokteran. “Saya enggak tahu harus ngapain kalau sudah berhadapan dengan obat. Saya sama sekali enggak suka hal ini. Hampir tak ada industri di luar industri bedah kosmetik,” katanya. “Waktu itu saya jadi dokter praktek dan saya punya botox..lalu saya pikir ‘ini yang bakal jadi hidup saya,’

Iklan

Mobil Naomi di luar Manse Clinic, "Cos MD"

Di luar sana, ada banyak "dokter bedah kosmetik” yang tak sungguh-sungguh menjalani profesinya. Bagi Naomi, ini harus diubah. Dia merujuk kasus kematian seorang pemilik salon Jean Huang awal tahun. Huang beru saja menjalani perombakan payudara di kliniknya sendiri. Nyawanya melayang setelah dirinya ditangani Jie Shao, seorang turis China yang tak memiliki izin praktik medis di Australia. “Regulasi di industri ini masih kacau…hampir tak ada aturan berarti,” kata Naomi. “Salah satu masalahnya adalah karena dokter tak harus ada di klinik. Pasien bahkan tak bisa melacak dokter yang menangani mereka. Ini yang harus segera diubah.” Pasca kematian Huang, Naomi mendorong Pemerintah Australia untuk merazia semua orang yang mendampuk dirinya sebagai “dokter bedah kosmetik” dan mewajibkan mereka untuk memiliki gelar medis—sepertinya dirinya mialnya. Setidaknya, respon awal yang didapat Naomi sangat positif.: Australian Medical Association mempertimbangkan untuk membatasi gelar tersebut hanya bagi dokter yang memiliki kecakapan melakukan operasi plastik. Perjuangan terbesarnya mungkin justru menyakinkan dunia luar untuk menganggap serius apa yang dilakukan oleh Naomi di kliniknya. Di luar sana, Naomii hanya dianggap sebagai pemuas nafsu perempuan yang ingin tampil sempurna. Belum lagi, posisinya sebagai seorang dokter betulan makin kurang dihargai seiring naiknya popularitas dirinya di Instragram.

Cap jelek macam ini bahkan keluar dari pengendara Uber yang menjemput saya di Manse Clinic setelah berjumpa Naomi. Dengan woles, pria itu mengatakan “bukannya cewek-cewek dengan bibir palsu ini makin kelihatan jelek ya?” tanyanya. Matanya terpaku di kaca spion berusaha mengamati wajah saya.
Tak beberapa lama kemudian, dia mengaku pernah memberikan operasi payudara sebagai hadiah ulang tahun 40 istrinya. “Itu kan beda,” dia membela diri. “Istri saya memang pengin dan, tahulah, saya enggak keberatan.”

Saya kira Naomi bakal ngakak mendengar penjelasan pria ini. Rasio meme dan foto pasien di akun Instagramnya menunjukkan bahwa Naomi punya sisi humor yang lumayan. Tapi jangan lupa, Naomi tengah membangun sebuah imperium bedah kosmetik yang kian hari kian besar. Dalam setahun, penduduk Australia menghabiskan miliaran dollar untuk melakoni prosesi bedah komestik. Dihitung per kapita, uang dihabiskan oleh penduduk Australia jauh mengungguli pengeluaran penduduk Amerika Serikat dalam hal yang sama. “Saya bersyukur hidup dalam lingkaran orang yang tak memberi cap buruk pada operasi plastik,” aku Naomi. Dia duduk di mejanya yang penuh sesak dengan hadiah dari pasiennya. “Tapi orang-orang yang membenci operasi plastik masih ada di luar sana.” “Seorang psikolog datang ke klinik beberapa hari lalu, dan dia mengungkapkan sesuatu yang bikin saya keki,” katanya, sambil memain-mainkan kotak kue yang dibuat sedemikian rupa biar kelihatan seperti jarum botox. “Dia bilang orang di sekitarnya membully pasien bedah kosmetik dengan bilang “Yah, rasa percaya diri mereka mah rendah.’ Padahal nyatanya, sebaliknya. Mereka cuma ingin meningkatkan penampilan mereka.”

Follow Maddison di Twitter