FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

'Krisis Kemanusiaan Aleppo': Pasukan Bashar Al Assad Dilaporkan Membantai Penduduk Sipil

Informasi kredibel diterima PBB menyatakan Pasukan loyalis Assad membunuh perempuan dan anak-anak di empat distrik berbeda kawasan timur Aleppo.
Foto oleh AP

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Pekan ini Perserikatan Bangsa-Bangsa menurunkan laporan bahwa pasukan pro-Presiden Suriah, Bashar Al-Assad, mulai merangsek masuk wilayah timur Aleppo. Pasukan itu dilaporkan membantai penduduk sipil di rumah masing-masing—termasuk perempuan dan anak-anak. PBB mengutuk dan menyebut kondisi di Aleppo sebagai "Krisis Kemanusiaan Luar Biasa." Sebuah organisasi pembela HAM lainnya menyatakan "pembantaian yang sesungguhnya" telah dimulai seiring masuknya tentara yang loyal pada Presiden Assad masuk Aleppo, merebut daerah pertahan terakhir kaum pemberontak.

Iklan

Activists in Aleppo are tweeting out their final, harrowing goodbyes. They will almost certainly be detained/tortured/killed upon capture.
— Ben Taub (@bentaub91) December 12, 2016

Juru bicara Komisi HAM PBB, Rupert Colville, mengungkapkan pihaknya menerima informasi terpercaya, setidaknya 82 penduduk sipil dibantai di empat distrik berbeda di wilayah timur Aleppo. Informasi tersebut menyebutkan penduduk yang dibantai adalah mereka yang berusaha kabur saat pasukan Assad mulai merangsek masuk kota. "Hati kami berduka bagi mereka yang masih terjebak di tempat-tempat mengerikan di timur Aleppo," ujar Colville.

My dad is injured now. I am crying.-Bana #Aleppo
— Bana Alabed (@AlabedBana) December 12, 2016

Ammar al Salmo, pemimpin sukarelawan pertahanan sipil di Aleppo, mengungkapkan kepada VICE News tentang kehancuran yang terjadi di sana. "Situasi di lapangan sangat mengenaskan. Kondisinya semakin parah dari hari ke hari. Saat ini, lebih dari 100.000 penduduk sipil terkepung dalam wilayah seluas 35 kilometer persegi. Ini adalah sisa terakhir daerah yang dikuasai pihak pemberontak. Semua denyut kehidupan kini berhenti, kecuali berondongan senjata, kelaparan, musim dingin yang menggigit, ketakutan dan teror. Selain itu, semuanya berhenti."

Palang Merah Internasional mewanti-wanti pentingnya pengambilan tindakan untuk melindungi mereka yang masih hidup di daerah pemberontak Suriah sebelum terlambat. Sementara itu, Syrian Observatory for Human Rights, yang mengamati jalannya perang di Aleppo, mengatakan banyak jasad dibiarkan begitu saja tergeletak di jalan karena warga ketakutan keluar rumah untuk mengubur mayat-mayat itu. Dalam keterangan resminya, organisasi tersebut mengklaim terjadi pembantaian massal di Aleppo.

Iklan

Ammar al Salmo secara gamblang mengatakan lebih memilih mati daripada harus ditawan atau dieksekusi. "Kami memilih mati di sini karena kami toh tak punya pilihan lain selain mati karena bom atau karena eksekusi. Lagipula, dunia mau berbuat apa kalau kami mati dalam tawanan rezim Assad? Tak ada."

Merangseknya pasukan pro pemerintah ke Aleppo menjadi puncak dari bermacam pelanggaran HAM yang terjadi di Aleppo selama berbulan-bulan lamanya.

