Pandemi Covid-19 tak hanya menyerang fisik manusia, tetapi juga lingkungan di sekitarnya. Meski memperbaiki kualitas udara, aturan PSBB dan social distancing membuat sampah plastik sekali pakai membludak. Dan belum lama ini, ada penemuan yang lebih mengerikan lagi seputar plastik.
Penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Science menunjukkan 11 kawasan perlindungan di Amerika Serikat dihujani lebih dari 1.000 metrik ton mikroplastik—setara 120 juta botol plastik—setiap tahunnya. Sudah diketahui sebelumnya bahwa mikroplastik dihembuskan ke daerah yang masih asri, seperti Kutub Utara dan Pirenia Prancis. Namun, studi ini mengungkapkan “hujan plastik” juga membasahi wilayah American West dan negara-negara lainnya.
Videos by VICE
“Mikroplastik telah menyentuh segala sisi permukaan Bumi,” ujar Janice Brahney, peneliti utama dari Utah State University. “Benar-benar mengerikan.”
Janice awalnya ingin mempelajari cara debu mengangkut nutrisi, tetapi berubah pikiran setelah melihat serat dan manik-manik warna-warni yang menyangkut di debu. Dia akhirnya meneliti transmisi mikroplastik.
Sampah plastik yang terurai menjadi partikel-partikel kecil dapat beterbangan di atmosfer. Janice dan rekan ilmuwannya mengumpulkan sampel dalam dua ember 13,2 liter yang dilengkapi tutup pemicu sensor.
Mereka lalu memisahkannya menjadi plastik basah dan kering tergantung media transmisinya. Setelah selesai, mereka menghitung partikel plastik dengan tangan di bawah mikroskop. Isyarat visual seperti warna cerah dan tekstur tidak biasa—karakteristik plastik—akan membedakan mana yang plastik dan mana yang debu.
Sampel partikel dan fiber tersebut berasal dari berbagai benda, seperti cat, produk kosmetik dan karpet. Serat mikro pakaian—yang bisa lepas ketika dicuci, dijemur dan dikenakan—mendominasi jumlahnya. Tim Janice menemukan mikroplastik basah kemungkinan besar berasal dari kota-kota besar. Sementara itu, mikroplastik kering bisa terseret jauh sekali, bahkan tak jarang melintasi benua.
Sejak ditemukan pertama kali pada 1970-an, mikroplastik berukuran sebutir beras atau bahkan lebih kecil dari partikel debu. Berhubung tidak dapat terurai secara alami, sampah plastik berakhir menggunung di TPA dan berubah menjadi partikel-partikel mikro. Setelah itu, mikroplastik mencemari atmosfer, tanah, dan sistem perairan di Bumi. Mikroplastik ditemukan di mana saja, mulai dari daerah perkotaan hingga kawasan pegunungan terpencil. Sudah dari dulu diasumsikan mikroplastik bisa sampai ke sana karena terseret angin, tapi penelitian Janice menjadi yang pertama menyelidiki kemungkinannya.
“Kami sangat tidak menyangka plastik yang berubah menjadi partikel-partikel kecil bisa menyebar lewat angin,” Janice memberi tahu The Guardian. “Kita melewatkannya.”
Efek mikroplastik bagi tubuh manusia memang belum diketahui pasti, tapi para ilmuwan telah memperingatkan akan potensi bahayanya. Penelitian terbitan 2019 menyimpulkan rata-rata orang menghirup hingga 11 mikroplastik per jam. Karena ukurannya yang sangat kecil, mikroplastik dapat mengendap di jaringan paru-paru dan menyebabkan penyakit seperti asma atau kanker.
“Penelitian kami baru mulai mengungkapkan apa yang sebenarnya ada di atmosfer, dan bagaimana proses pengangkutannya,” tutur Janice.
Follow Satviki di Instagram.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE India