Kami berdua belum pernah menginjakkan kaki di negara-negara tetangga terdekat. Jepang apalagi. Tabungan kami belum mengizinkan buat jalan-jalan ke Negeri Matahari Terbit. Iya deh, sebelum kalian marah-marah, millenials sejati konon lebih menghargai kesempatan jalan-jalan dibanding kemewahan lain. Millenials, kata media massa, biasanya lebih suka memperkaya "pengalaman" dibanding "materi". Faktanya, kami mungkin tidak berjiwa millenials walau dari segi usia masuk kategori itu. Kami berdua terlalu sibuk kabur dari jerat tagihan bulanan dan kebutuhan hidup. Kemewahan semacam jalan-jalan ke luar negeri tak pernah jadi prioritas. Memimpikannya saja malas. Untunglah, kalau sekadar ingin mencicipi atmosfer kota besar Jepang, katakanlah Tokyo, sudah ada "tiruannya" di Jakarta.
Little Tokyo adalah sebutan deretan bangunan di Blok M, Jakarta Selatan. Di kawasan dekat Senayan ini, ekspatriat Jepang yang sedang berada di Indonesia akan makan, belanja, dan berpesta. Little Tokyo berkembang secara alamiah sejak awal dekade 80'an, jauh sebelum Blok M Plaza berdiri.
Tonton episode perdana Easy Riders, kolaborasi kami bersama UBER untuk menjelajahi lokasi-lokasi paling asyik dari Jakarta.

Negara kita punya hubungan rindu-dendam unik dengan Jepang. Akhir dekade 70'an, warga Indonesia merasa khawatir melihat cengkeraman bisnis Jepang di Tanah Air. Maraknya investasi Jepang dianggap sebagai prakondisi adanya penjajahan gaya baru, di bidang ekonomi. Sentimen dan prasangka buruk itu akhirnya meluap menjadi dua hari kerusuhan di seantero Ibu Kota, saat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka melawat ke Indonesia pada 1974. Dilaporkan 11 orang tewas akibat insiden yang di kemudian hari kita kenal sebagai Malapetaka 15 Januari (Malari).
Memasuki pertengahan dekade 80'an, ketakutan kita pada semua yang berbau Jepang berakhir. Komunitas ekspatriat maupun orang Jepang yang tinggal di Indonesia tak perlu menutup diri. Mereka pun akhirnya memilih Jakarta Selatan sebagai tempat kumpul bareng. Banyak perusahaan Jepang saat itu menyewa kantor atau menyediakan mes di Wisma Aldiron, Pancoran. Lambat laun, komunitas pekerja Jepang di sana merasa butuh lokasi yang dekat kantor untuk nongkrong bareng, melepas kerinduan pada Tanah Air mereka. Blok M, yang saat itu sudah menjadi terminal bayangan transportasi umum dari semua jurusan, dirasa paling tepat.
"Sejak itu tiba-tiba saja restoran masakan Jepang menjamur," ujar juru parkir Kuswadi kepada VICE. Kuswandi menghabiskan lebih dari 20 tahun mencari nafkah di Little Tokyo. "Awalnya cuma satu atau dua, tiba-tiba hampir semua gedung berubah jadi restoran Jepang."
Kawasan Little Tokyo tak banyak berubah sejak pertama berkembang. Gedung-gedung tua masih mendominasi. Deretan bar-bar karaoke yang gemerlap lengkap dengan pemandu perempuan yang siaga di pintu depan, restoran yang menawarkan masakan otentik Jepang, hingga supermarket yang menawarkan segala macam bahan masakan khas Jepang.
"Seiring banyaknya kawasan bisnis yang berkembang di sekitaran Jakarta, Little Tokyo sekarang lebih sepi dibanding dulu. Soalnya sekarang banyak ekspatriat Jepang yang dikirim ke daerah seperti Cikarang," tutur Kuswadi.
