Terlalu Banyak Membaca Berita Sedih Bisa Memicu Kematian
Ilustrasi oleh Joel Benjamin.

FYI.

This story is over 5 years old.

Psikologi

Terlalu Banyak Membaca Berita Sedih Bisa Memicu Kematian

Saya mengalami kecanduan 2.0: membagi-bagikan cerita sedih di medsos, selalu mencari cerita negatif dari sumber manapun tanpa berpikir panjang.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Semua orang punya kecanduan masing-masing. Akhir-akhir ini saya resmi mengidap kecanduan aneh: mencari dan membaca berita-berita sedih ataupun tragis. Saya tidak akan menyebutkan cerita macam apa yang saya baca. Intinya saya malu menghabiskan dua hari penuh membaca kisah penderitaan para korban, seakan-akan hidup mereka seperti isi lembaran novel.

Rupanya perilaku ini bukan sepenuhnya salah saya. Jauh sebelum era artikel-artikel clickbait mulai ramai di industri Internet, media gemar mencari cerita-cerita tragis sensasional. Manusia selalu lebih tertarik dengan berita-berita negatif daripada yang positif. Lebih dari itu, sepertinya banyak dari kita sebetulnya penasaran bagaimana ajal akan menyambut. Di era modern ini, kita kerap membaca berita-berita seputar kecelakaan, bencana, dan tragedi dengan harapan kita bisa mendapat petunjuk soal kematian kita sendiri.

Iklan

Sebagai seorang pecandu berita sedih yang masuk tahap akut, saya selalu berusaha membaca hal-hal semacam itu untuk mengubah suasana hati yang sedang tidak bagus. Segala macam cerita apapun yang akan mempengaruhi neurotransmiter di otak akan saya telan. Cerita tragedi—yang penuh horor—berhasil merombak perasaan saya sepenuhnya. Dan saya akan melakukan apapun untuk mengalihkan diri dari perasaan saya sesudah membaca.

"Adiksi internet itu berhubungan dengan perubahan dopamin," kata Sreee Jadapalle dalam pertemuan Asosiasi Psikiater Amerika pada 2014. "Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan internet dalam jangka panjang menyebabkan berkurangnya alat pengangkut dopamin. Efeknya? Dopamin tersangkut di celah sinaptik otak." Dia juga menyebutkan pasokan dopamin yang berlebihan ini menyebabkan stimulasi neuron terlalu berdekatan, mengakibatkan perasaan euforia. Efek berkurangnya alat pengangkut dopamin ini biasanya terlihat pada pengguna narkoba dan perilaku kecanduan lainnya.

Sebetulnya kecanduan membaca berita sedih bukan masalah besar kalau tidak efek negatifnya. Ketika saya melahap berita-berita negatif, perilaku kompulsif saya akan muncul, mencari berita semacam itu dari bermacam sumber, ujung-ujungnya memperburuk kesehatan mental.

"Cerita-cerita yang menimbulkan rasa panik memicu pelepasan glukokortikoid (kortisol)," tulis Rolf Dobelli dalam kolom di surat kabar the Guardian. Dia menjabarkan fungsi hormon yang biasanya timbul ketika berita negatif memicu depresi dan gangguan panik kumat.

Iklan

Entah kenapa, saya selalu terlambat menyadari cerita-cerita yang saya baca sebetulnya tidak baik bagi kesehatan. Sewaktu terlanjur kumat, baru saya sadar. Setelah dua hari terobsesi membaca cerita horor yang tadi saya singgung, saya baru sadar telah mengalami trauma. Saya kumat secara emosional dan langsung rapuh terhadap berbagai penyakit mental. Sensasi ini saya sebut the haunting: kombinasi kegelisahan dan depresi yang membuat saya merasa diawasi dan dihakimi seseorang seolah-seolah ada yang mengobrak-abrik perut, dada, dan leher saya.

Saya bertanya pada psikolog asal Inggris Dr. Graham Davey yang pernah meneliti efek dari kekerasan yang ditampilkan media terhadap kondisi psikologis seseorang. Sebetulnya apakah efek kecanduan saya ini memang berpengaruh terhadap munculnya gejala gelisah dan depresi?

"Efeknya banyak," katanya. "Penelitian kami menunjukkan berita yang menimbulkan perasaan negatif meningkatkan kegelisahan dan rasa khawatir seseorang—biarpun ketika topik beritanya tidak berhubungan dengan hidup anda. Berita negatif membuat mood secara keseluruhan lebih negatif."

Lalu bagaimana seorang penderita depresi dan/atau kegelisahan harus menyikapi membanjirnya berita-berita negatif? Ada penelitian yang menyarankan tidak mengkonsumsi berita sama sekali, atau paling tidak mengurangi konsumsi berita. Saya tidak yakin apakah ini solusi yang efektif untuk saya—sebab saya tidak mau sepenuhnya buta informasi. Apabila saya sama sekali tidak menyimak berita, saya akan merasa bersalah. Seakan-akan ada semacam kewajiban untuk selalu "melek informasi."

Iklan

Tapi apa sebetulnya yang terjadi? Apa sih artinya melek informasi? Memangnya orang-orang yang rajin membaca berita lebih unggul dibanding yang tidak mengikuti arus informasi terbaru? Apakah dengan melek kita jadi lebih terdorong menolong sesama? Atau ini semua hanya ilusi kesadaran semata?

"Ada semacam pandangan, bergesernya berita ke arah hiburan menyebabkan semacam penurunan nilai masyarakat," kata Amir Kamenica dalam sebuah episode Podcast Freakonomics yang berjudul "Why Do We Really Follow the News?". Kamenica merupakan penulis makalah "Suspense and Surprise" yang menyatakan manusia selalu ingin berita yang menghibur.

Jangan lupa bahwa sekarang berita yang diproduksi media arus utama memuat unsur performatifnya. Apalagi ketika banyak bertebaran berita yang disebut hasil karya "jurnalis warga". Kadang ketika ada teman mengunggah berita buruk diiringi status politis bernada marah di Facebook, saya selalu kepikiran, bukankan lingkaran pertemanan dia di FB juga satu ideologi. Untuk apa marah dengan orang yang sepaham denganmu? Biasanya orang mengunggah status macam ini di Facebook secara tidak langsung minta teman-teman mereka yang berbeda sudut pandang segera menekan tombol unfriend. Entahlah, mungkin saya terlalu sinis aja. Mungkin saya mereka berusaha membentuk sudut pandang global yang progresif, dimulai dari sebuah status Facebook. Menurut saya, membagikan berita dengan kecenderungan moralis semacam ini sangatlah dangkal. Apalagi jika anda mengunggah berita negatif menggunakan iPhone: sebuah ponsel yang dibuat pabrik yang memperkerjakan buruh secara tidak manusiawi. Apakah kita bener-bener pernah berusaha mengatasi penderitaan orang lain? Apakah kita benar-benar melihat akibat dari semua pilihan kita secara global? Atau kita akan seperti sosok Ishmael dalam novel Moby Dick yang hanya melihat sebagian siluet dari ikan paus?

Seandainya saya bisa berlaku lebih moralis, hati mungkin akan lebih enteng. Tidak peduli berapa banyaknya informasi yang saya bagikan di jejaring sosial, saya bukanlah seseorang yang suci. Saya tidak lebih baik dari orang lain. Menggunakan logika ini, tidak mengkonsumsi berita belum tentu menyelamatkan saya dari penyakit kesehatan mental yang bisa menimpa kapanpun. Ketika depresi itu datang, saya merasa diawasi dan dihakimi bukan hanya karena apa yang saya tidak tahu, tapi juga apa yang saya tahu.

Dapatkan buku So Sad Today: Personal Essays lewatAmazon, follow penulis perempuan yang sedang populer ini di Twitter.