FYI.

This story is over 5 years old.

Food

Berburu Daging-Daging 'Eksotis' di Mal Ambassador Jakarta

Lantai empat Mal Ambassador, Jakarta Selatan, adalah surga bagi anda yang tertarik menikmati daging-daging eksotis (ini istilah canggih untuk menyebut daging tak lazim, mulai dari anjing hingga kelelawar).
Semua foto oleh penulis.

Mal Ambassador termasuk mal di Jakarta Selatan yang bangunannya paling warna-warni. Kotak-kotak neon ukuran besar, memamerkan nama masing-masing toko dan merek elektronik tertentu, berupaya membujuk orang-orang mampir. Pendar-pendar neon membuat bangunan itu yang paling bermandi cahaya di kawasan Mega Kuningan.

Sejak didirikan pada 1994, komplek Ambassador—yang bertambah luas berkat berdirinya ITC Kuningan—dikenal sebagai surganya barang elektronik murah, baju-baju distro 'tembakan', serta DVD film atau program komputer bajakan. Jumlah kiosnya di atas rata-rata mal sejenis, sehingga kesan serba padat muncul jika anda baru pertama kali menginjakkan kaki di sana, di tengah aksi tiap-tiap penjaga kios yang agresif merayu pengunjung.

Iklan

Dari semua silang sengkarut itu, belum banyak orang menyadari jika Mal Ambassador adalah salah satu tempat terbaik memburu macam-macam jenis kuliner Manado. Terutama yang melibatkan daging-daging langka. Daging apa saja. Sekali lagi, daging hewan apapun.

Food court lantai empat—sebagian warungnya berada di jembatan penghubung antara Ambassador dan ITC Kuningan—merupakan penawar lapar terbaik sesudah anda mabuk belanja. Menyambangi komplek mal di Jl Prof. Dr. Satrio yang selalu macet ini hampir pasti melelahkan. Apalagi jika anda memang berniat membeli sesuatu. Terlalu banyak toko, terlalu banyak diskon, terlalu banyak pedagang mengiming-imingi potongan harga.

Sekilas food court Ambassador tak jauh berbeda dari pusat jajan mal-mal lain. Namun Derry, dari kantor pemasaran Mal Ambassador, segera paham yang saya maksud tentang surga kuliner Manado. Di Ambassador, ada lima gerai resmi yang menjual bermacam masakan khas budaya Minahasa. Sedangkan di jembatan penghubung kedua mal, jumlah warung Manado-nya, "engga kehitung lagi."

Masakah Manado memiliki karakter kuat, yang sulit dicari padanannya pada tradisi memasak nusantara. Ada sentuhan Eropa yang kuat dalam budaya masak Minahasa, bercampur khazanah Tiongkok, serta tentu saja melibatkan rempah-rempah dan cita rasa ekstra pedas seperti lazimnya selera penduduk garis khatulistiwa.

Seperti tradisi kuliner Batak dan kawasan timur Indonesia, pembeda khas kuliner Minasaha dari masakan nusantara kebanyakan adalah penggunaan daging non-halal. Ini masih ditambah kesadaran orang Minahasa sebagai penguasa rantai makanan. Kuliner Minahasa mengolah hewan apapun. Baik itu yang melata, terbang, hingga yang berenang.

Iklan

Mayoritas orang Minahasa memeluk agama Kristen Protestan. Daging non-halal yang diolah masyarakat Minahasa kesohor sangat beragam. Sebut saja yang sudah terlalu arus utama seperti babi atau anjing, hingga yang bagi pemakan non-halal pun terasa sangat ekstrem, ditopang popularitas pasar tradisional Kota Tomohon yang banyak diliput televisi. Mulai dari kucing, tikus sawah ekor putih, monyet, dan yang paling terkenal: kelelawar alias paniki.

Saya bertanya pada Derry, kenapa banyak sekali gerai masakan Manado di lantai empat Mal Ambassador. "Awalnya tidak disengaja ya. Cuma ketika mal ini pertama kali buka, kebetulan yang jual makanan orang Manado semua," ujarnya. "Lambat laun banyak orang datang setelah mendengar cerita soal kualitas masakan Manado di sini."

Maka, misi saya pun sederhana saat datang ke sana. Makan apa saja masakan non-halal yang bisa didapatkan dari restoran Manado lantai atas Mal Ambassador dan jembatan ITC Kuningan. Keinginan sederhana ternyata kadang tak sejalan dengan kenyataan. Saat mendatangi seorang penjaga warung, dia malah mengarahkan saya menuju Lapo Ni Tongdota. Jelas-jelas itu restoran Batak, bukannya Manado.

Rupanya saya dianggap sekadar ingin mencari masakan yang tidak halal. Ada banyak tempat makan di Mal Ambassador yang menyediakan olahan babi. "Tapi memang tidak terang-terangan menawarkannya," kata salah satu pemilik warung di food court pada saya.

Setidaknya saya masih mujur. Hanya berputar-putar sebentar, mudah bagi saya menemukan warung yang memasang tulisan tangan 'B1' yang dipasang tidak mencolok. Setelah masuk, saya segera mengajak bicara si pelayan. "Jadi, kenapa B1?"

Iklan

"Erwe," ucapnya.

"Erwe daging anjing maksudnya kan?

Si pelayan mengiyakan dan saya langsung memesannya. Sebetulnya cukup gampang melihat mana warung yang menjual daging anjing di Mal Ambassador, asal kita jeli. Daging-daging itu dipajang sedemikian rupa, dalam potongan besar-besar. Beberapa pelanggan yang tahu saya sedang mencari makanan non-halal menyarankan saya menjajal warung bernama Meimo. Olahan daging anjingnya yang paling top, kata orang-orang.

Meimo berdiri 2006. Elly, pemilik restoran ini, memberi penjelasan menarik mengapa banyak kuliner Manado tersedia di food court Mal Ambassador. "Dulu manajer mal-nya kebanyakan orang Manado," ujarnya. "Jadi dari mulut ke mulut diajak, masih keluarga dan kenalan. Sekarang penjual masakan Manado banyak, tapi manajernya bukan orang Manado lagi."

Omong-omong, julukan Erwe untuk menyebut daging anjing berasal dari istilah 'rintek wuuk'. Itu adalah Bahasa Minahasa yang artinya 'bulu lembut'. Semacam bahasa prokem buat menggambarkan wujud daging anjing yang lembut. Tekstur dan citarasa daging anjing sebetulnya menyerupai daging babi, terutama untuk lemaknya.

Merujuk data sejarah, sebetulnya sistem pencernaan manusia zaman dulu terbiasa menyantap daging anjing. Belum berapa lama sampai banyak peradaban menempatkan anjing dengan status yang lebih tinggi dibanding hewan-hewan lain, katakanlah sapi, dalam mata rantai domestifikasi.

Daging anjing memiliki aroma dan rasa yang sangat kuat. Karenanya masakan Manado mengolah daging ini sedemikian rupa memakai aneka bumbu dan rempah untuk menyamarkan rasa khas itu. Jika tukang masak tak lihai, daging anjing berisiko menguarkan aroma, apalagi kalau bukan, anjing. Sangat mungkin saat anda menyantapnya, langsung teringat pada anjing peliharaan di rumah.

Iklan

Tantangan lain saat saya berburu daging ini di Ambassador adalah bentuknya yang tidak khas. Daging anjing ketika diolah sedemikian rupa, berbentuk seperti potongan daging kebanyakan. Saat menyambangi Meimo, dari bermacam panganan yang disajikan di counter, saya terpaksa minta bantuan Elly untuk menemukan mana yang daging anjing. Ternyata, erwe tersembunyi di antara makanan lain, sebuah daging hitam yang ditumpuk bermacam kuah bumbu.

Satu porsi erwe—termasuk nasi, bakwan jagung, dan sup brenebon—dipatok seharga Rp45 ribu. Daging anjing, yang secara tekstur menyerupai babi, sangat cocok digabung bumbu-bumbu khas Manado.

Seperti yang dikatakan orang-orang, hidangan daging anjing Meimo memang lezat. Cuma, bagaimanapun, di pikiran saya mendadak muncul pertanyaan. Etiskah memakan hewan ini? Jujur saja, ini pertama kalinya saya makan daging anjing. Tidak ada pengalaman pertama yang mudah, tentu saja.

Saya pamit dari Meimo membawa pulang ingatan soal kelezatan daging anjing dan dilema sekaligus. Lalu saya berjalan, ke sisi lain lantai empat Mal Ambassador. Menuju warung Payangka. Sang pemilik menawari saya makan daging yang lebih langka lagi.

"Kami juga sedia Paniki, daging kelelawar," kata Carol, pemilik Payangka. "Tapi kamu harus pesan dulu. Agak sulit dapat daging kelelawar, jadi kita datangkan dari Manado," imbuhnya.

Saya tergelitik. Tapi perut kadung terisi. Saya mengucapkan terima kasih atas tawaran Carol.

Lain kali. Pasti.