Begini Pengalamanku Selama Mendatangi Konferensi UFO Terbesar di Indonesia
Sosok berkostum alien mengikuti konferensi SETI di kampus Univeristas Sanata Dharma, Yogyakarta. Semua foto oleh Noe Prasetya.
Memburu UFO

Begini Pengalamanku Mendatangi Konferensi Peminat UFO Terbesar di Indonesia

Konferensi unik di Yogya ini berusaha memperluas imajinasi kita di Indonesia, bahwa alien tak melulu berwarna hijau dan memikirkan UFO bisa membantu kita meningkatkan empati.
NP
foto oleh Noe Prasetya

Ilustrasi satelit luar angkasa dan tulisan "Deklarasi Hari UFO Nasional" menyambut saya setiba di lokasi konferensi. Puluhan orang memenuhi salah satu ruang seminar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta itu. Tiba-tiba sesosok alien berkulit hijau dengan baju luar angkasa warna perak masuk ruangan, mengejutkan kami semua. Dia segera mencari bangku di deretan belakang, lalu anteng menyimak diskkusi sepanjang hari. Rene Lysloff, peneliti yang jadi moderator sesi siang itu hanya sekali menyapanya. "Selamat datang di Bumi, semoga paham ya bahasa kami." Saya dan peserta lain terpingkal, seakan mengikuti konferensi ilmiah antar-galaksi.

Iklan

Tiap mendengar kata alien, luar angkasa, atau UFO, orang segera membayangkan sosok tinggi berkulit hijau dengan mata bulat, kepala besar, lalu naik piring terbang untuk menculik manusia. Mayoritas penduduk bumi pasti berpikir demikian, termasuk kita di Indonesia.

Fantasi soal alien, kehidupan planet lain, hingga perang antar-galaksi menancap di benak berkat film Hollywood. Genre fiksi ilmiah berulang kali digarap, menabalkan konsep populer soal mahluk asing. Menurut Encyclopedia of Science Fiction, ide alien berwujud mahluk hijau dipopulerkan cerita pendek Harold Lawlor berjudul “Mayaya’s Little Green Men”. Sejak itu, hampir seluruh produk budaya pop menduplikasi citra tadi hingga tertanam di otak kita sekarang. Di tengah gempuran cerita soal alien yang tak ada habisnya jadi hiburan kita, satu pertanyaan ini mungkin terus kalian pikirkan: jadi, alien itu betulan ada atau enggak sih?

Makanya, ketika mendengar ada konferensi internasional Search for Extraterrestrial Intellegence (SETI) di Yogyakarta, 20-21 Juli lalu, saya seketika berniat datang. Saya ingin menjawab sekian pertanyaan di kepala. SETI diadakan oleh Indonesian Space Science Society (ISSS) rutin sejak 2016. ISSS adalah lembaga nonprofit yang berusaha jadi titik temu atas pendekatan lintas disiplin untuk berbagi data dan pengalaman seputar luar angkasa. Venzha Christ, penggagas acara ini, adalah seniman dan peneliti yang tahun 2018 lalu jadi salah satu peserta simulasi tingal di planet Mars.

Iklan

Sejak 20 tahun lalu, Venzha aktif berjejaring dengan berbagai lembaga internasional untuk mewujudkan konferensi ini di Indonesia. Tahun ini, SETI diadakan dua hari berturut-turut di dua venue berbeda.

Ternyata SETI bukan sekedar forum pemuja ataupun memburu alien. Lebih dari itu, SETI menawarkan banyak pemaparan seputar sains luar angkasa. Tema tahun ini adalah Evolution of the Unknown - (under)standing: (micro)cosmos + (macro)cosmos dijabarkan deretan narasumber yang terdiri dari ilmuan, peneliti, praktisi, dan seniman. "Ada jarak yang sangat jauh antara ilmu pengetahuan soal luar angkasa dan masyarakat. Aku justru senang kalau ada yang skeptis atau datang ke acara ini karena mencari alien, artinya ada celah untuk membuat mereka tertarik duluan," ujar Venzha ketika ditemui VICE.

