Dua tahun terakhir, Facebook berupaya keras meyakinkan kita semua untuk mempercayakan data pribadi pengguna pada mereka. Masalahnya raksasa medsos ini terbukti gagal melakukannya, lantas didenda US$5 miliar (setara Rp70,5 triliun) oleh Komisi Perlindungan Konsumen Amerika Serikat.
Langkah masuk akal apa yang dilakukan perusahaan setelah kena masalah serius macam itu? Menurut petinggi Facebook kayaknya lebih baik sekalian melakukan pengembangan produk berisiko yang nyerempet pelanggaran sebelumnya. Jangan kaget bila mendengar Facebook ingin mengakses gelombang otak pengguna.
Videos by VICE
Pekan ini, Facebook mengumumkan rencana menciptakan headset yang dapat memantau, membaca, dan menerjemahkan gelombang otakmu. Teknologi ini memungkinkan pengguna mengetik melalui pikiran mereka.
Setelah pertama kali diumumkan dua tahun lalu, proyek ini dijalankan Facebook Reality Labs, bekerjasama dengan ilmuwan di University of California San Francisco. Ilmuwan anggota tim ini melakukan eksperimen menggunakan sinyal elektroda yang dipasang ke otak pasien-pasien epilepsi.
Dengan memantau dan merekam sinyal yang dihasilkan rangkaian pertanyaan pilihan ganda, sistemnya berhasil memprediksi jawaban benar dengan akurasi 76 persen.
Meski teknologinya belum mencapai tujuan awal Facebook untuk menciptakan “perangkat non-invasif” yang sanggup memproses 100 kata per menit lewat gelombang otak, penemuan ilmuwan yang didanai Facebook ini sangat signifikan. Para ilmuwan mengatakan sistem ini dapat membantu orang bisu agar mereka bisa berinteraksi secara lebih lancar.
Namun, Facebook juga mengklaim sistem ini dapat digunakan memperbaiki headset-headset augmented dan virtual reality — seperti yang diciptakan anak perusahaan Facebook, Oculus — yang memungkinkan pengguna melakukan aksi “ select” dan “ delete” hanya menggunakan pikiran mereka.
Mengingat keterkaitan augmented reality dengan isu data pribadi, hasil penelitian ini berpotensi melanggar hak pengguna atas privasinya.
“Segala bentuk teknologi yang terhubung dengan tubuh kita harus memenuhi syarat etika, privasi, dan keamanan tertinggi,” kata Frederike Kaltheuner, yang menangani eksploitasi korporat di Privacy International, saat dimintai komentar oleh VICE News. “Mengumpulkan data dari aktivitas otak dapat dimanfaatkan untuk membuat kesimpulan olah data tentang proses-proses mental—sadar baik tidak.”
Selama 18 bulan terakhir, Facebook terlibat dalam berbagai skandal privasi. Pada Maret 2018 skandal Cambridge Analytica terungkap. Facebook ternyata mengizinkan pengelola aplikasi pihak ketiga menggali data penggunanya tanpa izin. Data tersebut lalu dimanfaatkan kampanye-kampanye penuh kebencian agar masyarakat mendukung Trump dan Brexit—serta berbagai agenda sayap kanan lainnya. Meskipun pendiri Facebook Mark Zuckerberg terus berjanji akan melindungi privasi pengguna, berbagai masalah muncul silih berganti.
“Arah pengembangan teknologi yang dilakukan Facebook memunculkan risiko bagi banyak orang, sebab data gelombang otak dapat digunakan lebih efektif mempengaruhi, memanipulasi, dan mengeksploitasi penggunanya,” kata Kaltheuner. “Siapa yang nantinya dapat mengakses data ini? Apakah data ini dibagi dengan pihak ketiga? Kita sebagai pengguna harus bisa mengendalikan data tersebut. Sayangnya hal ideal tadi jauh dari kenyataannya di negara-negara yang tidak memiliki kebijakan perlindungan privasi. Kita tidak bisa mempercayai satu perusahaan dengan rekam jejak buruk seperti Facebook meregulasi dirinya sendiri.”
Facebook menyertakan potensi pelanggaran etis dari teknologi baru itu di postingan blognya. “Desain neuro-etika adalah bagian penting dari program kami. Karenanya kami ingin bersikap transparan terkait apa yang kami kerjakan agar kami bisa mendengarkan keprihatinan kalian mengenai teknologi ini,” kata Mark Chevillet, direktur rancangan antarmuka otak-komputer (BCI) di Facebook Reality Labs. Facebook juga berjanji penelitian soal headset tersebut akan dipantau dewan etika agar tidak ada pelanggaran terhadap pengguna.
Para ilmuwan di Facebook mengatakan teknologi headset otak masih berada di tahap-tahap awal. Tetapi dalam sebuah postingan blog, Facebook mengaku berencana merilis purwarupa perangkat ini akhir 2019. Belum jelas apakah prototipe tersebut sudah sanggup mengukur aktivitas otak secara sederhana.
“Bagi saya, otak adalah tempat aman untuk berpikir secara bebas, untuk berfantasi, juga untuk menyatakan perbedaan pendapat,” kata Nita Farahany selaku guru besar di Duke University yang berfokus pada etika kajian neurologi. “Dengan adanya teknologi Facebook terbaru, kita sampai di batas akhir privasi, di mana sama sekali tidak terdapat perlindungan terhadap kebebasan berpikir manusia.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE News