FYI.

This story is over 5 years old.

Agama

Marina Mahathir di Garis Depan Pertempuran Budaya Malaysia

Putri mantan perdana menteri itu menyebut negaranya sedang diserang 'arabisasi' dan dia mencoba melawan. "Saya menuding Arab Saudi sebagai biang keladinya."
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

Marina Mahathir jengah melihat perubahan yang terjadi di negaranya. Marina, pendiri organisasi Sisters In Islam dan putri mantan Perdana Meteri Malaysia, Mahathir Mohammad, sudah beberapa dekade ini memerangi apa yang disebutnya “Arabisasi Malaysia.”

“Budaya Arab merajalela, dan saya menuding Arab Saudi sebagai biang keladinya,” ujar Marina di hadapan audiens dalam gelaran Ubud Writers and Readers Festival, Oktober Lalu. "Ada banyak uang di sana. Arab Saudi adalah sponsor utama penyebaran budaya Arab. Ini adalah wujud baru kolonisasi—McDonald-nisasi Islam. Budaya Malaysia makin tergerus karenanya.”

Iklan

Di Barat, ujaran macam ini bakal segera dikecam sebagai bentuk islamofobia atau setidaknya rasis. Namun, Marina toh tidak sedang ngedumel tentang membanjirnya imigran Arab di kampung halamannya. Dia hanya tengah menggambarkan kian hilangnya budaya Muslim Melayu lantaran digerus budaya Islam wahabi yang kolot dari Arab Saudi. Marina meyakini budaya Malaysia yang telah berusia ratusan tahun sebenarnya dapat memayungi ide-ide luhur tentang kemajemukan dan hak-hak perempuan. Namun budaya asli tersebut terdesak dalam perang budaya akibat membesarnya komunitas-komunitas muslim di kawasan Asia Tenggara.

Di Malaysia, kain ala Timur Tengah seperti Kaftan mulai menggeser keberadaan pakaian tradisional seperti Kebaya dan Sarung. Jumlah perkawinan di bawah umur melonjak dan perempuan Malaysia kini lebih memakai niqab—yang menutupi hampir seluruh tubuh—dan meninggalkan hijab atau kerudung biasa.

Parti Islam Se-Malaysia (PAS), pengusung konservatisme di Malaysia, kini tengah berusaha meloloskan beleid yang digadang-gadang hukum Islam paling ketat di Asia Tenggara. Jika aturan ini disahkan, maka, menurut para ahli, hukuman rajam bagi para pezinah dan potong tangan bagi pencuri bakal berlaku. Beleid ini—jika benar-benar diterapkan akan melahirkan “aturan yang berbeda bagi kaum muslim dan non muslim,” jelas Marina, “Ini bakal jadi akhir segalanya dan awal munculnya Apertheid (di Malaysia).”

“Intepretasi macam ini tak melulu didasari kepentingan agama tapi lebih ke kepentingan penguasa,” ujarnya. “Cara paling efektif mengontrol penduduk adalah dengan menerapkan hukum yang ketat..siapapun yang berani bertindak di luar hukum bakal dihukum dan dilecehkan.”

Iklan

Indonesia juga tengah mengalami pertarungan budaya yang serupa. Dalam pertarungan ini, pemimpin salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia berusaha menangkal derasnya nilai-nilai Islam konservatif dengan mengusung konsep “Islam Nusantara,” intepretasi akan Islam yang ramah akan keragaman budaya di Indonesia.

VICE berbicara dengan Marina di sela-sela kegiataan di Ubud Writers and Reader's Festival tentang apakah masih ada harapan di Malaysia dan apa imbas menguatnya Islam konservatif di negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia.

VICE: Apa yang kamu maksud dengan “Arabisasi.” Darimana fenomena ini berasal? Siapa yang memicunya? Politikus, pemimpin agama atau warga Malaysia itu sendiri?
Marina Mahathir: fenomena ini jelas tak disetir oleh para politikus. Arabisasi adalah gejala organik yang ada sejak lama. Mulanya, bibit-bibit arabisasi mulai muncul pada dekade ‘70an setelah revolusi Iran meletus. Orang mulai mengenakan identitasnya sebagai seorang muslim, yang biasanya direduksi jadi keputusan mengenakan kerudung. Belakangan, kecenderungan ini makin menjadi-jadi. Malah, saya yakin muncul tren untuk mengenakan abaya dan kerudung yang lebar—kemungkinan tren ini ditunjang oleh kemunculan media sosial. Tentu saja, warga Malaysia yang saya temui hanya mencampur-campur busana ini. Mereka tak sadar kalau penduduk Iran bukanlah bangsa Arab. orang-orang ini bahkan tak bisa membedakan antara satu bangsa Arab dengan lainnya. Yang jelas budaya jelas jauh berbeda dengan budaya asli Malaysia.

Iklan

Tak banyak usaha untuk melokalkan budaya dari Jazirah Arab ini—seperti yang kita lihat di Indonesia. Orang Indonesia, misalnya, berusaha melokalkan kaftan dengan membuat kaftan batik dan sejenisnya. Di Malaysia, mereka tak mau repot-repot melakukannya. Asal hitam dan panjang titik. Walau perempuan yang mengenakan kaftan tak selalu kelihatan di mana-mana, saat Lebaran, saya hampir kesusahan menemukan perempuan yang mengenakan pakaian tradisional kami.

Benarkah?
Semuanya memakai kaftan! Waku itu saya berpikir, ‘Ini ada apa sih?” dan itulah pertama kali saya mengumakan pendapat tentang hal ini. Tanggapan yang saya terima tak semuanya positif. Ada yang ngomong “Salahnya di mana coba? Kamu juga pakai baju orang barat. Tapi, yang kami takutkan bukan perkara baju—kita toh masih bisa mempertimbangkan fungsinya. Lalu bagaimana kalau ada yang mulai ngomong dalam bahasa Arab. sekali lagi, apa salahnya? Pertama, nyerocos dalam bahasa Arab saja sudah termasuk tidak sopan. Cuma, yang lebih menakutkan adalah anggapan kalau semakin Arab seseorang, semakin muslim pula dirinya. Inikan masalah besar dalam proses pewarisan budaya kami seperti yang pada beberapa pertunjukkan dan hal lainnya dianggap kurang islami di negara bagian Kelantan yang memang terkenal konservatif. Buat saya, budaya adalah bagian dari jiwa. Akhirnya, bagaimana mereka bisa menyebut dirinya orang Malaysia jika mereka mulai meninggalkan budaya mereka sendiri?

Iklan

Kami selintas menyebut Indonsia. Ada pergeseran ke arah konservatisme Islam di Indonesia. Kamu melihat ada persamaan antara Malaysia dan Indonesia?
Tentu saja. Tapi kenyataannya, menurut saya beberapa kawan saya dari Indonesia berpikir kalau Malaysia jauh lebih konservatif. Kalian bisa menjumpai lebih banyak perempuan berhijab di Malaysia daripada Indonesia. Belum lagi, di Malasysia, saya merasa tren penggunaan niqab di kalangan perempuan belia makin mengkhawatirkan. Kamu tahu kan kalau tren ini kan tak Islami sama sekali? Jadi mereka cuma ikut tren tanpa tahu asal muasalnya. Lalu ada juga tren regresif yang bikin orang khawatir seperti sunat perempuan. Sebelumnya sunat perempuan tak dianggap wajib, kini mereka menggambarkannya seolah-olah sebagai sesuatu yang sifatnya wajib. Perkara penggunaan kontrasepsi dan pernikahan anak juga mengkhawatirkan. Dan selalu saja, yang dijadikan dalih adalah agama.

Bagaimana respon yang kamu dapat ketika kamu berusaha agar sunat perempuan dan pernikahan anak serta hal seperti itu dilarang pengadilan?
Begini, Indonesia menandatangan CEDAW (Convention on the Elimination of Violence Against Women) tanpa persyaratan. Kami menekennya dengan begitu banyak persyaratan, seperti usia minimal menikah. Jadi kami menghadapi masa-masa terkait masalah ini. Namun, dorongan untuk memerangi pernikahan anak makin tinggi setelah melonjaknya angka pernikahan anak. Yang saya maksud pernikahan anak adalah pernikahan yang dijalani anak usia 10 sampai 12 tahun. Polemik tentang hal ini sudah terjadi di Malaysia. Kasus macam seorang pria 40 tahun yang memperkosa bocah 14 tahun dan berushaa menikahinya agar bisa lepas dari jerat hukum bisa dijumpai di Malaysia. Intinya, ini adalah masalah besar di Malaysia. Kami telah menggelar beberapa forum tentang pernikahan anak. Kami berusaha menunjukkan bila pernikahan anak tak dibutuhkan di zaman sekarang. Sayangnya, masih ada argumen macam “tapi kan nenek saya dulu nikah umur 15 tahun dan beliau okay-okay saja.”

Apa ada tekanan sosial yang besar untuk menikah muda? Apakah pernikahan dini dipaksakan pada sepasang muda-mudi jika mereka “terlalu dekat” dalam pergaulan?
Iya. kira-kira seperti itu, tapi ini tak begitu banyak terjadi. Tetap saja, ada ketakutan berlebihan bahwa anak-anak ini melakukan zina. Jadi sekalian dinikahkan saja. Malah, kadang, keputusan menikahkan dua pasang remaja didasarkan pada kecurigaan. Pernah ada kasus ketika seorang gadis 14 tahun dipaksa menikahi pemuda 15 tahun cuma karena sang gadis kedapatan main ke rumah sang pemuda. Mereka bahkan mengacuhkan fakta kalau sang gadis pergi bersama istrinya. Mereka dipaksa kawin, dan meeka inikan masih anak-anak. Tak lebih dari setahun kemudian, mereka bercerai. Ini yang tak pernah dipikiran orang: makin tinggi angka pernikahan muda, makin tinggi pula perceraian dini dan janda belia. Terus, anak-anak ini mau diapakan? Orang tak mau membahas hal ini karena masalah ini nyata adanya. Ada banyak hal yang disembunyikan di Malaysia.

Kamu pernah bilang kalau hukum hudud (hukum Islam yang keras) diberlakukan, kamu bakal kabur dari Malaysia, masih punya pemikiran serupa?
[Tertawa] rencana itu memang bikin banyak orang panik. Waktu itu, saya bilang saya tak mau tinggal di negara yang menerapkan hukum hudud. Artinya, saya akan berjuang agar ini tak akan terjadi. Saya tak akan pergi. Ternyata rencana itu datangnya dari sebuah tajuk berita click-bait. Saya tak bisa begitu saja meninggalkan yang lain di Malaysia. Tapi, sejujurnya, ini adalah ancaman yang mereka tujukan pada kami. Dan kalau benar-benar terjadi, kondisi akan makin runyam. Kalau begitu keadaannya, saya tak akan melarang anak-anak saya pergi dari Malaysia.

Jadi kamu menganggapnya perlawanan terhadap konservatisme Islam sebagai personalmu?
Tentu saja. Kita semua harus mengemban tanggung jawab ini. Saya rasa ini dia alasannya: pada 1965, saya menghadiri Beijing Women’s Conference dan kami dapat satu sesi di sana. Ini adalah satu sesi yang pertama digelar Sisters In Islam. Kami bicara tentang pendekatan kami terhadap agama. Sekelompok perempuan Iran yang hidup dalam pengasingan di New York membantah kami. Saya cuma bisa bepirkir seperti ini waktu itu “kalian sih enak bisa kabur dan tinggal di New York. kalian bisa melakukan apa saja. Kalian tak memikirkan nasib saudari kalian di kampung halaman yang tak punya kesempatan seperti kalian. Mereka masih menderita. Dan kalian masih sempat-sempatnya nyinyir.” Waktu, saya hanya berpikir tak mau jadi seperti mereka.

Wawancara ini telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca.