Musik Emo Mainstream Menyebarkan Kesadaran Tentang Kesehatan Mental

FYI.

This story is over 5 years old.

Musik

Musik Emo Mainstream Menyebarkan Kesadaran Tentang Kesehatan Mental

Napak tilas ke sebuah masa di mana My Chemical Romance dipandang sebagai juruselamat. Mereka adalah “tempat anak-anak emo pergi ketika mereka mati."
Emma Garland
London, GB

Ketika musik emo mencapai puncak kesuksesan komersialnya di awal 2000an—atau pertengahan 2000an di Indonesia—sebuah subkultur baru terbentuk. Mengusung ekspresi emosi secara teatrikal, cairnya seksualitas (biarpun mungkin hanya secara permukaan), dan celana jins ketat, inkarnasi emo milenial didukung oleh kehadiran MySpace—jaringan sosial pertama dan satu-satunya yang akrab dengan kultur musik. Ini menciptakan kondisi yang ideal bagi sebuah pergerakan sosial baru untuk berkembang.

Iklan

Emo 2000an tidak hanya menggunakan media sosial ke titik yang lebih tinggi dibanding inkarnasi genre itu sebelumnya, tapi juga menjadi sesuatu yang sangat berbeda, akibat dua faktor: jumlah penggemar perempuan yang lebih banyak, dan hubungan dekat dengan kesehatan mental. Hubungan genre ini dengan kesehatan mental-lah yang membuat jenis musik ini sering diprotes. Tabloid Inggris melabeli genre ini sebagai “cult yang mengerikan,” dan pada 2008, disebut sebagai kepanikan moral. Namun kini, setelah semua berlalu, dan kita bisa melihat ke periode tersebut dengan mata terbuka, jelas bahwa emo mainstream telah mempromosikan kesadaran dan pengertian akan kesehatan mental bagi kaum muda, dibanding gerakan kultur lain.

Cikal-bakal musik emo bisa ditelusuri ke era 90an ke band-band indie macam Mineral dan Sunny Day Real Estate, dan bahkan ke kancah hardcore DC di 80an lewat Rites of Spring dan Embrace, tapi banyak orang menolak klasifikasi “emo” ini, karena seringkali kata ini digunakan sebagai cara untuk mendiskreditkan atau mendevaluasi musik, seakan-akan “emosional” adalah sebuah kualitas yang negatif. Alasan lain? Karena emo menjadi istilah tidak berguna yang mencakup semua musik menggunakan gitar dan chorus yang catchy.

“Saya mengerti kenapa orang menyebutkan elemen eyeliner dan celana ketat perempuan dan seterusnya,” ujar Pete Wentz dari Fall Out Boy pada wawancara 2007 dengan Rolling Stone. “Semoga saja, [emo] akan menjadi lebih dari sekedar slogan kaos.” Di akhir tahun yang sama, di sebuah wawancara dengan situs kampus Amerika, The Maine Campus, vokalis My Chemical Romance, Gerard Way mengatakan, “Emo itu sampah.” Jadi jelas ada beberapa sudut pandang yang berbeda. Namun demi kepentingan artikel ini, kami akan terus menyebutnya emo, karena jujur deh, semua orang juga melakukannya. Entah kami membicarakan Jawbreaker atau My Chemical Romance, emo telah secara konsisten menarik anak-anak muda yang kesulitan menghadapi perasaan insekur, cemas, dan depresi. Barulah di tahun 2000an, emo dan penggemarnya distigmatisasi habis-habisan.

Iklan

Pada 2006, The Daily Mail mengeluarkan sebuah artikel “Peringatan cult emo bagi para orang tua,” yang mendeskripsikan emo sebagai tren remaja “dikarakterisasikan oleh depresi, mencederai diri, dan bunuh diri.” Seperti cerita-cerita tentang Ozzy Osbourne, Judas Priest, Eminem, dan Slipknot jauh sebelum emo masuk ke ranah mainstream, ini bukanlah pertama kalinya media memaksakan kaitan antara musik alternatif dengan perilaku berbahaya. Namun kontroversi seputar emo terus berlanjut, dan mencapai puncaknya di bulan Mei 2008, ketika Hannah Bond, seorang perempuan berumur 13 tahun dari Kent, melakukan bunuh diri. Kisahnya menjadi berita nasional setelah terungkap bahwa dia “terobsesi” dengan My Chemical Romance, dan sang koroner mayat, Roger Sykes mengeluarkan komentar kontroversial yang menghubungkan kecintaannya untuk si band dengan kematiannya.

