Pada 2013, seorang ibu di Taiwan dikabarkan membunuh putranya di bawah pengaruh aliran kepercayaan Riyue Minggong. Perempuan itu awalnya bersikeras bertanggung jawab penuh atas kematian anaknya yang berusia 18. Namun, usut punya usut, anggota sekte — sang ibu merupakan salah satunya — ikut andil dalam kasus tersebut.
Setelah tragedi mengenaskan ini, kakak korban Chen-yun memilih pulang ke kampung halamannya di Changhua sejak merantau ke Taipei lima tahun sebelumnya.
Videos by VICE
Dalam dokumenter The Reason Why I Am Home yang rilis pada 2019, penonton menyaksikan perjuangan Chen-yun menerima kematian adiknya dan menavigasi hubungan yang rumit dengan ibu, yang merupakan pelaku pembunuhan dan korban sekte sesat. Filmnya sengaja tidak menampilkan detail peristiwa, dan lebih menitikberatkan pada dilema emosional yang dihadapi Chen-yun ketika kembali ke rumah ibu.
“Orang lebih tertarik dengan alasan ibu membunuh anaknya dan kronologi kejadiannya,” ujar sutradara Chang Ming-yu dalam sebuah wawancara pada April. “The Reason Why I Am Home tidak menceritakan kasusnya, melainkan fokus pada orang-orang yang menangani dampaknya. Sudut pandang ini lebih berharga bagi saya, karena kita masih sangat jarang melihat orang meneruskan hidup mereka setelah terjadi peristiwa seperti itu.”
“Kehidupan mereka jauh lebih penting daripada tragedi kematian,” imbuhnya. “Kisah hidup kakaknya tidak boleh dikurangi menjadi sebatas kasus kematian [saudaranya].”
Chen-yun tak pernah menyerah untuk terus menjalani hidup, meski banyak cobaan datang menghadang.
Matanya berkaca-kaca ketika mengelilingi rumah masa kecilnya, membayangkan kehidupan yang dijalani ibu dan mendiang adiknya di sana.
“Furniturnya masih sama ketika saya pergi lima tahun lalu,” katanya seraya berlinang air mata. “Saya bisa membayangkan seperti apa kehidupan ibu dan adik selama lima tahun terakhir. Saya sedih memikirkannya.”
Sebagai sahabat Chen-yun, Chang menemaninya pulang ke rumah ibu untuk menyelidiki penyebab kematian sang adik.
“Awalnya tidak ada niatan bikin film. Saya hanya ingin menemaninya,” tutur sutradara. Dia berpikir, akan lebih baik jika Chen-yun pergi bersama orang yang bisa dia percaya.
Dalam film, Chen-yun dan ibunya tampak berurusan dengan akibat dari kematian tragis yang sempat menjadi berita sensasional. Dia tidak pernah menerima permohonan maaf dari anggota sekte, bahkan setelah dia bersikeras melakukan tes forensik yang mengungkapkan penyebab kematian adiknya. Walaupun begitu, dia tetap berusaha menerima kenyataan dan memperbaiki hubungan dengan ibu yang sudah lama tidak dia temui.
Ketika ditanya apa yang membuat proses pasca-produksinya berlangsung empat tahun, Chang mengaku ada alasan emosional yang menghambatnya. Kedekatannya dengan Chen-yun dan masalahnya yang serius membuat Chang kesulitan meneruskan proses produksi. Dia tidak bisa tidur dan cemas karena terus memikirkannya.
“Pada usia 23, dia menyaksikan kehilangan dan lahirnya kehidupan baru,” ujarnya merujuk pada kehamilan Chen-yun. “Saya berada di sampingnya ketika dia melalui banyak hal dalam hidupnya, tapi tak semua terekam kamera. Bagaimana caranya supaya saya bisa menjadikannya film yang adil bagi saya dan dirinya? Saya menghindari kenyataan sedang memproduksi film ini selama empat tahun.”
Bagi Chang, perjalanan ke kampung halaman temannya memberikan wawasan mendalam tentang tokoh-tokoh kontroversial di balik kasus tersebut.
“Saya sempat takut mendekati ibunya karena media menggambarkan dia sebagai sosok yang mengerikan. Tapi setelah mengamatinya lebih dalam, saya baru sadar ternyata tidak hitam-putih seperti itu.”
Chang yakin kasus semacam ini akan terus terjadi.
“Orang akan tetap rapuh secara mental bahkan ketika masyarakat sudah berkembang sekali pun,” begitu pendapatnya tentang “kehampaan spiritual” yang mungkin dipenuhi indoktrinasi berbahaya.
Chen-yun menikah dan dikaruniai anak setelah empat bulan pulang ke rumah. Ibu tidak pernah meninggalkan sisinya ketika dia menahan rasa sakit selama persalinan. Dari situlah, mereka mendapatkan perspektif baru tentang hubungan mereka.
Sementara ibunya membantu Chen-yun mengurus bayi dan pekerjaan rumah karena tidak ada suami, Chen-yun belajar untuk bersimpati dengan ibunya yang kurang mendapat kasih sayang suami. Film dokumenter itu berakhir pedih, di mana mereka mencari penghiburan satu sama lain sembari melupakan penderitaan akibat tragedi tersebut.
The Reason Why I Am Home meraih juara runner-up pertama dalam kategori dokumenter Tiongkok pada Festival Dokumenter Internasional Hong Kong 2019.