Foto oleh VICE News.
Artikel dan video dokumenter ini pertama kali tayang di VICE NewsHong Kong, sebagai salah satu kota dengan ongkos pengeluaran harian termahal sedunia, tak ramah pada seluruh penghuninya tanpa kecuali: baik mereka yang masih hidup maupun yang sudah mati. Sekadar menyewa loker untuk menyimpan abu orang tuamu bisa menggerus isi kantong. Sebelum harus keluar uang, satu masalah perlu diatasi lebih dulu: memangnya mendiang keluargamu itu mau disemayamkan di mana? Dikubur pasti mahal. Dikremasi lebih murah dan efisien, tapi abunya tak mungkin disimpan di rumah (apalagi tindakan begitu dianggap tabu oleh masyarakat hong Kong).pada dasarnya tak pernah dipersiapkan menjadi negara mandiri. Ini hanya pulau kecil, di seberang Tiongkok, yang akhirnya memiliki otonomi khusus karena jalinan rumit kolonialisme Inggris. Masalah dasar itu akhirnya mengikuti ketika wilayah ini sekarang kembali jadi bagian dari RRC. Lahan sangat terbatas. Kuburan biasa sudah tak ada lagi. Yang ada adalah columbarium, tempat menyemayamkan abu, dikelola swasta. Rata-rata mahal banget. Kalau ingin murah, pilihannya adalah columbarium milik pemerintah. Tapi daftar tunggunya paling cepat empat tahun.Ongkos menyimpan abu di columbarium swasta meroket, akibat kebijakan pemerintah lokal pada 2017. Gara-garanya, pemerintah Hong Kong mewajibkan pengelola bisnis penyimpanan abu jasad agar berlisensi. Tenggatnya terakhir 31 Maret lalu. Nyaris semua pengelola columbarium swasta izinnya belum turun. Akhirnya warga jadi kesusahan mencari tempat untuk menguburkan mendiang keluarga. Sebagian orang nekat menyimpan abu di rumah sendiri—dengan segala risikonya. Beginilah cerita ketika kebijakan pemerintah bikin orang mati saja masih menyusahkan mereka yang hidup.Tonton video dokumenter VICE News mengenai masalah sosial akibat minimnya lahan kuburan di Hong Kong lewat tautan berikut: