Artikel ini pertama kali tayang di VICE News
Filipina adalah negara terakhir di dunia—selain Vatikan, negara-kota yang menjadi pusat operasional Geraja Katolik—yang masih melarang perceraian secara legal. Sekelompok anggota parlemen berjuang mengubah aturan hukum diskriminatif tersebut. Elemen masyarakat paling dirugikan selama ini adalah mereka yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau yang memang sudah tak bahagia. Perempuan seperti itu tidak punya akses untuk bercerai secara legal dan mengakhiri nasib nestapa akibat tekanan ganda aturan pemerintah dan tabu sosial.
Videos by VICE
Sejak awal bulan ini, Senat Filipina sudah kembali aktif dari masa reses. Salah satu undang-undang terpenting dalam sejarah negara tersebut sedang memasuki finalisasi dan akan disahkan. Yaitu undang-undang yang mengizinkan warga bercerai dan diakui negara. Dewan Perwakilan Rakyat Filipina sudah mengesahkan rancangan beleid ini sejak Maret lalu. Bola tinggal di tangan Senat (Filipina menganut sistem bikameral di parlemennya) untuk menetapkannya sebagai undang-undang resmi.
Kendati demikian, kalangan progresif yang sejak lama mengkritik aturan kaku itu tak terlalu optimis. Pasalnya, masyarakat Filipina sampai sekarang masih terbelah. Berdasarkan jajak pendapat yang digelar Maret 2018, sebanyak 53 persen rakyat Filipina mendukung legalisasi perceraian, sementara 32 persen menolak perubahan hukum, dan 15 persen masih belum menentukan sikap. Artinya, suara kalangan konservatif di negara mayoritas Katolik itu masih cukup kuat untuk menekan Senat menunda atau bahkan sekalian menolak RUU pernikahan yang baru.
Selain itu, ada dua kekuatan politik besar yang mengancam lolosnya beleid legalisasi perceraian: Presiden Rodrigo Duterte dan Institusi Gereja Katolik.
Sejauh ini, Duterte selalu berusaha menghindar tiap ditanya wartawan mengenai sikapnya soal perceraian. Melalui juru bicara, Duterte mengaku menolak perceraian. Padahal dia sendiri sudah berpisah dari sang istri bertahun-tahun lalu. Duterte berusaha abu-abu, karena kalangan konservatif adalah loyalisnya pada pemilu lalu. Sementara Gereja Katolik, selaku otoritas moral yang membuat Filipina mengadopsi larangan cerai, sejak awal mendorong semua pihak untuk menolak beleid tersebut.
Pia Cayetano, anggota Senat yang ikut merumuskan RUU pernikahan ini, mengatakan pengaruh gereja yang sedemikian besar adalah alasan banyak pihak sampai sekarang kesulitan mendapat restu negara untuk bercerai. Dia khawatir akan ada kampanye lewat jalur khotbah agama secara besar-besaran untuk menekan agenda progresif.
”Apakah Filipina mempertahankan tradisi kolot, atau karena kita yakin terus berpegang pada kebenaran?”
Cayetano tahu betul apa yang dialami politikus maupun aktivis yang berusaha melawan tabu ajaran konservatif gereja di masa lalu. Dia sudah merasakannya sendiri pada 2012, setelah disebut media sebagai pendukung lolosnya UU soal pembagian alat kontrasepsi. “Nama saya sering disebut dalam khotbah-khotbah di gereja, saya disebut para romo sebagai utusan Iblis,” ujarnya. “Saya mengakui, negara ini memang mayoritas Katolik. Jadi banyak politikus, terlebih legislator, yang masih memikirkan pandangan gereja terhadap naskah undang-undang yang kami buat.”
Di Filipina, karena tak ada perceraian, yang bisa ditempuh warga hanya pembatalan pernikahan. Masalahnya pembatalan status kawin hampir mustahil dikabulkan pengadilan. Sebuah pernikahan dinyatakan batal bila ditemukan ketidakmampuan psikologis oleh salah satu pasangan. Musabab lain yang menyebabkan pembatalan pernikahan lainnya sangat spesifik seperti penyakit menular seksual yang berbahaya, atau terjadinya pernikahan paksa. Rumah tangga yang tak bahagia, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga tak bisa dijadikan alasan pasangan bercerai.
Lebih dari 80 persen penduduk Filipina menganut Katolik Roma. Tak hanya itu, gereja yang menginduk pada Tahta Suci Vatikan itu memiliki pengaruh luar biasa besar baik di kota maupun pedesaan. Banyak rakyat miskin Filipina mengandalkan lembaga gereja Katolik untuk mengakses pendidikan maupun layanan sosial lain.
Uskup Broderick Pabillo termasuk yang menolak keras legalisasi perceraian. Dia mengatakan Filipina berhak mempertahankan aturan itu, karena keutuhan keluarga adalah nilai yang diyakini bangsa Filipina sejak dulu. Bagaimana jika terjadi KDRT? Pabillo yakin semua bisa ditangani lewat konseling gereja. Dia mendorong pasangan suami-istri yang menghadapi problem rumah tangga untuk meminta bantuan siapapun mempertahankan pernikahannya.
Pokoknya, perceraian itu opsi terakhir dan sebisa mungkin dihindari. Kalaupun memang akhirnya mereka bercerai, maka pernikahan kelabu itu harus jadi pengalaman satu-satunya sepanjang si lelaki atau perempuan dalam hidup.
“Benarkah bangsa ini ketinggalan zaman? Apakah Filipina mempertahankan tradisi kolot, atau karena kita yakin sedang berpegang pada kebenaran?” kata Pabillo saat dihubungi VICE News. “Okelah, anda bisa meninggalkan pasangan secara legal di masa mendatang. Tapi syaratnya ya jangan menikah lagi. Anda sudah berjanji hanya akan dipisahkan oleh maut dari pasangan.”
Simak dokumenter VICE News Tonight tentang upaya sebagian anggota parlemen Filipina merevisi aturan perceraian di tautan berikut: