FYI.

This story is over 5 years old.

Culture

Seorang Seniman Mendorong Laki-laki Melampiaskan Fantasi Tentang Wanita-Bersenjata di Depan Umum

Louise Orwin menemukan adegan wanita bersenjata di mana-mana, dari video musik sampai film porno. Seniman Inggris ini perlahan mempertanyakan, benarkah gambaran seorang wanita memegang senjata itu simbol kekuatan atau hanya fantasi pria semata?

Louise Orwin, foto oleh Field dan McGlynn

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

"Untuk bikin sebuah film, anda cukup punya seorang perempuan dan senjata," kata sutradara film asal Prancis, Jean-Luc Goddard, pada 1960-an. Kutipan ini mempunyai efek kuat bagi seorang seniman performance art, Louise Orwin. Louise, 29 tahun, menyadari bahwa dirinya merupakan bukti nyata akurasi pernyataan Goddard. Dia sudah lama terkagum-kagum dengan karakter-karakter femme fatale dari bermacam film. Dia juga tumbuh menonton film-film Western, road movie dan karya-karya Quentin Tarantino.

Iklan

A Girl and a Gun merupakan judul drama Louise yang baru. Karya ini semacam pastiche (seni tiruan bertujuan memuji, bukan mengejek) film-film kelas B. Tujuannya menanyakan para penonton apa sebetulnya yang membuat kombinasi seorang perempuan dan senjata sangat menarik—dan tentunya mengkhawatirkan. Kombinasi ini Louise temukan di mana-mana, mulai dari video musik sampai film porno. Louise mulai mempertanyakan apakah gambaran seorang wanita memegang senjata sebenarnya masuk kategori simbol kekuatan atau hanya fantasi pria semata.

Louise tidak asing dengan karya-karya seni yang kerap menciptakan rasa tidak nyaman. Karyanya yang terakhir,Pretty/Ugly menampilkannya berpose sebagai perempuan remaja di YouTube dan meminta orang-orang menilai kecantikannya. Selanjutnya di A Girl and a Gun, seorang penonton pria diseret ke panggung setiap malam. Si penonton pria yang belum pernah melihat skrip acara Louise diharuskan berperan sebagai tokoh protagonis (atau antagonis). Mereka lantas diminta melakukan kekerasan pada Louise di atas panggung. Mumpung Louise sedang melakukan tur promosi karyanya di Inggris, saya ngobrol dengannya tentang aksi seksual dan kekerasan, dan seberapa jauhkah batas toleransi rasa sakit kita.

Halo Louise. Apa yang membuat kutipan Godard berpengaruh terhadapmu
Kombinasi wanita dan senjata merupakan elemen yang familiar dalam film-film favorit saya. Saya ingin menyelidiki isu spesifik ini: apa efek dari wanita dan senjata di sebuah film? Mungkin kamu berpikir, 'wah, ini wanita jagoan,' tapi kemudian kamu sadar dia cuma mengenakan bikini dan memegang pistol dengan gestur seakan-akan memegang penis. Sebetulnya adegan ini diciptakan untuk siapa? Kemungkinan besar bukan untuk wanita.

Iklan

Semua orang menyukai estetika film kelas B yang penuh wanita berbikini, senjata-senjata besar, dan cowok-cowok keren. Bahkan Hollywood pun menggunakan formula yang sama terus-menerus sampai-sampai ini sudah bukan pastiches lagi, tapi sudah jadi semacam genre tersendiri.

Apakah kamu mengalami konflik batin terkait isu ini?
Jelas. Jujur, sebagai wanita yang lumayan feminis, saya selalu tertarik dengan karakter-karakter femme fatale. Namun seiring berkembangnya kesadaran politik, saya mulai mempertanyakan a) Apakah keinginanan menjadi karakter-karakter perempuan semacam itu merupakan hal positif dan b) Apakah keinginan ini adalah pilihan bebas? Mengingat budaya pop tidak menyajikan karakter-karakter wanita kuat tipe lainnya? Kalau saja saya tumbuh menonton karakter wanita kuat bertipe lain, mungkin saya tidak akan pernah ingin menjadi seperti karakter-karakter femme fatale.

Kadang saya bisa melihat seorang pria yang benar-benar kesulitan mengambil keputusan namun dia dengan berani melanjutkan perannya. Secara tidak langsung, dia mengorbankan dirinya sendiri untuk karya saya.

Ini seperti kegelisahan modern ya? Khawatir apakah seorang feminis yang "baik" boleh menikmati sesuatu yang seksi namun juga mengkhawatirkan?
Sebagian dari acara saya berputar di sekitar ide ini: apakah saya bisa menikmati karakter-karakter wanita seksi nan pasrah tanpa merasa bersalah, seakan-akan saya ikut mendukung peran gender yang amit-amit ini. Saya merupakan pendukung berat pemikiran bahwa seorang wanita boleh melakukan apa saja selama dia sadar terhadap pilihannya.

