FYI.

This story is over 5 years old.

Shit Indonesian Says

Istilah 'Banjir Kiriman' Salah Kaprah, Yuk Enggak Usah Dipakai Lagi

Emangnya parsel coy bisa dikirim? Akibat istilah keliru ini penduduk Jakarta terbiasa menyalahkan daerah penyangga, tanpa sadar kalau tata kotanya sendiri ikut jadi penyebab banjir.
Ilustrasi oleh Dini Lestari.

Selamat datang kembali di kolom Shit Indonesians Say. VICE berusaha menelisik kebiasaan verbal orang-orang di Indonesia yang tumbuh subur, diinternalisasi, dimaklumi, sampai dianggap wajar dalam pergaulan sehari-hari. Padahal kata atau istilah itu bermasalah banget. Kali ini kami membahas kekeliruan fatal di balik istilah "banjir kiriman", yang membuat orang abai pada masalah mendasar dalam tata kota Jakarta.

Iklan

Februari adalah puncak garangnya musim hujan. Bagi penduduk Jakarta, yang sudah terbiasa menghadapi banjir, pastinya telah mengalokasikan tenaga mengungsikan barang-barang mereka ke lantai dua atau ke rumah saudara. Ada juga yang bikin tanggul dadakan, atau sekedar menyiapkan boots hingga obat kutu air. Tentu ada yang berperang di media sosial menyalahkan gubernur baru. Nah, sebagin kecil menuduh Bogor sebagai biang keladi banjir sambil menilai air bah itu akibat "banjir kiriman." Kelompok inilah, yang mengklaim seakan banjir bisa dikirim lewat perusahaan ekspedisi, merasa luapan air di ibu kota selalu ada kaitannya sama Bogor.

Bagaimanapun, ketika bicara banjir, Jakarta dan Bogor sering dihubung-hubungkan. Hubungan dua wilayah ini macam rindu-benci. Tiap akhir pekan orang Jakarta pergi ke Bogor. Sebaliknya, tiap kali Jakarta kena banjir di musim hujan, penduduk Bogor (baik kabupaten maupun kota) dipaksa ikhlas dituding jadi biang keladi. Contohnya komentar warganet macam ini:

Begitu pula protes yang ini:

Anastasia Sitepu, warga Ciawi, Bogor menyebut tuduhan “banjir kiriman” dari wilayahnya sangat menyebalkan. “Hei, yang bikin villa segede alaihim gambreng di Ciawi siapa? Yang tiap weekend ke Puncak siapa? Terus sekarang sudah banjir tiba-tiba nyalahin orang Bogor,” kata Tasya kepada VICE. “Salahin aja terus Bogor… salahin.”

Kami bertanya pada pakar tata kota, Nirwono Yoga supaya menjelaskan istilah “banjir kiriman”. Menurutnya istilah tersebut merujuk pada kondisi banjir yang disebabkan luapan volume air sungai karena hujan deras di tempat lebih tinggi seperti Puncak atau Bogor. Banjir kiriman terjadi karena daerah hulu tidak lagi mampu menyerap air dengan optimal, sehingga volume curah hujan berubah menjadi aliran yang mencapai permukaan.

Iklan

Nirwono menekankan luapan air yang terjadi jika curah hujan tinggi tersebut merupakan kejadian alam. Sebetulnya tidak akan menimbulkan masalah, andai lokasi sepanjang bantaran sungai masih hijau dan tidak diisi pemukiman.

“Suatu kawasan disebut banjir itu biasanya karena ada pemukiman warga di kawasan tersebut, sehingga berdampak langsung pada manusia penghuninya,” ujar Nirwono kepada VICE. “Jika sepanjang bantaran kali masih hijau tidak jadi masalah karena diserap secara alami, persoalan uncul ketika di sepanjang bantaran kali berupa pemukiman atau kawasan terbangun, itulah yang disebut banjir."

Artinya, banjir yang rutin di DKI sebetulnya masalah bersama. Seperti kita tahu, Bogor yang secara geografis terletak di daerah yang lebih tinggi merupakan tempat yang terbaik menyerap air hujan yang curahnya tinggi. Curah hujan Bogor bisa mencapai 4086 mm per tahun. Di beberapa kawasan kini bahkan sangatlah tinggi. Misalnya, Gunung Mas (151 mm per hari) atau Riung Gunung (151 mm per hari). Coba bandingkan sama Nusa Tenggara Timur yang curah hujannya 700 mm dalam setahun. Selain itu, kawasan puncak semestinya menjadi kawasan penting sebagai hutan lindung bagi kawasan di bawahnya. Kini kondisi beberapa kawasan Bogor di ujung tanduk, area hutan pada di kawasan Puncak kini tinggal 13 persen.

Sementara itu, jumlah pemukiman di wilayah daerah aliran sungai dari Bogor hingga Jakarta meningkat drastis. Dalam jangka waktu 10 tahun sejak 1998 hingga 2008, jumlah pemukiman di daerah aliran sungai Ciliwung saja meningkat 3,5 kali lipat.

Nirwono mengatakan sepanjang kurun waktu 2012-2017 pemerintah pusat sudah menargetkan normalisasi empat sungai yaitu Sungai Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, dan Sunter. Sejauh ini sudah sekitar 50 persen yang dibenahi, sementara sisanya terkendala pembebasan lahan. Sisanya, masih ada 13 sungai utama yang mengaliri Jakarta. Meskipun sebetulnya, “naturalisasi” (bukan normalisasi dengan beton) merupakan target yang ideal jika ingin Jakarta “sehat kembali”.

Nah jadi bagaimana nih? Selama matahari terbit di timur dan tenggelam di barat, dan selama air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Kita tidak bisa menyalahkan dan menunjuk hidung orang lain bahwa kenaikan air sungai yang meluap dan melanda wilayah DKI itu semata "kiriman” dari sekitaran Bogor.

“Prinsip dasarnya adalah bagaimana menampung air sebanyak-banyaknya untuk diserapkan sebesar-besarnya ke dalam tanah,” kata Nirwono. “Selama tata ruangnya tidak dibenahi dari hulu hingga hilir, maka banjir akan tetap terjadi bahkan bertambah parah.”

Nah lho. Karena istilah itu salah kaprah, dan zalim kepada penduduk Bogor, yuk berhenti bilang banjir kiriman. Mending ngirim salam atau parsel kek yang lebih berfaedah.