FYI.

This story is over 5 years old.

komik

Menjelang Tutupnya Kelir Komik Wayang Maranatha

Toko buku Maranatha di Bandung berjasa menerbitkan komik legendaris R.A Kosasih. Terjangan manga dan komik AS membuat sang pemilik menyerah, pasrah menanti akhir bisnisnya.

Sebelum Superman, Batman, Astro Boy, Goku, Monkey D. Luffy, atau Naruto menguasai pasar komik Indonesia, imajinasi anak muda diwarnai intrik Dinasti Pandawa melawan Kurawa, atau kesaktian Gatotkaca. Komik yang mengadaptasi cerita wayang merupakan primadona pembaca Indonesia sepanjang kurun 1950'an hingga 1980'an, bersama dengan genre silat, roman, serta pornografi penyiksaan azab neraka. Jurnalis Arswendo Atmowiloto menuliskan catatan di TEMPO, betapa genre wayang sedemikian populer sampai setiap surat kabar memuat bersambung komik bertema pewayangan. Komikus yang fokus pada genre wayang pada masa itu misalnya R.A Kosasih, S. Ardisoma, hingga John Lo.

Iklan

Kita sudah sering mendengar cerita betapa komik asli Indonesia pernah menjadi tuan rumah di tanah sendiri, sebelum manga dan komik Amerika akhirnya memksa cerita bergambar lokal terpinggirkan memasuki dekade 90'an. Tapi seberapa besar sebetulnya komik lokal pada masa jayanya?

Tak ada yang pantas menjabarkan peta komik Indonesia, terlebih genre wayang, dibanding pemilik Maranatha, toko buku legendaris asal Bandung. Komik-komik R.A Kosasih, komikus yang kini dianggap sebagai tokoh terbesar komik Indonesia, dulu diperjualbelikan lewat Maranatha. Pada masa jayanya, tiap hari Maranatha sanggup menjual hingga 1.500 eksemplar komik wayang, termasuk karya-karya terbaik Kosasih semisal empat jilid Mahabaratha atau Bharata Yudha. Berkat komik-komik wayang yang dibuat penulis asal kota berbeda-beda kala itu, cerita Mahabaratha yang sebenarnya asal India terasa dekat dengan pembaca kita.

Toko Buku Maranatha menjadi yang pertama di Indonesia menerbitkan sekaligus menjual komik berdasarkan khazanah cerita Tanah Air. Beragam judul cerita rakyat dan dongeng seperti Malin Kundang, Tangkuban Perahu, atau Bawang Merah Bawang Putih mereka hasilkan. Marantha yang terletak di Jalan Ibu Inggit Garnasih, Kota Bandung ini terkenal karena menjadi toko buku pertama yang membuat komik cerita wayang.

Sayangnya, nostalgia memang sudah berakhir. Maranatha kini adalah relik peninggalan masa lalu. Kiosnya, berukuran 6 x 3 meter memanjang ke belakang, dipenuhi rak penuh buku yang berdebu. Hanya ada saya dan dua pramuniaga di lokasi. "Dulu ada tiga kios, tapi sekarang tinggal ini," kata Herlina, istri mendiang pemilik Maranatha, Marcus Hadi, yang wafat nyaris satu dekade lalu. Saat penjualan masih bagus, Maranatha sanggup mempekerjakan 17 pegawai, mulai untuk percetakan, agen, hingga pramuniaga. Kini, selain Herlina, tinggal tiga pekerja yang bertahan. Bahkan, dibanding buku, bisnis sampingan fotokopi ataupun penjualan alat tulis lebih rutin mendatangkan pemasukan bagi Maranatha.

Iklan

Maranatha berusaha bertahan menjual komik tadi dengan banderol terjangkau. Komik wayang softcover rata-rata dihargai Rp35.000 per eskemplar, sementara versi kompilasi hardcover dibandrol antara Rp100.000 hingga Rp300.000. Namun, dengan harga relatif murah seperti itu, Toko Buku Maranatha tetap tak berhasil menarik minat anak muda.

Sesudah memburu beberapa buku komik wayang, saya ngobrol bersama Ibu Herlina (80), istri dari almarhum Markus Hadi, pendiri Maranatha. Kami membahas sejarah dan kondisi Toko Buku Maranatha pada masa jayanya, serta apa yang membuat toko buku itu sekarang sepi pembeli.