Iklan

Tapi menurut saya juga tidak baik untuk semata-mata menampilkan adegan-adegan ini berulang-ulang tanpa mempertanyakan mereka sama sekali. Mungkin saja adegan-adegan ini mendukung sebuah sistem yang sebetulnya tidak baik bagi wanita.

Dasar acara kamu adalah film-film kelas B, tapi apakah ada film-film modern beradegan wanita bersenjata yang juga kamu teliti?
Penelitian saya bermula dengan menonton adegan macam ini. Lumayan intens waktu yang saya habiskan menonton semua video, film, dan video porno yang menampilkan adegan-adegan ini. Pilih saja sebuah film laga secara acak, pasti ada adegan macam ini. Saya juga terus kepikiran tentang video musik 'Video Phone' karya Beyonce dan Lady Gaga yang mengacu pada film-film Godard atau Pedro Almodovar—mereka mengenakan baju ketat berwarna putih sambil memegang senjata berwarna pastel, seakan-akan mereka mengejek ide femme fatale. Namun pertanyaannya adalah: apakah mereka berusaha menumbangkan ide femme fatale tersebut, atau apakah mereka menggunakannya karena mereka tahu para penggemar menyukainya?

Acaramu menampilkan seorang pria yang berbeda-beda setiap malamnya—tanpa mereka melihat naskah sebelum naik panggung. Gimana tuh rasanya?
Awalnya seru. Kebanyakan pria paling-paling hanya diharuskan untuk mengenakan kostum koboi, main-main dengan pistol mainan, iseng aja. Namun kemudian suasananya makin serius dan saya meminta pria-pria tersebut melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap saya. Mereka bisa memilih turun panggung, atau menyanggupi permintaan saya. Kebanyakan menyanggupi.

Iklan

Para penonton bisa melihat semua arahan di panggung—permintaan yang saya buat terhadap si pria dan keputusan yang dia ambil. Saya tidak berusaha mengutuk keputusan pria-pria ini, namun arahan-arahan panggung ini membuat penonton mempertanyakan keputusan yang diambil pria-pria tersebut.

Menurut kamu keputusan mana yang lebih berani, bagi si pria untuk menyanggupi permintaan atau menolaknya?
Terkadang menolak dan sikap bodo amat terhadap acara ini bisa menjadi sebuah keputusan yang berani. Namun kadang saya melihat seorang pria yang benar-benar kesulitan mengambil keputusan, namun akhirnya dia berani melanjutkan peran. Secara tidak langsung, dia mengorbankan dirinya sendiri untuk karya saya.

Apa kamu pernah ketakutan atau merasa tidak nyaman di panggung?
Semakin sering saya di panggung, semakin saya merasa punya kendali. Memang saya pernah juga merasa tidak nyaman. Saya bahkan pernah mulai menangis setelah dipukul dengan keras oleh salah satu tamu. Ini reaksi fisik normal. Yang lebih penting adalah intensinya: terkadang saya bisa merasakan ketika seorang pria menikmati memukuli saya.

Brutal juga ya.
Kalau masa kecil kamu habiskan bermain pistol mainan, video game dan menonton film penuh kekerasan, mungkin memang kamu sebenarnya ingin merasakan beraksi seperti karakter yang kamu tonton. Terkadang di panggung saya mendapati seorang pria yang menganggap bahwa kekerasan adalah bagian dari maskulinitas dan bagi mereka sangat mudah melakukan hal-hal seperti ini.

Di karya kamu yang terakhir Pretty/Ugly kamu menciptakan seorang karakter remaja dan mengundah video meminta publik untuk memberi skor atas kecantikanmu. Seperti apa rasanya?
Jelas sangat tidak enak. Saya mengalami pelecehan seksual yang keji dan serbuan pesan-pesan pribadi dari pria-pria hidung belang yang manipulatif. Ini bukanlah hal yang baru bagi banyak perempuan remaja berumur delapan hingga 13 tahun.

Saya merasa bahwa kaum remaja semakin sering diminta 'bermain peran': ada semacam ide neoliberal yang aneh tentang mem-branding diri kita sendiri, bahwa kita harus selalu mengubah kepribadian online kita. Tuntutan sosial itu adalah bentuk suatu performance yang adiktif.

Menurutmu, apakah ini hanya salah satu bentuk kepanikan moral yang dialami orangtua biarpun sebetulnya anak-anak remaja mereka tidak apa-apa?
Kamu benar sekali. Setiap generasi orang tua selalu mengalami semacam kekhawatiran kuno terhadap anak remaja mereka. Namun perlu juga diingat bahwa kultur digital yang kita alami berkembang jauh lebih cepat dibanding pemahaman orangtua. Saya tidak berusaha memulai kepanikan moral—lalu menyerukan agar akses internet dilarang—tapi orangtua perlu diedukasi tentang apa yang sedang terjadi. Sebaliknya, anak-anak remaja perlu diedukasi tentang bagaimana cara menampilkan diri mereka di dunia maya.

Pertunjukkan A Girl and a Gun dan Pretty/Ugly sedang dalam tur hingga 15 Desember. Untuk info lebih lanjut, kunjungi situs resmi Louise.