Kami agak ragu mendengar keterangan Kuswandi. Sejauh mata kami berdua memandang, kawasan tersebut jauh dari kesan sepi. Jarum jam saat itu menunjuk 7 malam. Deretan sepeda motor terparkir rapi di setiap ruas jalan. Wajah-wajah ekspatriat Jepang juga terlihat di sana-sini. Tidak terbayang, kalau sekarang dibilang agak sepi, seperti apa Little Tokyo di masa keemasannya?
Saya dan Katy memutuskan mengisi perut. Bagaimana lagi cara menyelami seluk beluk kebudayaan jika bukan dari mencicipi masakannya? Saya lantas menanyakan kepada Kuswadi restoran apa yang harus kamui coba pertama kali.
"Coba Kashiwa saja. Itu kayak warteg ala Jepang. Harganya murah," kata Kuswadi seraya menunjuk ke lantai dua sebuah bangunan kecil, tempat restoran itu berada.
"Semakin malam, orang-orang mengantre sampai depan gedung," ujar Kuswadi. Begitu Kuswadi menyelesaikan kalimatnya, saya segera tahu tujuan pertama saya.
Saat kaki menginjak lantai dua, saya tahu Kuswadi hanya mencoba berkelakar. Kashiwa tak ada mirip-miripnya sama warteg.
Kashiwa
Seorang pramusaji menyambut ramah di pintu masuk. Restoran yang baru berdiri pada 2014 tersebut tak begitu besar. Meja yang tersedia tak lebih dari 20 buah. Hanya ada sekira 12 orang pelanggan yang tampak bercengkerama saat kami masuk. Di salah satu sudut, terdapat sebuah rak yang penuh dengan majalah dan manga. Televisi yang sengaja disenyapkan, menampilkan iklan Nintendo.
"Best seller di sini itu Chicken Nanban, Aburi Gyuchasyu, dan Gyuniku Enokimaki," ujar seorang pramusaji yang menghampiri meja saya, mungkin karena melihat kami kebingungan dengan banyaknya menu yang terpampang.
Kami memutuskan memesan lima menu: Torikawa, sate kulit ayam; Age Dashi Toufu, tahu lembut dengan saus Dashi; Gyuniku Enokimaki atau jamur enoki berbalut irisan daging sapi; Chikuwachizu Age, ikan goreng keju; Chuka Idako, bayi gurita berlumur saus tomat; dan sebotol bir dingin untuk mengantar makanan masuk ke dalam lambung.
Dua batang rokok menemani saya menunggu makanan datang. Belum juga habis satu batang rokok, semua meja mendadak penuh terisi tamu lain. Kebanyakan karyawan muda Jakarta dan ekspatriat Jepang. Benar juga kata Kuswadi, semua menu dibanderol Rp29.800, cukup murah menurut saya. Makan pun jadi terasa tenang dan nikmat. Inilah barangkali warteg ala Jepang.
Marufuku
Tujuan kedua adalah Marufuku yang berjarak 15 meter saja dari Kashiwa. Restoran masakan otentik Jepang yang telah berdiri sejak 1990an tersebut cukup mewah menurut saya.
Hanya ada satu meja terisi saat saya datang. Dua orang chef tampak sibuk meracik makanan. Setelah lama memutuskan menu apa yang akan dipesan, kami memutuskan sushi sashimi combo, tekka maki, dan tori karaage lengkap dengan saus wasabi.
Cuma butuh waktu 15 menit, pesanan sudah tersaji di depan kami. Semuanya tandas dalam hitungan menit. Tekka maki yang berupa sushi tuna rol menjadi pamungkas hiruk-pikuk di meja kami malam itu.
