Fashion Adalah Industri Paling Banyak Menghasilkan Polusi di Dunia

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Arena fashion week sudah kosong sejak sekian bulan lalu. Para peragawati yang tampil mungkin sedang melakoni proyek lain sembari menantikan peragaan busana musim berikutnya. Tapi, keriuhan catwalk masih terus disalurkan kepada calon pembeli di seluruh dunia oleh industri fast fashion. Itu sebutan untuk gerai ritel fesyen yang mengambil inspirasi dari busana yang ramai di fashion week ternama dunia, lalu dimodifikasi agar lebih murah dan segera bisa dikenakan oleh konsumen dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Zara, H&M, atau Topshop adalah beberapa gerai fast-fashion yang sekarang sedang ngetren di mal-mal Tanah Air. Tapi, yang tak banyak diketahui konsumen, fast-fashion adalah motor utama yang mendorong industri fesyen menjadi salah satu penyumbang polusi terbesar sedunia. Bayangkan saja coat, kemeja, celana imut, hingga jaket bomber keren yang kalian beli itu skala polusinya tak kalah industri batu bara, baja, migas, ataupun petrokimia.

Videos by VICE

Bahkan, jika mengacu pada penelitian terbaru, industri fesyen menghasilkan emisi gas lebih merusak dibanding gabungan industri pelayaran dan penerbangan. Jumlah limbah dari aktivitas pembuatan baju, celana, hingga sepatu di seluruh dunia semakin meningkat, seiring dengan makin banyaknya juga air bersih terbuang demi mengikuti tren fesyen.

Sejak tahun 2000 hingga sekarang, data produksi busana sedunia tercatat meningkat dua kali lipat. Rata-rata konsumen membeli baju, celana, atau jaket lebih banyak 60 persen tiap tahun dibanding pada tahun-tahun awal Abad 21. Busana-busana itu sebagian besar tidak terlalu lama disimpan lama di lemari, beda dari perilaku konsumen 15 tahun lalu. Di negara-negara maju, bahkan sudah biasa jika baju bekas akhirnya menumpuk di tempat pembuangan sampah.

Produsen 50 persen produk tekstil dunia adalah Cina. Negara Tirai Bambu itu akhirnya harus menghadapi persoalan polusi massif dari industri fesyen. Cina pula yang paling banyak menampung daur ulang produk pakaian bekas dari seluruh dunia untuk diubah lagi menjadi benang. Namun pemerintah Cina, atas motif proteksi perdagangan, baru saja menetapkan larangan impor 24 bahan baku industri, termasuk baju bekas untuk daur ulang benang. Kondisi itu akan berpengaruh pada tingkat polusi sejagat.

Nate Herman, Wakil Ketua Asosiasi Industri Busana dan Sepatu Amerika Serikat, mengakui tingkat polusi bisnis fesyen terus meningkat ke level yang lebih buruk dibanding satu dekade lalu. “Apalagi setelah Cina tidak lagi menampung daur ulang baju bekas, maka dampaknya industri ini akan sulit mempertahankan pola bisnis berkelanjutan,” kata Herman saat dihubungi VICE News.

Daur ulang baju bekas sayangnya bukan solusi jitu. Pakaian manusia di masa sekarang lebih banyak yang berasal dari material sintetis, bukan benang. Artinya, akan lebih murah memproduksi baju baru daripada mendaur ulang benangnya dari baju bekas.

Ellen MacArthur, peneliti yang fokus mempelajari polusi industri fesyen, memperkirakan limbah bisnis busana sedunia bernilai US$500 miliar per tahun. Dia mengusulkan berbagai bauran kebijakan ramah lingkungan, selain daur ulang, untuk menjamin industri fesyen tak lagi merusak planet bumi. Sejauh ini, perusahaan seperti H&M dan Nike sudah bersedia mengadopsi usulan Ellen. Namun masih banyak juga pengusaha tekstil yang tidak menunjukkan itikad berubah.