FYI.

This story is over 5 years old.

ramadan

Makna Ramadan Bagi Muslim Yang Ragu Pada Imannya Sendiri

Michael Muhammad Knight, pengarang novel 'The Taqwacores', mengaku ibadah puasa membuatnya ingin lebih mengenal sosok Nabi Muhammad SAW.
Salat tarawih di Masjid Biru Mazar-i-Sharif Afghanistan. Foto oleh Masoud Akbari/Panoramio.com

Renungan ini ditulis oleh Michael Muhammad Knight, muslim asal Amerika Serikat pengikut aliran salafi, wartawan, sekaligus penulis lebih dari 10 buku tentang Islam dan anak muda.

Setiap kali orang bertanya tentang "apa itu iman", aku selalu kelabakan menjawabnya. Aku tak begitu memikirkan masalah keyakinan yang rumit. Semakin ngotot memaksakan diri belajar seluk beluk teologi Islam, apa yang aku pelajari rasanya semakin engga ada gunanya. Terlalu banyak kontroversi dan perpecahan pendapat yang membelah umat Islam di luar sana—contohnya perdebatan tentang apakah Al Quran sama tuanya dengan eksistensi Tuhan atau baru diciptakan pada suatu masa dalam peradaban manusia—yang sebenarnya tak begitu berpengaruh pada cara pandangku tentang Islam. Begitu juga misalnya ketika muncul pertanyaan seperti ini: apa makna ayat Quran yang menyiratkan Allah punya tangan dan bertahta di langit? Pertanyaan filosofis macam itu ternyata gagal membuatku susah tidur. Atau ketika ada yang yang mengaku menemukan resep hermeneutika jitu buat mengartikan firman Allah dan membongkar metafor di dalam kitabullah, bagiku orang macam itu cuma memperdalam misteri-misteri ilahiah. Aku pernah dekat dengan Sekte Islam Five Percenter. Selama bergaul bersama para penganutnya, aku makin yakin akrobat teologi tak lain dan tak bukan merupakan "Matematika Ala Willy Wonka"; sejenis cocoklogi yang memerangkap dirimu dalam ruang imajinasi murni tanpa ada penyelesaian logisnya.

Iklan

Ramadan kini mengetuk pintu rumah kita semua, bulan suci ketika umat Islam sedunia berpuasa dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Sekilas, bagi nonmuslim, gagasan di balik bulan yang disucikan ini terasa supranatural dan terpusat pada sebuah kitab suci. Pandangan dominan yang menjelaskan kesucian Ramadan dibanding bulan lain, dipicu perayaan salah satu peristiwa supernatural terpenting dalam sejarah Islam: turunnya wahyu Quran kepada Nabi Muhammad SAW. Sesuai riwayat, proses pewahyuan Quran berlangsung selama 23 tahun tanpa henti, diturunkan pertama pada Rasulullah di salah satu dari 10 hari terakhir bulan ke-9 kalender Hijriyah ini (umat muslim mengenalnya sebagai Lailatul Qadr). Biasanya, selepas salat tarawih, muslim mazhab Sunni akan melakukan tadarus Quran hingga mendekati tengah malam. Sepanjang Ramadan, dianjurkan bagi setiap muslim agar bisa bisa mengkhatamkan Quran minimal sekali.

Di tengah pembacaan Quran itulah ada kalanya aku berusaha menyelami pertanyaan tentang misteri Allah. Jujur, aku bukan tipe yang percaya bila Quran punya segala informasi tentang hidup. Quran saja menyatakan kalau Allah berada di luar kemampuan penalaran manusia. Tentunya saat menuliskannya, aku bukannya tak mengimani Allah, bukan begitu. Aku cuma tak begitu peduli pada 'Matematika Ala Willy Wonka' tadi—utak atik gathuk fiktif yang tak masuk akal—untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pelik hanya demi membuatku digolongkan sebagai orang beriman atau sebaliknya, oleh orang-orang resek yang merasa berhak menilai kadar keimananku. Walau meyakini Quran bukan jawaban atas semua pertanyaan tentang hidup, aku tetap mencium mushaf Quran setiap hari, menempatkannya di bagian paling tinggi rak bukuku. Aku cuma tak mau ribet lalu berusaha membuktikan Sang Penulis Quran punya tahta di atas surga sana.