Filosofi Kopi
Filosofi Kopi adalah tempat ngopi yang sedang hip. Bangunan mereka jadi satu-satunya tempat usaha bernuansa Indonesia, tampak kontras ketika diapit deretan restoran Jepang Little Tokyo. Mereka juga satu-satunya tempat ngopi di sini. Sejak pertama berdiri, Filosofi Kopi sudah berhasil menarik banyak pengunjung loyal. Namun semua menggila sejak film berjudul sama, tayang pada 2015. Pengunjung jadi sangat membludak.
"Banyak orang datang ke sini karena penasaran setelah nonton filmnya," kata Asep Safarullah, manajer Filosofi Kopi. "Kami sampai kena masalah, karena antrean orang-orang yang mau ngopi mengular sampai ke jalan di depan. Tennant-tennant lain [di Little Tokyo] merasa terganggu. Sampai walikota [Jaksel] datang langsung ke sini mengingatkan adanya keberatan penyewa lain. Akibatnya kami sempat kena sanksi enggak boleh pasang meja dan kursi di luar kedai semingguan."
Minuman berkafein yang paling dicari pelanggan Filosofi Kopi adalah tiwus. Itu sebutan jenis kopi yang didasarkan pada buku Filosofi Kopi-nya Dewi Lestari. Dalam cerita itu, Tiwus sebetulnya kopi tubruk biasa, tapi dibuat dari campuran biji arabika yang berasal dari kawasan dataran tinggi Malabar, Jawa Barat. Seduhan kopi lain yang juga populer adalah Lestari. Ini racikan khusus sebagai penghormatan buat Dewi Lestari, si penulis yang jadi inspirasi pemilik kedai tersebut. Lestari dibuat dari campuran biji kopi arabika yang tumbuh di Bali.
Tak sedikit pengunjung bukan orang yang hendak nongkrong lalu menyesap kopi. Mereka sekadar ingin beli bubuk kopi atau biji yang sudah disangrai, untuk dijual di kedai masing-masing. Asep tidak merasa khawatir melihat makin banyak orang datang ke Filosofi Kopi sekadar sebagai pengepul untuk kedai-kedai lainnya. Sebab, penikmat kopi betulan di Jakarta sudah hafal karakter produk olahan Filosofi Kopi. Selain itu, menurut Asep seduhan kopi mereka sebetulnya tak punya resep rahasia sama sekali. Kalaupun ada citarasa yang khas, dan sulit direplikasi kedai lain, itu tergantung pada mood barista.
"Kalau suasana hatinya lagi enggak enak dan maksain ngeracik kopi, kamu pasti tahu. Karena kopinya akan kerasa enggak enak," kata Asep. Syukurlah, saat kami mampir, suasana hati barista Filosofi Kopi sedang bagus-bagusnya.
Papaya
Mini market sudah jamak ditemukan di setiap sudut kota. Bahkan persaingannya dua jaringan minimarket terbesar Indonesia bikin geleng-geleng kepala. Tapi yakin lah, Papaya Fresh Gallery bukan seperti minimarket pada umumnya. Keunggulan utama minimarket ini adalah sajian semua bahan makanan serba segarnya.
Rak-rak yang berderet dengan rapi menawarkan beragam produk impor Jepang serta sayur mayur dan buah-buahan. Di bagian paling belakang terdapat bagian khusus menjual sushi dan sashimi serta bento siap makan. Setiap pukul 7 malam, produk-produk makanan tersebut didiskon 50 persen. Maklum, orang Jepang menyukai segala jenis makanan yang masih segar.
Kashiwa boleh dibilang warteg ala Jepang. Tapi Papaya sesudah pukul 7 malam jauh lebih murah lagi. Coba datang ke sana setelah waktu diskon tiba. Jangan ragu ambil sushi, onigiri, dan beberapa botol bir Sapporo. Nikmati malam kalian sambil ngobrol di bangku besi depan Papaya, dekat lapak DVD bajakan. Kalau Tokyo beneran seasyik ini buat nongkrong, tak salah lagi, kami tak perlu lagi ke datang ke sana untuk mencicipi suasananya.