1568788466978-a-07452

Venzha (tengah) saat menjadi panelis salah satu sesi konferensi SETI.

Menemukan bukti adanya alien ternyata bukan tawaran utama dari konferensi SETI. Selama acara, saya mendapat lebih banyak pemaparan menarik, bahkan yang tak langsung terkait luar angkasa. Pemahaman saya soal alien dan mahluk asing juga langsung dibongkar.

"Semua organisme yang belum ada namanya disebut alien, entah mikroskopis, virus, atau apapun. UFO juga, enggak harus piring terbang. Apapun yang tidak teridentifikasi, bisa meteor, pesawat, balon udara, awan, komet, atau gejala alam. Kuncinya ada di pemahaman kita," kata Venzha yang jadi pembicara di sesi pertama.

Intinya, dalam diskusi itu, mencari alien pun sebenarnya tak perlu keluar atmosfer planet kita. Di bumi ini, barangkali dalam radius jangkauan tanganmu, ada mahluk mikroskopis sedang menjalani hidupnya yang damai. Ilmuwan Premana W. Premadi dari BOSSCHA Observatory di Lembang bahkan mengajak kita bertanya-tanya soal evolusi non-linier yang terjadi di mahkluk hidup, menyinggung ide post-human, dan kemungkinan adanya kesadaran (consciousness) pada mahluk tak berwujud.

Iklan
1568788519220-salah-satu-peserta-konferensi-selfie-dengan-alien-foto-oleh-Firdaus-Akmal-1

Salah satu peserta konferensi berswafoto bersama si alien yang mondar-mandir selama acara.

Si alien di baris belakang saya manggut-manggut melihat diskusi para panelis. Sementara pikiran saya tiba-tiba melayang jauh. Paparannya tadi mengingatkan saya ke narasi-narasi di budaya tradisional Jawa yang sarat dengan realisme magis. Bagaimana jika alien dan dedemit versi orang Jawa adalah entitas yang sama? Pendekatan ilmu barat dan ilmu timur saja yang membedakan bahasanya. Bagaimana jika begitu?

Dua hari penyelenggaraan SETI begitu kaya perspektif dan kontras. Di hari pertama di Universitas Sanata Dharma (USD), bahasan soal alien, area 51, wormhole, dark energy, blackhole, UFO, hingga solar system bertebaran dibalut bahasa akademis. Salah satu materi spesial disampaikan oleh Gunawan Admiranto dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) soal cuaca matahari dan dampaknya bagi suhu global bumi dan Galaksi Bimasakti.

Kehadiran LAPAN menunjukkan bila kiprah SETI diakui lembaga keilmuan milik pemerintah. Di sesi lain, budayawan Gregorius Budi Subanar memilh pendekatan lain dengan materi soal Topeng Jawa sebagai portal menuju “kehidupan lain” dalam konteks seni yang merupakan hasil riset akademisnya.

Di hari kedua ketika venue dipindah ke IFI-LIP Yogyakarta, nuansa akademis pudar, berganti mistis cenderung absurd. Sebanyak 28 komunitas peminat isu UFO setanah air berkumpul. Mula dari Turanggaseta, METAUFO, Cahaya Nusantara, House of Kybalion, Atlantis Indonesia, Extra-Terrestrial Independent Research, Indonesia UFO Hunters, Indonesia Myth Investigator Community, hingga Lanthera Lemuria.

Iklan

Komunitas yang terakhir ini percaya bila praktik meditasi membantu kita berinteraksi dengan makhluk dari dimensi lain melalui getaran gelombang. Sejak pagi hingga petang, satu per satu perwakilan komunitas maju berbagi pengetahuan atau pengalaman mereka dengan alien.

Cerita-cerita yang mungkin akan membuat orang awam menyerngitkan dahi ditanggapi lumrah saja di forum. Seolah tak ada yang aneh dari cerita salah seorang peserta yang mengaku diikuti UFO di Gunung Kidul Yogyakarta.

Sementara itu, Taufik, seorang peserta maju dengan pendekatan relijiusnya soal alien, menurutnya alien dan UFO telah dituliskan di ayat-ayat Al Quran. Erianto Rahman dari Human Earth memaparkan soal teorinya menghitung umur peradaban mesir kuno.