  • September 2015, segera setelah pasukan Assad berusaha mengambil alih wilayah timur Aleppo, UNICEF mengutuk strategi tempur pemerintahan Assad karena telah menciptakan "mimpi buruk" bagi anak-anak yang hidup di bekas kota bisnis terbesar Suriah itu. UNICEF melaporkan 96 anak tewas dan lebih dari 223 balita lainnya terluka akibat pemboman udara di Alepppo. "Tak ada kata yang bisa menggambarkan penderitaan yang harus ditanggung anak-anak itu," ungkap Justin Forsyth, Wakil Direktur Eksekutif UNICEF.
  • Duta besar Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis untuk PBB melakukan walk out dari sidang Dewan Keamanan PBB tahun lalu, sebagai bentuk protes atas kekejaman rezim Suriah. Mereka menganggap Rusia, sekutu Assad, melakukan kejahatan perang di Aleppo. "Setelah konflik berjalan selama lima tahun, anda mungkin berpikir bahwa rezim Assad bakal muak dengan segala yang barbar di sana, nyatanya Rezim Assad dan Rusia malah menjadikan Aleppo neraka di bumi," kata Duta Besar Inggris untuk PBB Matthew Rycroft.
  • Oktober 2015, Kepala Urusan Kemanusiaan PBB, Stephen O'Brien, menyebut apa yang terjadi Aleppo "aib generasi kita." Ketika berbicara di depan sidang Dewan Keamanan PBB, O'Brien dengan penuh emosi menggambarkan kengerian yang terjadi di wilayah timur Aleppo. Dia mendesak para anggota Dewan Keamanan PBB segera bertindak. "Jika anda tak bertindak sekarang, tak akan ada lagi penduduk Suriah yang bisa anda selamatkan—ini bakal jadi warisan Dewan Keamanan PBB, aib generasi kita."
  • Selang beberapa jam kemudian, staff PBB lainnya mengutuk pembantaian anak-anak di sebuah bangunan sekolah di Provinsi Idlib, tak jauh dari Aleppo. "Insiden ini adalah sebuah tragedi. Sebuah kekejaman. Jika boleh lebih gamblang, ini adalah sebuh kejahatan perang," ujar Anthony Lake, Direktur Eksekutif UNICEF. "Kekejaman yang terjadi di bangunan sekolah di Idlib mungkin serangan paling keji pada sebuah sekolah dalam perang yang berkecamuk selama lima tahun konflik Suriah."
  • Sebulan lalu, lembaga pemantau HAM, Amnesty International, menuduh pasukan pemerintah Suriah "tak mengindahkan keselamatan penduduk sipil" di wilayah timur Aleppo. Amnesty Internasional mendesak agar "penduduk sipil di wilayah yang baru kembali direbut pasukan Assad mendapatkan perlindungan yang patut, mengingat catatan buruk pemerintah Suriah menyoal penahanan penduduk sipil dan penghilangan manusia dalam skala besar."
  • Rusia dan Cina menggunakan hak veto mencegah Dewan Keamaan PBB mengeluarkan resolusi menyangkut serangan tentara pemerintah di Aleppo. Merespon sikap dua negara itu, Inggris kembali mengajukan tuntutan sidang ke Dewan Keamanan PBB setelah berbulan-bulan melaporkan bahwa tingkat kekejaman dialami penduduk Aleppo tak bisa lebih parah lagi. "Saya lagi-lagi harus harus terkaget-kaget membaca laporan tentang penderitaan mereka yang makin menjadi-jadi," kata O'Brien.
  • Awal bulan ini Human Rights Watch menuduh pemerintah Suria dan sekutunya melakukan kejahatan perang dengan melakukan pemboman tanpa henti selama bulan September dan Oktober 2016. Pemboman ini telah memakan korban sebanyak 440 warga sipil. "Mereka yang memerintahkan dan melaksanakan serangan keji ini harus didakwa sebagai penjahat perang," kata Ole Solvang, Wakil Direktur Bidang Kemanusiaan Human Rights Watch.

Pada 11 Desember lalu, Amerika Serikat dan Rusia hampir mencapai kesepakatan untuk menghentikan kekejaman yang terjadi Aleppo. Kedua negara adi daya itu rencananya membiarkan kaum pemberontak dan warga sipil Aleppo menyelamatkan diri. Sayangnya, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS John Kirby memberikan konfirmasi, belakangan Rusia berusaha memperlambat tercapainya gencatan senjata. "Kami sangat frustasi, tapi kami tak begitu terkejut dengan keengganan Rusia dan Suriah menandatangani resolusi untuk mengakhiri semua kekejaman ini."

VICE News berkesempatan membaca surat ditujukan kepada anggota Kongres AS. Surat tersebut dibubuhi tanda tangan pemimpin Front Syam – kelompok pemberontak Aleppo yang melawan pemerintah Assad. Dalam surat itu, Abdullah al-Othman—Ketua Front Syam—menulis bila kelompoknya kehilangan banyak anggota dalam perangan melawan Daulah Islamiah maupun pasukan pro Assad. "Dengan berat hati, saya harus mangakui bahwa kami telah gagal."

Surat tersebut mengatakan "penduduk sipil Aleppo dibakar hidup-hidup di jalanan akibat pemboman tanpa henti." Al-Othman meminta Presiden AS segera mengambil tindakan menolong warga sipil di Aleppo. Al-Othman mengakhiri suratnya dengan sebuah peringatan, "pembantaian paling mengerikan dalam perang ini, mungkin baru akan dimulai."

Baca seluruh suratnya di sini.