“Bagaimana emo mengasosiasikan kematian dengan glamor sangat mengganggu saya,” ujar Sykes. “Seorang perempuan berumur 13 tahun baru saja merenggut nyawanya sendiri tanpa alasan jelas dan apabila dia melakukannya akibat tren emo, ini adalah sebuah penjelasan tragis tentang apa yang terjadi.”

Setelah itu, The Daily Mail merilis sederetan artikel yang mendeskripsikan emo sebagai “cult mengerikan” yang “mengancam semua anak” dan My Chemical Romance sebagai “band cult bunur diri.” Kematiannya, ujar mereka, dimotivasi oleh gairah untuk “menunjukkan dedikasi” ke sebuah gaya hidup “yang dikarakterisasikan oleh depresi, melukai diri sendiri dan bunuh diri” yang menurut mereka, dipromosikan oleh band-band emo. Mereka bahkan seenaknya mengklaim bahwa lagu “Black Parade” My Chemical Romance adalah “Tempat anak-anak emo pergi ketika mereka mati.” Ini menyebabkan ratusan penggemar, terutama remaja perempuan, berkumpul di Marble Arch London untuk melakukan protes, mengangkat papan bertulisan “MCR menyelamatkan nyawa” dan “Saya tidak takut untuk terus hidup” (Lirik dari lagi “Famous Last Words” dari album The Black Parade).

Iklan

Semua kontroversi ini lahir dari asumsi bahwa penggemar musik alternatif, entah itu emo atau metal, dipengaruhi secara langsung oleh band-band yang mereka dengarkan, alih-alih sudah memiliki masalah semenjak lama. Fakta bahwa penggemar musik ini sangat lantang bersuara tentang isu seperti depresi, melukai diri, dan bunuh diri dianggap bersifat performatif atau hanya mencari perhatian, alih-alih refleksi dari masalah nyata. Tapi mengingat salah satu masalah terbesar remaja adalah “diterima”, tidak heran bahwa mereka yang mengalami masalah ini akan mendapatkan ketenangan dari sebuah gerakan yang tidak malu-malu mengungkapkan perasaan mereka.

Di tulisan akademis 2011nya, “Emo Saved My Life,” Dr Rosemary Lucy Hill, seorang dosen Sosiologi di University of Leeds, menantang diskursus tentang kesehatan mental terkait dengan emo dan My Chemical Romance, dan menemukan bahwa gender adalah faktor besar yang menentukan pembentukan narasi. Penelitiannya menemukan bahwa perempuan otomatis dianggap sebagai korban musik alih-alih penggemar yang menemukan ketenangan atau kekuatan dari pesan musik itu sendiri.

“Perempuan dan lelaki disosialisasikan secara berbeda dan kondisi kehidupan remaja mereka berbeda,” tulis Hill. “Penelitian menemukan bahwa lelaki muda menggunakan metal untuk menghadapi rasa amarah dan ini berarti kita bisa dengan mirip mengeksplor penggemar My Chemical Romance yang menggunakan musik band tersebut dalam konteks melukai diri dan diskusi tentang bunuh diri. Kita harus mendengarkan apa yang perempuan muda ingin utarakan.” Setelah melakukan ini, Hill menemukan bahwa: “Alih-alih emo menjadi sarana yang mendorong mereka ke arah depresi, ke melukai diri, ke bunuh diri, musik ini bisa membantu penggemar melewati gangguan mental.”

Iklan

Saya berbicara dengan Hill baru-baru ini untuk menanyakan perasaannya tentang penelitiannya lima tahun kemudian, dan dia merasa sudut pandangnya semakin tervalidasi. “Menurut saya komentar koroner tentang kematian Hannah Bond sangat tidak tahu malu,” ujarnya. “Dia menyalahkan musiknya dan menyebut kematiannya sebagai ‘tren’. Dia menolak menganggap gangguan dan kematiannya secara serius, dan ini bisa dilihat sebagai bagian dari miskonsepsi tentang kesehatan mental. Tapi ini bisa juga dipandang sebagai bagian dari seksisme yang menganggap hobi perempuan tidaklah penting.”

