Dugaan kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta kembali terkuak ke publik berkat unggahan Instagram Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) UGM, pada Sabtu (8/10) pekan lalu. Dalam unggahan pernyataan sikap itu, Komahi menyebut pelaku adalah mahasiswa Departemen Hubungan Internasional dan anggota Komahi.
“Benar bahwa kami telah menerima laporan kekerasan seksual secara kolektif dan berturut-turut pada 26 September 2022 dan 5 Oktober 2022,” demikian kutipan dari rilis Komahi.
Videos by VICE
Pelaku kini sudah dicabut keanggotaannya dari Komahi. Organisasi ini juga telah melalor ke Dekanat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Saat ini kasus ditangani oleh Fisipol Crisis Center (FCC). Menurut perwakilan FCC, jumlah korban lebih dari satu.
”[Kekerasan seksual yang dilaporkan] ini dalam kategori pelecehan seksual, unwanted touch, juga sexting,” ujar Kepala Divisi Penanganan dan Pelaporan FCC Arie Eka Junia, Senin (10/10), dilansir Jawa Pos. Arie menyebut kekerasan seksual antar-mahasiswa Fisipol ini dilaporkan ke FCC sejak pekan lalu.
Kasus ini menjadi obrolan panas mahasiswa UGM di media sosial. Pelaku diduga kuat adalah mahasiswa angkatan 2022 yang cukup dikenal sebagai mahasiswa teladan. Yang menarik, obrolan ini diselipi imbauan (diduga) dari sesama mahasiswa, agar tidak mengunggah foto pelaku dan membicarakan kronologi karena dikhawatirkan akan terlihat oleh korban lalu memicu trauma. Apresiasi buat anak-anak muda yang sadar cara menempatkan kasus kekerasan seksual kayak gini!
Hal lain yang patut disorot, Fisipol UGM adalah salah satu dari sedikit tempat di perguruan tinggi Indonesia yang punya panduan pelaporan, penanganan, dan pencegahan kekerasan seksual oleh dan/atau terhadap warga kampus. Buku panduan itu bisa dibaca di sini, dan terakhir diperbarui pada Desember 2019. Isinya jelas, dilengkapi keterangan prosedur yang praktis, dan berpusat pada kebutuhan korban.
Contoh SOP yang berpusat pada korban dalam panduan ini: pelapor bisa meminta agar kasusnya ditangani sesuai kebutuhan pelapor. Misalnya, pelapor boleh saja hanya bermaksud mengakses layanan pendampingan (seperti, konseling). Bisa juga pelapor menuntut penyelesaian kasusnya, yang mana FCC menyediakan dua jalur, yakni penyelesaian etik dan penyelesaian hukum.
FCC dan panduan ini sendiri dirilis UGM pada 3 Februari 2020. Artinya, ia lahir lebih dulu daripada Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jika kamu lupa, salah satu tujuan permendikbud ini ialah menjadi pedoman bagi kampus saat menyusun kebijakan anti-kekerasan seksual.
Tampaknya, kehadiran FCC tak lepas dari kasus kekerasan seksual antara sesama mahasiswa Fisipol UGM yang mencuat 2018 silam. Kasus ini memicu demonstrasi besar-besaran di kalangan mahasiswa UGM yang menjulangkan tagar #kitaAGNI.
Kasus pemerkosaan mahasiswa dengan nama samaran Agni itu diangkat pertama kali oleh Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM. Agni, mahasiswi Fisipol angkatan 2014, diperkosa oleh teman satu timnya, seorang mahasiswa Fakultas Teknik UGM berinisial HS, saat menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada Agustus 2017.
Sebelum diberitakan Balairung, kasus ini sudah menjadi gosip di antara mahasiswa. Dirilisnya kisah Agni mengundang kemarahan mahasiswa. Pasalnya, meski sudah melapor ke kampus, nasib Agni justru terkatung-katung. Lebih dari itu, kampus justru cenderung melindungi pelaku dan menyalahkan korban.
Sontak kisah Agni di Balairung viral sampai-sampai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) saat itu, Yohana Susana Yembise, berjanji akan mengawal pengusutannya. VICE sempat mewawancarai tim Balairung tentang kisah di balik investigasi Agni, yang bisa dibaca di sini.
Tapi usai demonstrasi yang dipicu kisah Agni, tak serta-merta UGM merilis panduan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban. Jalan berliku dihadapi mahasiswa kampus ini hingga akhirnya lembaga seperti FCC beserta panduan kerja mereka bisa lahir.