media sosial

Melihat Proses Perekrutan Perusahaan Berdasarkan Postingan Medsos Calon Karyawan

Jejak digital bisa bikin kariermu runyam. Lantaran shitposting lama, kamu bisa dengan mudah dipecat atau bahkan ditolak perusahaan saat proses perekrutan. Kami mendalami proses pemeriksaan latar belakang lewat media sosial.
Companies vetting social media internet
Ilustrasi oleh George Yarnton

Kamu pasti sudah tahu siklusnya. Seseorang memposting sesuatu yang menyinggung, biasanya hanya dibagikan di lingaran pertemanan yang punya pemikiran sama denganmu. Di luar grup tersebut, tidak ada yang memperhatikan postingan tersebut, karena orangnya memang tidak begitu penting. Namun, ketika dia mendapatkan pekerjaan, jabatan, atau gelar baru, tiba-tiba dia ketahuan, dan semua orang ikutan membenci dia. Posting, lupakan, gali postingan tersebut, ulangi.

Iklan

Opini “problematis” di media sosial sering muncul, sehingga terasa seperti seksi berita sendiri. Menjelang pemilihan parlemen Uni Eropa Mei kemarin, partai baru Change UK terpaksa meminta dua calegnya, Joseph Russo dan Ali Sadjady mengundurkan diri. Ternyata keduanya sempat mengetwit opini yang dapat diinterpretasi sebagai komentar seksis, rasis, dan xenofobik. Komentar Joseph dan Ali masih mudah ditemukan. Postingan mereka lolos dari atasan mereka pada tahap awal.

Pemimpin Change UK kala itu, Heidi Allen, menyalahkan sebuah perusahaan pemeriksa latar belakang karena “tidak profesional” atas kesalahan itu. “Kami sudah menjelaskan, sebagai anggota parlemen yang mencari caleg, tidak cukup untuk meng-Google nama mereka. Oleh karena itu, kami membayar ahli pemeriksaan medsos untuk melakukan tugas pemeriksaan. Ini harus dibahas karena mereka gagal melakukan itu,” katanya kepada majalah The House. Tetapi perusahaan apa saja yang memeriksa akun-akun medsos kita? Bagaimana mereka menyampaikan penemuan mereka kepada klien? Bagaimana ini mempengaruhi para pekerja dan hak mereka?

Pertama, semua perusahaan harus menghadapi beberapa tantangan legal ketika memeriksa akun-akun media sosial calon karyawan. Itu yang diungkapkan Peter Church, pengacara di Linklaters yang berfokus pada persoalan teknologi dan hukum yang cukup karet. Menurutnya, “Ada peraturan ketat di bawah undang-undang perlindungan data Eropa mengenai cara perusahaan harus meminta informasi dari kamu. Tetapi kenyataannya, praktik sulit diawasi.”

Iklan

Sebagai calon karyawan, kemungkinan kamu akan diperiksa pada tahap terakhir proses perekrutan. “Pemeriksaan seharusnya dilakukan pada akhir proses,” lanjut Peter. “Kalau kamu menerima 100 CV untuk satu jabatan, tidak mungkin semuanya diperiksa. Menurut saya, hanya calon yang mendekati akhir proses perekrutan akan diperiksa media sosialnya.”

David D’Souza, direktur asosiasi profesional sumber daya manusia CIPD, menjelaskan bahwa perusahaan pemeriksaan “pada dasarnya mengatakan: ‘berdasarkan profil online orang ini, apakah terdapat pemicu atau risiko yang harus kami ketahui?’ Namun, apakah pemicu dan risiko itu penentu yang baik? Siapa saja bisa mengatakan hal-hal menjijikkan di internet. Apakah mereka harus diperlakukan seperti seseorang yang mengaku di Twitter suka merokok marijuana?

Ini tergantung pada syarat masing-masing perusahaan layanan identitas. Situs web Sterling Talent Solutions menyatakan “seseorang yang membagi foto tidak pantas, yang menandakan etika buruk, bukan calon kompetitif. Membagi konten dengan kesalahan pengejaan dan gramatik adalah petanda buruk.” Menurut CBS Screening, “pemeriksaan medsos kami mensyaratkan izin pelamar, dan hanya memeriksa konten yang relevan pada pekerjaan”. Sementara itu, situs web Security Watchdog mampu memeriksa akun-akun medsos pelamar untuk “sifat yang tidak diinginkan” yang “kemungkinan akan mempengaruhi hubungan dengan klien” atau “berkaitan dengan grup-grup aktivis/advokasi”.

Iklan

Bianca Lager adalah presiden Kecerdasan Sosial (SI), sebuah perusahaan yang diatur Komisi Perdagangan Federal AS, yang menawarkan “pemeriksaan media sosial untuk perekrutan cerdas”. Atas nama kliennya, SI menggunakan nama, email, riwayat pekerjaan, dan riwayat pendidikan untuk mencari akun-akun medsos calon karyawan. Setelah mereka berhasil menemukan akun-akun ini, kata Bianca, mereka mencari empat kategori konten: “1. Rasisme/intoleransi 2. Kekerasan 3. Tindakan ilegal 4. Konten seksual.”