Iklan

Karenanya bagiku, mengingat pandangan skeptisku tentang iman tadi, Ramadan tahun ini lebih tentang keinginanku memahami sosok Rasulullah daripada Allah SWT.

Aku pernah bermimpi bertemu Baginda Nabi Muhammad SAW. Momen itu tak serta merta membuatku mengalami proses "kelahiran kembali" sebagai seorang muslim; Aku dan hidupku tak mendadak berubah total setelah mendapat mimpi yang konon didambakan muslim sedunia. Aku tak lantas jadi seorang muslim yang getol melakukan semua jenis ibadah sunnah setelah bermimpi bertemu Rasulullah. Yang terjadi setelahnya aku terdorong semakin rajin menelusuri koleksi hadis yang sebelumnya jarang kusentuh, sejak memilih masuk Islam 20 tahun lalu. Ketertarikan baruku terhadap sosok Muhammad didorong keinginanku memahami "realitas Muhammad". Pandanganku jelas berbeda dibanding pencarian hakikat sosok rasul abadi seperti dianut kaum mistikus Islam atau yang bergabung pada tarekat. Aku lebih penasaran dengan sosok fisik Muhammad, sebagai seorang pria yang pernah hidup di planet ini. Mungkin, sebagai muslim, aku sudah mati rasa dengan teologi abstrak dan esoterisme sistematis yang banyak mewarnai perdebatan agama. Selama Ramadan tahun ini, aku cuma ingin mengenal Muhammad sebagai seorang insan manusia yang punya darah dan air mata.

Ada sebagaian golongan Muslim yang ingin menghapus sosok Muhammad dari Islam. Mereka mereduksi Rasulullah menjadi sekadar pengantar wahyu yang mengetuk pintu rumah mereka, mengantarkan kabar baik atau buruk dari pemilik semesta. Setelahnya, Muhammad kembali dipinggirkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Mereka bilang, kebenaran hanya ada di Quran, bukan hadis.

Iklan

Kelompok ini merasa semua bagian dari tradisi Islam yang merepotkan (dan membuat umat terpecah belah) muncul dari hadis, catatan perilaku, serta perkataan Rasulullah. Kelompok macam ini (baik dari sisi konservatif maupun liberal) meyakini seandainya umat muslim sanggup meninggalkan hadis, maka ajaran Islam akan bebas dari bagian-bagiannya yang kurang menarik. Seperti misalnya kekakuan ritual, aspek legal yang memicu perdebatan, intoleransi beragama, ketidakadilan gender terhadap perempuan muslim, serta bahaya pemuliaan Muhammad melebihi statusnya sebagai anak manusia, mahluk ciptaan Allah.

Quran, sebaliknya, dipandang oleh kalangan skriptualis ini sebagai rumah bagi bentuk kesetaraan gender, keadilan, sikap welas asih, toleransi, pluralisme, rasionalisme, wawasan keimanan, serta segala macam aspek agama Islam yang didambakan komunitas Muslim modern yang tercerahkan. Bahkan di sebagian kalangan muslim liberal, hanya mengandalkan Quran dianggap memadai untuk menunjukkan wajah Islam yang ramah.

Kaum yang hanya mengagungkan Quran sebagai satu-satunya panduan ini terlalu terpaku pada firman Allah yang tersurat. Mereka sengaja melupakan kompleksitas dari tradisi hadis yang pelik, namun justru seringkali memberi kita pemahaman atas makna turunnya ayat.