Fakta bahwa band seperti My Chemical Romance memiliki banyak penggemar perempuan merupakan bagian dari alasan kenapa mereka dikritik. Seperti yang ditulis Brodie Lancaster di sebuah esai di Pitchfork: “Pokok dari kenapa remaja perempuan diabaikan adalah asumsi bahwa mereka tidak bisa berpikir kritis dibanding remaja laki-laki dalam urusan band favorit.” Ini sangat ironis kemudian, ketika musik yang memberikan mereka outlet bagi perasaan depresi dan rasa tidak aman diejek karena dianggap terlalu emosional.

They Used adalah band lainnya yang jatuh di bawah payung emo dan sempat menghasilkan album penting bagi banyak orang. Kalau kamu membuat daftar hits “emo” definitif, single 2002 mereka “The Taste of Ink” tidak bisa dilewatkan. Chorusnya—”So here I am alive at last / And I’ll savor every moment of this”—merupakan perlawanan terhadap penderitaan, bukan hanya bagi kaum muda, tapi bagi siapapun yang bertahan hidup dari hari ke hari.

Iklan

Ketika The Used terbentuk pada 2001, vokalis Bert McCracken berjuang menghadapi banyak isu yang “setiap remaja di AS” alami: perceraian orang tua, bullying, tidak diterima anak-anak lain, dan tidak mengerti di mana tempatmu di dunia. “Ini masalah-masalah umum bagi semua orang,” ujarnya, “dan seperti itulah yang saya rasakan ketika remaja, diejek di sekolah karena saya berbeda. Ini waktu bagi proses penemuan jati diri, jadi kalau ada orang yang terus-menerus mengejek jalurmu menemukan jati diri dan apa yang ingin kamu lakukan dalam hidup, ini berat. Musik menjadi jalan kabur, dan musik membantu sekali dalam masa-masa seperti ini. Intinya adalah menemukan sesuatu yang tidak akan merusak masa depan dan keselamatanmu, tapi tetap bisa membuat kepalamu terasa keluar dari masalah-masalahmu.”

Biarpun mengenyahkan stigma tentang kesehatan mental lebih menjadi produk akhir musiknya, dan bukan intensi band (berlaku bagi kebanyakan band emo), McCracken mengerti bahwa tidak banyak bantuan tersedia bagi orang-orang yang membutuhkan, dan sifat industri farmasi di AS bisa menimbulkan bahaya untuk orang-orang kecanduan obat resep. “Di gig, saya kadang bertanya ke penonton apabila mereka kenal seseorang yang dianjurkan obat resep dari dokter, dan semua orang mengangkat tangan,” ujarnya. “Saya bertanya berapa banyak orang yang dianjurkan obat resep karena gangguan di kepala atau tubuh, dan semua orang mengangkat tangan. Dan ketika ditanya berapa banyak yang kenal seseorang yang overdosis dari obat resep, tidak banyak tangan yang turun.” Dan biarpun obat resep jelas telah banyak membantu orang menavigasi gangguan kesehatan mental, ini bisa terasa seperti solusi jangka pendek saja.

Iklan

Bukan hanya AS yang memiliki kecenderungan menerapkan kebijakan kesehatan mental jangka pendek alih-alih menemukan dukungan jangka panjang. DI Inggris, ketegangan politik semakin memperparah krisis kesehatan mental, dan meninggalkan banyak orang yang membutuhkan tanpa tempat di rumah sakit. Tentu saja musik tidak bisa menjadi pengganti bagi bantuan dan dukungan, tapi musik bisa menjadi teman bagi orang-orang yang tidak memiliki apapun. Kesimpulannya, media memandang gangguan mental lewat lensa kecintaan terhadap musik sepertinya hanya cara lain untuk mengalihkan tanggung jawab dan tidak melihat masalah besarnya.

“Kita seharusnya bertanya kenapa penggemar musik muda menjadi fokus bentuk kepanikan macam ini,” ujar Hill. “Apakah karena orang muda dianggap masih membentuk identitas seiring mereka masuk pubertas dan mulai memisahkan diri dari orang tua mereka? Kenapa musik yang disalahkan ketika stres masa puber dan struktur masyarakat yang sulit di masa remajalah yang menjadi penyebabnya? Pertanyaan kedua terutama, sangat penting mengingat penggemar My Chemical Romance (dan heavy metal secara umum) mengatakan musik sangat membantu ketika berhadapan dengan gangguan kesehatan mental.”

Di titik ini, perlu diingat bahwa Gerard Way dan Bert McCracken pernah berhadapan dengan depresi, dan salah satu alasan orang tertarik dengan emo adalah karena musik ini menjadi semacam sarana berbagi dengan penggemar. “Satu hal yang menghubungkan [band dan penggemar kami] secara serius adalah musik ini telah menyelamatkan nyawa saya. Saya mendengar banyak cerita tentang bagaimana dua album pertama The Used menyelamatkan nyawa orang, dan ini juga berlaku bagi saya,” ujar McCracken.

Iklan

“Ada momen dalam hidup ketika saya merasa tidak bisa terus lanjut, dan album-album ini menemani saya ketika saya terlalu parah untuk bahkan menelpon teman baik atau keluarga,” ujarnya. “Jadi dalam pengertian tersebut, kami mengerti bahwa ada sebuah alternatif. Mungkin ini tidak sesuai standar gratifikasi sekejap, tapi kami mengerti sedikit demi sedikit bahwa semakin banyak waktu yang kami berikan ke diri sendiri, kami semakin punya kekuatan untuk mengontrol pikiran dan ketika saya sedang merasa sangat negatif, saya tahu saya bisa memutar musik dan menunggu hingga neraka tersebut berakhir. Saya tahu saya akan merasa lebih baik, kalau bukan besok, mungkin lusa.”

Serupa, ketika My Chemical Romance bubar di 2013, Gerard Way menyiapkan alamat kotak pos di Tarzana agar dia bisa terus berhubungan dengan penggemar. Jumlah surat yang datang sangat banyak dan cepat hingga kantor pos kewalahan, jadi dia memindahkannya ke markas Warner Bros dan membawanya ke rumah menggunakan mobil sesekali. “Rasa terima kasih, hubungan, penyemangat, dan positivitas yang terkandung dalam surat-surat ini sangat luar biasa,” tulisnya di sebuah postingan blog beberapa tahun lalu, “Dan saya berterima kasih untuk segalanya, untuk menyadarkan saya apa yang musik bisa lakukan bagi orang…[surat-surat tersebut] telah banyak membantu saya, mungkin lebih dari apa yang saya telah lakukan untukmu.”

My Chemical Romance dan The Used merupakan dua dari banyak band yang disebut “emo” yang membantu menciptakan ruang aman bagi orang-orang untuk membahas masalah yang mereka miliki dengan orang tua, teman, dan guru. Sayangnya, dunia luar kerap mengadili mereka atau bereaksi dengan kebencian. Dibalik semua melodramanya, emo adalah sebuah gerakan yang menganggap serius isu-isu dan orang-orang tersebut.

Iklan

“Saya merasa emo telah berjasa membuat diskusi tentang kesehatan mental menjadi lebih mudah bagi beberapa komunitas,” ujar Hill. “Sudah ada semakin banyak keterbukaan dan semakin sedikit stigma dalam beberapa tahun terakhir, jadi ini juga perlu diingat,” tapi, ujarnya, “Band macam My Chemical Romance jelas membantu beberapa penggemar menghadapi gangguan kesehatan mental. Mereka bukan hanya menyediakan grup pendukung lewat para penggemarnya, tapi lirik mereka juga bercerita tentang belajar hidup di samping gangguan kesehatan mental, untuk mencari cara bertahan dan mendapatkan dukungan.”

Imej musik emo mungkin dipandang sebagai lemah dan lebay, tapi musiknya jelas tidak pasif. Musiknya mengandung kemarahan, ekstremitas, dan kadang teatrikal. My Chemical Romance telah mengatakan beberapa kali bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan dengan Queen dibanding band punk lainnya, dan pernah mengkover “Under Pressure” bareng The Used untuk membuktikan hal ini.

Apapun yang kamu hadapi—depresi, bullying, gangguan kecemasan, masalah di rumah—emo menjadi musik untuk melawan itu semua. Biarpun sayangnya, banyak band-band yang berisikan lelaki macam My Chemical Romance, The Used, Thursday, Taking Back Sunday, dan Brand New ini akhirnya menjadi cerminan isu yang lama diabaikan dalam masyarakat: bahwa generasi muda membutuhkan bantuan, dan seharusnya mereka dianggap serius. Bagi lelaki muda, band-band ini menantang kode maskulinitas dengan cara masuk ke ranah kerentanan emosional, insecurity seksual dan rasa kehilangan. Mereka menampilkan emosi ke ratusan ribu penonton di dunia dalam dunia yang masih mendorong lelaki untuk tidak menampilkan banyak emosi.

