Mungkin kamu pernah keluar malam dengan teman-teman, mabuk total, tiba-tiba ide brilian muncul dalam otakmu. Namun kamu sadar idenya ngawur, kemudian kamu lupakan selamanya.
Nah itu bedanya kamu dengan Sebastian Stein. Sutradara film tersebut menggunakan ide gilanya yang muncul ketika sedang mabuk kemudian merealisasikannya menjadi sebuah film layar lebar.
Videos by VICE
Stein adalah seorang produser kelahiran Jerman yang tinggal di Jepang. Dia juga memerankan Hitler dalam filmnya yang diberi judul African Kung Fu Nazis. Entah kebetulan atau memang karena kemampuannya, Sebastian berhasil menciptakan sebuah tontonan yang gak jelek-jelek amat, dan justru menghibur. Tolong diperhatikan bahwa kata sifat “gak jelek-jelek amat” dan “menghibur” di sini berbeda standarnya dengan film Hollywood yang biasa kamu tonton.
Stein bekerja sama dengan sutradara blockbuster asal Ghana, Samuel K.Nkansah alias Ninja-Man dan produser berumur 23 tahun, Danny Boy alias Producer-Man untuk menghibur penonton lewat sebuah kisah hipotetis tentang apa yang akan terjadi apabila Adolf Hitler dan Hideki Tojo berhasil kabur dari incaran tentara sekutu dan memulai basis operasi baru di Ghana.
Film ini sepenuhnya menggunakan aktor Ghana dan Nigeria dengan perkecualian Hitler yang dimainkan oleh Stein dan Tojo yang diperankan oleh teman baik dan kolaborator Stein, Yoshito Akimoto.
VICE ngobrol dengan Stein tentang filmnya dan bagaimana ide gila itu muncul dalam kepalanya.
VICE: Kamu jelas punya keyakinan besar tentang projek ini, bahwa kisah ini harus diceritakan. Datangnya dari mana sih?
Sebastian Stein: Saking gilanya ide film ini, saya merasa ini harus dilakukan. Memang, idenya muncul ketika saya agak mabuk. Saya sedang membayangkan Afrika, Kung Fu, dan Nazi kemudian menggabungkan semuanya dan mulai tertawa. “Keren banget kalau ini kejadian beneran, kita bisa bikin filmnya kayak gini dan ceritanya kayak gitu.” Tapi ya saya juga tidak menyangka ide ini akan benar-benar direalisasikan. Saya tidak kenal siapa-siapa di Afrika, jadi saya harus benar-benar mulai dari nol. Entah kenapa, saya tidak pernah menyerah dan menyelesaikan naskahnya. Saya pernah ragu akan ide saya sendiri, tapi yang ini memang agak gila.
Pernah kah selama proses produksi, kamu kepikiran kalau film ini ide yang buruk?
Hampir setiap langkah kepikiran seperti itu, jujur. Ketika saya pertama kali mengontak produser dan sutradaranya, saya pikir mereka akan menjawab, “Apa-apaan nih, kenapa bikin naskah sampah gini,” tapi malah mereka menjawab, “Wah naskahnya bagus, pasti bakal menang penghargaan di Ghana.” Di saat itulah saya tahu saya harus membuat film ini. Isu lainnya adalah budget. Mereka mengatakan saya harus mengirim biaya total $10.000, dan biasanya tidak seperti itu prosesnya. Biasanya, kamu bayar setelah produksi selesai, tapi Producer-Man menyuruh saya membayar di muka, jadi akhirnya saya menyerah.
Saya tahu itu mungkin keputusan yang buruk, dan ada kemungkinan duit saya akan raib. Tapi mereka membuktikan saya salah dan benar-benar mengurus semuanya. Tapi, tetap saja setiap langkah mulai dari produksi hingga post-produksi digerayangi masalah. Banyak orang tidak hadir karena mereka marah perihal hotelnya, atau aktor lainnya. Mobil-mobil kami mogok terus. Pernah, pemilik salah satu lokasi syuting kami mengira kami melakukan upacara voodoo karena adanya bendera, prop, dan kostum yang digunakan dan mengusir kami. Kami seharusnya menayangkan African Kung Fu Nazi pada 2018, tapi akibat semua masalah ini, dan lamanya Ninja Man menyunting film, akhirnya film ini tertunda selama setahun. Ujung-ujungnya, saya harus menyelesaikan editannya sendiri.
Kami sadar ini film satir, tapi dalam era “woke shaming” dan “cancel culture”, apakah menurutmu orang-orang akan marah soal filmmu? Atau menurutmu banyak orang akan paham bahwa ini bukan film serius?
Saya rasa semua orang yang menonton film atau dokumenternya akan langsung sadar bahwa ini bukan film serius. Saya menunjukkan film ini ke tante saya yang Yahudi, dan dia menyukainya. Semua orang di Ghana menyukainya. Saya berasal dari Jerman dan ketika masih kecil, orang tua dan guru terus mengingatkan kami untuk tidak bergurau soal Hitler dan Nazi, bahwa ini adalah sebuah topik yang tabu. Di sisi lain, orang-orang Inggris justru hobi bergurau soal Nazi! Mereka membuat film yang mengolok-olok Hitler dan menurut saya itu lucu.
Buatku, itulah respons yang pas untuk menghadapi isu ini. Sesuatu yang dijadikan tabu dan misterius menjadi memiliki semacam kekuatan. Apabila ini kamu ejek-ejek, kekuatan itu hilang. Apalagi kalau kamu menggunakan orang-orang Afrika mengenakan swastika dan “whiteface”, semua kekuatan simbol-simbol itu hilang, karena kami merusak semua makna simbol tersebut. Kami menertawakannya dan menggunakan simbol-simbol tersebut secara berlawanan dari yang dimaksud.
Apakah sempat ada keraguan perihal siapa yang harus memerankan Hitler dan Tojo? Atau memang kamu selalu ingin memerankan seorang pemimpin yang fasis?
Maaf ya, tapi tidak ada pilihan lain selain saya. Ketika masih kecil, negara selalu menunjukkan dokumenter Perang Dunia II, hampir setiap hari, untuk mengingatkan kami betapa buruknya dosa-dosa negara kami. Saya ingat pertama kali melihat Hitler dan berpikir, “Dia seorang komedian, kok bisa sih orang-orang menganggap dia serius?” Saya selalu mengolok-olok Hitler, tapi orang-orang di sekitar saya selalu mengingatkan saya untuk tidak melakukannya. Saya merasa mengolok beliau adalah cara terbaik untuk melawan nilai-nilai dia. Saya dulu sering berpikir bahwa siapapun yang menganggap Hitler serius pasti otaknya enggak beres.
Perang Dunia II, Hitler, Nazi, whiteface. Ini semua topik yang berat. Apakah kamu pernah khawatir akan salah langkah ketika menampilkan karakter-karakter bernuansa satir ini?
Saya rasa orang di Afrika melihat segala sesuatunya berbeda. Selama mereka paham ini satir, mereka tidak keberatan, bahkan mereka mulai ikut-ikutan mengolok-olok. Menurut saya, apa yang paling mereka suka, adalah ketika ada tim film luar datang ke Afrika untuk syuting, mereka hanya mempekerjakan orang Afrika lokal sebagai asisten dan semacamnya. Tapi bersama AKFN, kami menggunakan orang Afrika sebagai cast dan kru sepenuhnya, jadi ini seperti film Afrika sungguhan. Semua orang itu Afrika, mulai dari cast, hingga sutradara dan produser. Mereka tidak ingin diremehkan. Semua orang sama derajatnya. Justru, Ninja-Man yang sering menyuruh-nyuruh saya. Mereka benci bahwa media barat menampilkan Afrika sebagai tempat perang dan anak-anak kelaparan. Mereka senang bahwa projek seperti African Kung Fu Nazis datang. Mereka menggunakannya sebagai kesempatan untuk menunjukkan sisi baik Afrika dan kancah perfilmannya. Saya rasa semua orang menikmati itu dan saya berharap akan ada lanjutan dari film ini entah kapan.
Apa inspirasimu dan bagaimana mereka mempengaruhi pendekatanmu dalam membuat film ini?
Saya menaruh banyak elemen berbeda dalam projek ini. Ada The Great Dictator karya Charlie Chaplin, ‘Macho Man’ Randy Savage si pegulat pro, film-film Bud Spencer, Jackie Chan, semua saya aduk dan campur hingga menghasilkan African Kung Fu Nazi.
Kami suka soundtrack film ini, dan lagu temanya nyangkut di kepala saya. Siapa inspirasi musiknya?
Seluruh soundtrack film ini dibuat oleh Producer-Man dan Ninja-Man. Pemilihan cast juga diambil oleh mereka, musiknya dibikin oleh mereka, bahkan saya tidak tahu mereka bisa menciptakan musik sendiri. Liriknya pun mereka tulis sendiri, dan hasilnya luar biasa.
Apa satu pesan utama dari film ini yang kamu ingin orang pahami setelah menontonnya?
Saya ingin orang berpikir untuk dirinya sendiri, terutama mereka-mereka yang akan sewot setelah membaca judul filmnya. Tonton saja dan sadari bahwa film ini lebih dari sekedar judulnya, dan sebetulnya tidak ada hubungannya dengan rasialisme. Saya ingin mendukung para pembuat film Afrika yang selama ini kesulitan dan memberikan mereka perhatian. Semoga, kami bisa membuat lebih banyak projek dan orang lain akan pergi ke Afrika karena kamu bisa membuat film dengan murah di sana. Salut buat Danny Boy sang produser. Dia baru berumur 23 tahun tapi sudah jauh lebih lihai dibanding saya di umur yang sama. Kalau bukan karenanya, film ini tidak akan dibuat.
Kalau kamu mencari special effect yang canggih dan dialog emosional, film ini tidak punya semua itu, karena bukan itu yang dicari oleh para pembuat film ini. Apa yang ditawarkan oleh African Kung Fu Nazis adalah keberanian dan kekurangan penceritaan filmnya ditutup oleh adegan berantem yang keren dan koreografi yang canggih. Film ini menyenangkan apabila kamu tonton sebagai guyonan. FIlm ini tidak menganggap dirinya sebagai film serius, dan seharusnya kamu punya sikap yang sama.
African Kung Fu Nazis didistribusikan secara global oleh Busch Media Group, bersama dengan sebuah film dokumenter tentang proses produksi filmnya hingga ke Premiere. Kamu bisa temukan lebih banyak info soal film ini di Facebook, Instagram, dan Twitter.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.