Contohnya adalah tafsir Surat An-Nisa ayat 34 yang memperbolehkan suami memukul istrinya. Perilaku Nabi Muhammad, yang halus pada istri-istri beliau, membantuku memahami titik-titik yang rumit dipahami dalam Quran, yang seandainya hanya kubaca tekstual pastinya membuatku kebingungan atau salah tafsir.

Iklan

Banyak hadis yang melengkapi, bahkan memanusiakan Quran. Hadislah yang mengabarkan bagaimana contoh sifat halus, kesabaran, selera humor, dan amarah Muhammad dalam kehidupan sehari-hari. Hadis tak sekadar melengkapi, namun juga memberi bobot kemanusiaan dalam Quran, yang selama ini ditempatkan setiap muslim sebagai kumpulan firman Allah SWT.

Jujur saja, ada beberapa pernyataan dalam Quran dan hadis tentang sifat-sifat Allah atau hal-hal tak kasat mata lainnya yang membuatku bingung. Tapi, lagi-lagi, aku tak begitu mengkhawatirkan hal yang rumit. Aku juga tipe orang yang tak terlalu kaku tentang apa yang aku percayai dan apa yang tidak. Seiring bertambahnya usia, semakin aku kurang peduli dan yakin punya kemampuan sebagai manusia fana untuk mempengaruhi keadaan di sekitar. Aku kini lebih peduli pada kenyataan tak ada yang bisa kuubah, kecuali aku mengubah kualitas diriku lebih dulu.

Itulah alasanku berpuasa. Aku hendak menyusuri jejak seorang manusia biasa yang kualitas dirinya jauh berkali-kali lipat lebih baik dariku. Dialah Muhammad, sang manusia yang menjadi inspirasi miliaran muslim di dunia. Ramadan kali ini, aku berusaha benar-benar menjalankan kebiasaan Rasulullah, sunnahnya, dan jalan hidupnya. Bukan berarti aku hendak mengabaikan Quran lho ya. Sebab seperti yang dikatakan istri Rasul, Siti Aisyah, tabiat Nabi Muhammad SAW adalah manifestasi Quran itu sendiri.

Ketika lapar melanda saat berpuasa, aku akan memikirkan tentang rasa lapar yang beliau rasakan dulu. Dalam suasana makan yang intim bersama keluarga atau dalam syukuran bersama warga sekitar rumah, aku akan berusaha mengingat kebiasaan dan sikap-sikap rasulullah saat bermasyarakat. Aku berharap dengan mencontoh Rasulullah, maka aku bisa mengkhidmati hidup para manusia yang sehari-hari, tanpa harus menunggu ramadan, terpaksa selalu hidup dengan perut kosong. Baru dari sana, aku bisa tergerak untuk melakukan perubahan riil.

Aku mencoba duduk seperti cara Rasulullah duduk, menyantap makanan seperti cara beliau melakukannya. Semua itu mungkin cuma hal-hal sepele. Tapi upaya meniru kecil-kecilan ini penting menurutku, untuk selalu mengingat cara Rasulullah memperlakukan orang lain. Aku juga akan berusaha salat seperti cara Nabi Muhammad salat, meski tujuanku mendirikan salat tentu berbeda dari tujuan beliau salat.

Aku akan mengingat dirinya bahkan ketika sedang berjalan. Sudah pasti aku tak sanggup mengklaim akidahku sudah sebenar-benarnya akidah. Tapi aku akan menguatkan diri dalam mencintai Rasulullah. Upaya semacam ini, meniru contoh-contoh yang diwariskan Rasulullah, merupakan wujud cintaku pada komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia.

Iman seseorang sangat mungkin naik turun. Setidaknya, setelah berusaha lebih mengenal sosok Nabi Muhammad, aku menemukan rute pencarian yang ternyata jauh lebih menarik dibanding hanya memperdebatkan teologi. Aku berusaha terus mendalami makna cinta kasih seperti yang beliau ajarkan. Itulah proses belajar yang akan kutempuh dalam Ramadan tahun ini.

Buku terbaru Michael Muhammad Knight adalah Magic in Islam