Tentu saja ada juga banyak band, entah sengaja atau tidak, memperburuk stereotip negatif tentang emo. Lirik Hawthorne Heights “Cut my wrists and black my eyes / So i can fall asleep tonight or die” dari “Ohio Is For Lovers” menjadi sebuah referensi yang paling jelas. Atau “Play Russian roulette as we kiss / I’ll be your cheap novelty / Blow your brains out on me” dari lagu Senses Fail, “Choke On This” tentunya tidak membantu menyembuhkan reputasi musik emo yang dikait-kaitkan dengan kematian dan romansa dan dianggap lebay. Hasilnya? Kita sering langsung menolak satu gerakan ini secara keseluruhan. Padahal kita bisa melihat Halsey—bintang pop baru yang besar mendengarkan band macam My Chemical Romance dan Brand New, yang terus berusaha mempromosikan rasa empati dan dukungan terhadap orang-orang yang berhadapan dengan isu kesehatan mental—untuk menyadari bahwa emo mewariskan keterbukaan di generasi muda untuk membicarakan kesehatan mental.

Gelombang emo 2000an mungkin bukanlah satu-satunya gerombolan band yang menimbulkan efek tersebut; banyak orang yang menggunakan karya seni untuk berhadapan dan mengkomunikasikan masalah mereka. “Lagu-lagu yang berani membahas topik menyakitkan bisa membantu mereka yang sedang bermasalah,” ujar Hills, “tapi banyak band dan genre lain melakukan hal yang sama, termasuk musik pop yang sering dianggap musik cinta-cintaan doang. Orang akan menemukan musik yang sesuai dengan mereka dan mood. Mungkin saja My Chemical Romance dan band-band lain sejenisnya di medio 2000an yang kebetulan menyajikan itu bagi banyak generasi muda saat itu.”

Ketika sesuatu mulai bertambah populer, nuansanya kerap hilang. Detail-detail kecil kalah dengan tren yang lebih besar, dan klise mulai bermunculan dan mengubah isu serius menjadi aksesoris busana, menginvalidasi isu sesungguhnya. Depresi, menyakiti diri dan bunuh diri remaja menjadi bagian dari imej komersialisasi emo, biarpun ini tidak mengubah fakta bahwa banyak orang terbantu menghadapi masalah mereka. Tabloid tentu saja tidak akan menjadi sumber informasi yang paling seimbang tentang kultur remaja, dan banyak penggemar menolak terang-terangan informasi yang dilempar berbagai media massa tentang emo. Media telah menciptakan lingkungan tidak ramah bagi anak-anak yang berpakaian sedemikian rupa dan mendengarkan musik tertentu, tapi siapa juga yang mereka lebih dengarkan: The Daily Mail, atau My Chemical Romance? Tebakan saya sih yang kedua. Biarpun Hill berusaha tetap melihat sisi positifnya: “[Melihat emo dibahas di koran] menimbulkan percakapan antara orang tua dan anak-anaknya, yang tentu saja adalah hal yang baik.”

Kebanyakan situs penggemar orisinil My Chemical Romance sudah tidak aktif, tapi ada sebuah akun Tumblr—ya gak bisa dibuka deh—yang menyajikan kisah-kisah orang yang mengaku telah diselamatkan oleh My Chemical Romance. Yang terbaru umurnya baru setahun lebih dan datang dari akun bernama Marisa. Dia menulis “Saya telah banyak mengalami masalah depresi, kekurangan identitas, isu keluarga, rasa kesepian, dan hanya memiliki satu teman. MCR sangat populer ketika saya duduk di bangku SMP; The Black Parade dirilis ketika saya kelas 6 SD. Setelah beberapa tahun, saya lupa tentang mereka.” Dia kemudian menceritakan detail hubungannya dengan seorang tentara yang ditempatkan di Afganistan, isu keguguran, dan diikuti rasa kebencian diri yang panjang, dan hampir keluar dari sekolah. “Saya sedang memutar app Beats Music dan “The Light Behind Your Eyes” diputar,” ujarnya, “Lagu tersebut menarik saya keluar dari tempat yang gelap. Saya belum benar-benar keluar; dan saya masih sering menangis. Tapi saya menuju ke sana […] Biarpun musik MCR sudah 8-10 tahun umurnya, rasanya masih sangat relevan