VICE: Ibu Herlina, boleh ceritakan sejarah singkat Toko Buku Maranatha?
Herlina: Om Kus (Marcus Hadi) kan senang sekali membuat komik. Nah komik barat terutama ya, dan seneng menggambar gitu ya, corat coret. Waktu itu ada om John Lo, dia itu paman saya sendiri. John Lo itu akrab dengan Toko Buku Melody, yang waktu itu jualan buku di Jalan ABC, Kota Bandung. John Lo mah suka buat komik cerita Tarzan dan Putri Bintang, dan karya-karya sudah diterbitkan oleh Toko Buku Melody. Karena John Lo sering main ke rumah, akhirnya ngajakin suami saya, “Yuk kita coba bikin komik bahasa Indonesia”.Tahun 1961, kita buka percetakan sekaligus toko buku. Waktu itu Toko Buku Maranatha belum di Jalan Ibu Inggit Garnasih, tapi masih di Jalan Kopo, masih sama-sama di Kota Bandung. Kami baru pindah ke lokasi yang sekarang itu tahun 1971.

Iklan

Yang pertama dibuat komiknya oleh John Lo cerita ringan, cerita anak-anak gitu ya, dongeng seperti Malin Kundang, Tangkuban Perahu, atau Bawang Merah Bawang Putih. Itu cerita-cerita terkenal tapi belum ada buku yang ada gambarnya. Kami langsung cetak komiknya, kita coba mandiri. Jadi waktu itu kita bikin, promosi, dan edarin sendiri. Titip di toko buku-toko buku yang ada. Waktu itu kami bahkan rela kalau belum laku jangan dulu dibayar.


Baca juga liputan VICE tentang pasar komik di Indonesia:

Langsung disambut positif pasar?
Ternyata laris sekali. Awal cetak 1.000 eksemplar untuk satu judul, jadi 1.100 karena yang 100 buat stok di rumah. Ternyata pembaca di toko buku-toko buku kehabisan, mereka minta lagi. Misalnya di Toko Buku Bandung, yang dulu di jalan Alketeri itu laku sekali, katanya 100 eksemplar paling lama satu jam habis.

Bagaimana cara anda membangun jejaring komikus?
Waktu itu pasang iklan di koran, pesannya “bibit-bibit baru dicari, persyaratannya cerita dan gambar harus bagus”. Ternyata banyak yang datang dan semua bawa contoh gambar dan cerita. Dulu Om Kus sampai pusing karena terlalu banyak yang datang. Untungnya John Lo suka, jadi yang ada bakat dibimbing ceritanya. Ini maksudnya bakat alam gitu, otodidak. John Lo dan Om Kus juga kebetulan otodidak. Waktu itu kami bisa cetak sehari satu judul dengan banyak 2.500 eksemplar. Saking banyaknya peminat komik cerita rakyat.

Iklan

Awalnya tidak langsung memproduksi komik wayang ya?
Belum, kita mulai membuat komik wayang itu tahun 1963. Waktu itu R.A. Kosasih yang pertama kali mengusulkan. Dia bilang waktu itu kalau dia punya cerita Mahabaratha. Jadi waktu itu toko buku dan penerbitannya masih di Jalan Kopo, diolah di sana. Untungnya R.A. Kosasih itu sangat berbakat, tangannya sudah biasa melukis wayang yang banyak ukir-ukiran gitu kan. Kan mahkotanya ukit-ukir gitu, pendoponya juga kan diukir-ukir gitu.

Jadi komik wayang pertama dari Maranatha itu cerita Mahabaratha?
Ya yang pertama cerita Mahabaratha dari R.A. Kosasih. Dan Pak Kosasih tidak keluar dari paten cerita wayang yang berasal dari agama Hindu. Cuman nama-namanya disesuaikan dengan nama Indonesia. Misalnya Arjuna, di buku hindu itu kan aslinya Arjun, pokoknya disesuaikan dengan lidah orang indonesia dan disesuaikan dengan kondisi alam Indonesia gitu. Misalnya banyak persawahan dan pegunungan, banyak pemandangan pedesaannya. Dan orang-orang suka sampai pernah satu orang datang dari Pameungpeuk, kampung sekali jalannya juga hutan. Dia bilang kalau di balau-balai kampung ada yang baca Mahabaratha.

