FYI.

This story is over 5 years old.

Intoleransi

Lampu Kuning Meningkatnya Radikalisme di Sekolah-Sekolah Indonesia

Penolakan ketua OSIS beda agama, ditambah berbagai survei lain, menunjukkan sekolah negeri menjadi lahan membiaknya intoleransi dan fanatisme agama melebihi sekolah swasta.
Sumber gambar: Wikimedia Commons/Rahmat Irfan Denas.

Pengguna media sosial di Indonesia terkejut membaca hasil survei yang baru-baru ini dilansir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penelitian itu menyatakan 8,2 persen pelajar yang menjadi responden menolak Ketua OSIS dari agama berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen responden yang merasa lebih nyaman dipimpin oleh seseorang yang satu agama.

Penelitian itu awalnya menyigi intoleransi yang terjadi di sekolah. Kecenderungannya, sekolah negeri ternyata menjadi ladang meningkatnya intoleransi dibanding SMA swasta berbasis agama. Penelitian ini menyasar siswa SMA/sederajat, guru, hingga kepala sekolah di dua SMA Negeri dan dua SMA swasta di Salatiga, Jawa Tengah, serta Singkawang, Kalimantan Barat. Kemdikbud melakukan penelitian ini pada Juli-September 2016 didasari meningkatnya sentimen konflik agama dan ras di Indonesia, termasuk diskriminasi dan dominasi etnis mayoritas terhadap minoritas.

Iklan

"Sikap tersebut antara lain 8,5 persen setuju dasar negara diganti dengan agama, dan 7,2 persen setuju (eksistensi) gerakan ISIS," kata Nur Berlian Venus Ali Peneliti Kemendikbud, kepada Kompas.com.

Riset sejenis tidak hanya dilakukan Kemendikbud. SETARA Institute—lembaga swadaya yang berkonsetrasi pada kajian demokrasi dan intoleransi—menjumpai kecenderungan senada. Studi SETARA Institute yang dilansir tahun lalu meneliti siswa SMA di Jakarta dan Bandung. Hasilnya menunjukkan bila 8,5 persen responden mereka setuju jika dasar negara Pancasila diganti dengan aturan agama.

Artinya di dua kota besar di Indonesia yang seringkali dianggap lebih menjunjung pluralisme, ada satu dari 12 orang yang setuju mengubah dasar negara ini menjadi berbasis agama. Direktur Riset SETARA, Ismail Hasani tidak kaget dengan berbagai hasil riset tersebut. Ia berpendapat bahwa sekolah, terutama yang dikelola pemerintah, justru menjadi institusi berperan paling dominan dalam transmisi pengetahuan agama.

"Sekolah secara normatif harusnya membentuk karakter siswa, tapi sekolah juga bukan public sphere yang kosong, sekolah merupakan public space yang diperebutkan oleh kekuatan ideologis yang berkontes dalam konteks politik Indonesia," ungkap Ismail saat dihubungi VICE Indonesia.

Dalam iklim demokrasi semua gagasan ideologis (termasuk yang berbasis agama) legal saling berebut pengaruh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan SETARA, ditemukan sekian pola penanaman ide-ide intoleransi di kalangan siswa SMA. Di antaranya melalui guru, kurikulum, dan perjumpaan dengan alumni melalui sistem mentoring keagamaan. Dalam kegiatan mentoring, biasanya alumni akan membimbing pelajar SMA mengaji, disertai dialog-dialog bertema keagamaan. Mentoring digelar atas alasan kurangnya jam pelajaran agama yang hanya dua jam dalam seminggu. Dari kegiatan itulah penyebaran ideologi tertentu dimulai.

Iklan

Dampak mentoring maupun penyebaran wacana lewat kurikulum dan materi ajar guru sudah berdampak pada lonjakan radikalisme. Ismail menyatakan, survei SETARA pada 2010 menunjukkan 35 persen responden anak muda Indonesia mendukung khilafah Islamiyah sebagai sistem politik baru. Kecenderungan ini tujuh tahun berikutnya terus menunjukkan peningkatan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berjanji melakukan langkah ekstra untuk menekan maraknya paham intoleransi di kalangan pelajar. Dia menduga, kegiatan ekstrakurikuler, contohnya mentoring keagamaan, jadi biang keroknya. "Saya minta kepala-kepala dinas agar ketat mengawasi kegiatan yang ditawarkan dari pihak luar ke sekolah," ujarnya seperti dikutip media lokal.

Buku-buku pelajaran juga ditengarai menyebarkan paham intoleransi, bahkan sejak fase pendidikan prasekolah. Contohnya adalah buku teks di TK Kota Depok, Jawa Barat, yang mengajarkan nyanyian pada anak-anak memakai lirik "sya-hid di me-dan ji-had". Di buku yang sama, ada pula cerita mengenai bom.

Temuan sejenis didapatkan dari buku pelajaran SMA di Bandung, yang salah satu babnya menampilkan materi "kebangkitan prajurit Islam". Salah satu kutipan kalimat di buku itu misalnya, "semua orang yang menyembah Tuhan selain Allah adalah kafir dan pantas dibunuh." Buku serupa ditemukan otoritas pendidikan di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera menyita seluruh buku tersebut dan menghapuskannya dari daftar referensi kurikulum nasional.

SETARA berharap Kemendikbud segera menelurkan kebijakan konkret, setelah mendapatkan hasil survei yang tak jauh berbeda. Ismail merasa Pusat Buku dan Kurikulum yang ada di bawah naungan Kemendikbud seharusnya punya peran pengawasan, bahkan mengikis maraknya pandangan intoleran yang dipromosikan lewat sekolah negeri. Sejauh ini, Ismail merasa respons pemerintah untuk mengurangi pandangan pelajar yang anti-keberagaman masih lemah. "Kemdikbud selalu mengatakan isu ini bukan domain mereka karena adanya otonomi daerah, di mana pemerinta daerah punya ruang bebas untuk mengisi buku bacaan di sekolah," kata Ismail. "Kewenangan SMA itu ada di provinsi dan SD SMP ada di Kabupaten. Maka Pemda di tingkat Kabupaten dan Provinsi juga perlu dimintai pertanggungjawaban akan beredarnya buku-buku intoleran."

Tidak hanya potensi intoleransi, radikalisme agama pun makin merajalela. Sebelumnya, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) merilis hasil riset potensi radikalisme di Indonesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 50 persen pelajar setuju akan tindakan berbasis radikalisme. Masih dalam penelitian yang sama, potensi radikalisme terdeteksi, 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan bahwa Pancasila tidak lagi relevan diterapkan di Indonesia. Data ini menunjukkann 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju dengan penerapan syariat Islam. Adapun sekitar 52,3 persen siswa menyetujui kekerasan demi solidaritas agama, dan 14,2 persen membenarkan serangan teror bom.

"Ini tantangan bagi kebangsaan kita," kata Ismail menegaskan. "Kami mendorong pemerintah punya program ketahanan sekolah dari virus-virus intoleran. Sementara di lingkup keluarga kita usulkan punya ketahanan keluarga, agar keluarga punya imunitas dan kepedulian terhadap radikalisme".