Ke-28 komunitas itu memang diundang oleh ISSS. Mereka mendeklarasikan terbentuknya Indonesian UFO Network dan Hari UFO Nasional yang diperingati tiap tahun saban 21 Juli. "Dari tahun ke tahun, komunitas soal UFO yang mau ngomong di forum makin banyak dan sayang sekali jika tidak ditampung. Makanya hari ke-2 saya bikin FGD, dan karena layak dikenang, sekalian saya ikrarkan sebagai Hari UFO Nasional," ujar Venzha.

"Pengetahuan umat manusia maksimal hanya akan mencapai 5 persen realitas yang ada di jagat raya."

Di saat harapan bertemu alien membuncah, kalimat yang agak pesimis di atas dilontarkan Ilham Habibie, pendiri The Habibie Center yang menjelaskan teori Big Bang, dark energy, dan perkiraan umur jagat raya. Ia memang skeptis dengan keberadaan alien, mengingat kondisi jagat raya yang cukup mustahil dijelajahi dengan teknologi yang tersedia sekarang.

Iklan

"Jarak kita dengan galaksi lain itu jutaan tahun cahaya. Saking jauhnya, tiap kita lihat bintang di langit, yang kita lihat sebenarnya masa lalu," ujarnya.

1568788612637-a-07440

Alat peraga gugusan bintang yang dipamerkan di sela-sela konferensi.

Penyelenggaraan SETI bertepatan dengan momen 50 tahun pendaratan Neil Amstrong ke bulan, namun banyak peserta konferensi di hari kedua mempertanyakan kebenaran misi tersebut. Menurut salah satu peserta, misi Apollo 11 hanyalah konspirasi pemerintah AS belaka.

Forum lantas sepakat yang penting bukan misi Apollo nyata atau hoax, melainkan kabar pendaratan di bulan telah membuka batas imajinasi yang bisa dicapai umat manusia. "Kalau [kabar pendaratan] tidak terjadi, bisa jadi sampai sekarang internet atau telepon genggam belum secanggih saat ini," ujar salah satu peserta diskusi.

Mengamini pola pikir tersebut, Yusuke Murakami seorang peneliti dari Mars Society menceritakan simulasi tinggal di pesawat luar angkasa yang membawa manusia pindah ke Mars. Menurut Yusuke, di masa depan akan lebih banyak lagi percobaan-percobaan ilmiah terkait misi luar angkasa.

Bagi sebagian orang mungkin misi-misi ini terdengar tidak berguna. Namun mengikuti perguliran wacana soal pengetahuan luar angkasa di SETI, saya paham bahwa imajinasilah yang jadi pion penarik usaha manusia terus mengembangkan teknologi dan membayangkan masa depan. Siapa tahu, 4000 tahun lagi sudah ada GO-Ride antar planet?

Berbagai diskusi itu—termasuk kajian absurd dari komunitas peminat UFO yang datang—membuat saya terpikat. Jika kita terus berpikir Bumi satu-satunya tempat berisi kehidupan di jagat raya, maka manusia menempatkan dirinya sebagai pusat semesta. Konferensi SETI ini menyadarkan saya bahwa ada pola pikir alternatif selain menempatkan manusia sebagai makhluk paling penting. Membayangkan alien dan UFO membuat kita lebih berempati dan mawas diri.

Venzha sendiri, saat saya temui sesudah berbagai rangkaian acara konferensi itu, tak mau ambil pusing soal keberadaan mahluk asing. "Saya pribadi enggak percaya alien, tapi saya percaya proses pencarian itu penting untuk kita semua, untuk hidup kita saat ini, dan masa depan."

Selepas acara, saya sempat celingukan mencari si alien hijau yang ternyata performance art yang diniatkan sebagai gimik acara. Dia menghilang. Mungkin juga sudah kembali ke planetnya. Tapi saya tidak bersedih.

Saya pulang dengan kebahagiaan tersendiri, karena menemukan renungan yang lebih menarik dibanding sekadar membuktikan keberadaan mahluk hijau yang konon menemani manusia di alam semesta maha luas ini.