Sebagian tugas ini dilakukan kecerdasan buatan, tetapi Bianca menegaskan bahwa konten menyinggung lebih mudah dideteksi manusia: “Ada logat populer, berbagai bahasa, kebudayaan dan subkultur, dan paling penting, maksud dan konteks apa yang dikatakan seseorang di internet. Prosesnya cukup rumit.” Secara sederhana, SI hanya mencari konten serius yang melibatkan “konten jelas, mengerikan, dan menyolok yang berpotensi berisiko bagi sebuah perusahaan dan karyawannya.”

SI mampu menyelesaikan tugas ini secara lebih baik daripada perekrut, yang “seharusnya tidak melakukannya sendiri. Kemungkinan besar mereka hanya buang-buang waktu karena sebagian besar konten tidak relevan. Ada juga kemungkinan terjadi bias ilegal dan ketidakadilan.” Perusahaan pemeriksaan, kata Bianca, berfungsi sebagai “perantara tanpa bias.” Namun, Bianca mengaku perekrut diizinkan memilih kategori apa saja yang ingin diperiksa. Misalnya, perusahaan yang sedang merekrut petugas keamanan kemungkinan akan mencari kekerasan dalam postingan medsos para pelamar, tetapi mengabaikan rasisme dan intoleransi. Ini berpotensi menyebabkan kesenjangan etis.

Iklan

Seperti yang dikatakan Bianca, perusahaan pemeriksaan medsos bertanggung jawab untuk memastikan “calon karyawan tidak ditolak untuk alasan agama, kepercayaan politik, disabilitas, atau orientasi seksual”. Namun, apakah semua perusahaan mampu menolak permintaan konyol (yang belum tentu ilegal) dari klien mereka, sehingga mengecualikan calon yang sebenarnya tidak bersalah? “Saya pernah diceritakan seorang klien bahwa dia menolak merekrut seseorang karena dia memposting terlalu banyak selfie dan foto makanan,” kata Bianca. “Jadi bagi saya keputusan yang dibuat saat melihat akun medsos seseorang itu sangat mengejutkan.”

David juga menjelaskan arti “konyol” baginya: “Kalau Twitter-mu berisi twit-twit pendek, bukan berarti kamu akan bersikap seperti itu dalam sebuah rapat,” katanya. “Penggabungan ruang publik dan pribadi sangat problematis. Sejauh apa organisasi macam ini layak diizinkan mengakses kecocokan seseorang berdasarkan hal-hal yang diharapkan bersifat publik, atau yang tidak disangka akan dipertimbangkan perekrut?” Menurutnya, relevansi dan maksud postingan media sosial akan menimbulkan legislasi menarik dalam tahun-tahun mendatang.

Pada tingkat perekrutan, perekrut sudah memahami pemudaran perbatasan antara ruang publik dan pribadi. “Pada umumnya, kami mencari tindakan ilegal dan suasana opini mereka, lalu sebutan saingan untuk memastikan sang pelamar tidak bekerja untuk kompetitor”, kata seorang ahli pengiklanan yang bekerja di dunia pemasaran influencer. Dia setuju untuk berbicara dengan VICE secara anonim agar pekerjaannya tidak terganggu. “Menurut saya, tidak ada perbedaan antara sesuatu yang dikatakan seorang pejabat dalam sebuah wawancara dan sesuatu yang dipostingnya di medsos.”

Solusinya, kata Peter, adalah memeriksa dirimu sendiri sebelum melamar pekerjaan: “Kamu harus menghadapi kenyataan bahwa akun medsosmu kemungkinan akan diperiksa. Artinya, kamu harus bertanggung jawab dan mengulas jejak media sosialmu dan memperhatikan pengaturan privasi. Postingan pribadi seharusnya dibatas pada teman-teman dekat. Kalau ada postingan dari masa lalu yang mengkhawatirkan, lebih baik dihapus saja.” Peter juga menyarankan kita menggunakan nama samar di medsos.

Tetapi tidak semua orang akan mendapatkan peluang ini, karena menurut David, undang-undang pekerjaan Eropa lebih mengutamakan perusahaan daripada karyawan. Oleh karena itu, “calon karyawan akan tahu mereka dikecualikan dari proses perekrutan karena profil online mereka” hanya dua tahun setelah proses perekrutan. Kecuali kamu seorang influencer, calon pemain film, atau caleg, mendingan jangan mengandalkan etika pemeriksa medsos kalau kamu ingin dipekerjakan. Kalau tidak, siklus itu akan kembali.

@sophwilkinson / @georgeyarnton

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.