Dari situ mulai bermunculan komikus-komikus lain seperti S.H. Mintardja, Usiah Budi, San Wilantara, Tommyanto, dan Teguh Santosa. Mereka itu tidak semua mengkhususkan diri di komik wayang. Ada juga yang membuat komik cerita anak-anak. Orang-orang makin suka komik wayang dan makin menggandrungi komikusnya sampai banyak komikus yang mau menyumbang cerita dan gambarnya ke kami untuk dicetak, bahkan rela enggak dibayar. Mungkin karena wayang itu sudah melekat dengan budaya Indonesia ya, misalnya di kampung-kampung kan orang-orang suka nonton wayang golek atau wayang kulit. Jadi yang di kampung-kampung sudah familiar dengan cerita tentang wayang.

Iklan

Herlina di sela-sela menjaga kios toko buku Maranatha.

Tiap edisi satu buku komik wayang butuh pengerjaan berapa lama?
Kira-kira untuk satu judul misalnya Lahirnya Arjuna atau Lahirnya Bima, itu kan tipis hanya 62 halaman, paling tiga minggu sudah beres. Karena pelukis itu banyak sekali, ya itu tadi yang enggak mau dibayar juga ada. Setelah itu lukisan mereka kan kita pindahkan ke plat timah. Baru kita cetak dengan metode hand press, jadi manual dengan tangan. Waktu itu belum ada cetak berwarna. Cetak berwarna, atau teknik offset itu baru ada tahun 1980-an.

Kenapa komik wayang jarang sekali berwarna?
Kita enggak berani soalnya kalau cetak berwarna semua kan bisa empat kali lipat naik harganya. Nanti enggak terjangkau sama rakyat kecil, sedangkan kita mau semua lapisan masyarakat bisa beli.

Kapan terasa penjualan komik wayang mulai anjlok?
Tahun 1990-an itu sangat terasa kondisi berbalik. Jumlah cetak komik, baik wayang dan cerita rakyat menurun drastis. Dulu karyawan kami ada 17 belas, ada yang motong, nyusun, menjahit. Sekarang mah tinggal 3 karyawannya. Kita di sini melestarikan aja.

Sekarang nyetaknya 1.000 eksemplar dalam waktu dua minggu untuk satu judul, dan itu juga bukan yang baru. Kami hanya ngulang cerita yang sudah ada. Biasanya mengulang seri Mahabaratha karena seri Mahabaratha itu kan ada beberapa. Ada Wayang Purwa, Sastrabahu, Leluhur Hastina, Mahabaratha 1 dan 2, Baratayudha, Pendawa Seda, Tari Kesit, dan Udrayana. Biasanya kalau orang mau baca komik Mahabaratha itu harus ada semuanya, enggak mau kalau ada satu saja yang hilang. Ini karena ceritanya saling bersambung.

Menurut anda, kenapa bisa seperti itu?
Menurut saya karena sudah ada yang lebih menarik buat orang-orang. Banyak acara televisi yang menarik tahun 1990-an itu. Dulu tahun 60 dan 70-an orang jarang sekali punya televisi satu-satu di rumah, jadi hiburan utamanya membaca. Salah satunya ya baca komik wayang dan cerita rakyat. Apalagi sekarang sudah ada internet, anak-anak sekarang tidak suka baca dan lebih memilih main handphone. Beberapa kali ada orangtua yang cari ke sini buku-buku jadul yang dulu mereka baca waktu kecil. Mereka cari supaya anak-anaknya baca apa yang mereka baca dulu, enggak cuma main handphone terus. Tapi itu pun jarang sekali, sekarang ini sebulan paling ada satu atau dua orang yang datang cari buku ke sini.

Jadi, bagaimana Toko Buku Maranatha bertahan kalau jarang yang datang?
Paling ada beberapa agen toko buku di luar Bandung yang masih secara rutin beli buku komik wayang ke kami. Masih ada Toko Buku Sekawan di Solo, Toko Buku Merbabu di Semarang, Toko Buku Rini Agensi di Surabaya, dan Toko Buku Kalyana di Jakarta. Agen-agen toko buku itu masih suka mengambil buku dari sini. Dari situ Toko Buku Maranatha bertahan.

Apakah anda punya strategi agar Toko Buku Maranatha bisa bertahan?
Saya sebenarnya pingin mengembalikan toko ini ke kondisi seperti dulu. Tapi kami kalah dengan komik Jepang seperti manga gitu ya. Dan juga komik Barat. Bahkan cucu-cucu saya aja gak suka untuk baca komik wayang, jadi jelas saya tidak punya penerus. Saya hanya melestarikan komik wayang ini sambil menikmati masa tua saya saja.