Artikel ini pertama kali tayang di i-D Magazine.
September 2016, saya mengunjungi broadcast live acara interview Glenn O’Brien berjudul Tea at the Beatrice. Saat itu, subyek wawancaranya adalah Baz Luhrmann. O’Brien melempar sang sutradara pertanyaan yang sangat berkesan: “Bagaimana caranya sukses membuat perjanjian-perjanjian yang tidak masuk akal?” Biarpun semua film-film Luhrmann telah meraih keuntungan ratusan juta dollar, ada sesuatu yang ganjil di setiap karyanya. Produser eksekutif film pertamanya, Strictly Ballroom, meninggal mendadak dalam tahap produksi—membuat takdir film komedi romantis produksi 1992 itu sempat tidak jelas nasibnya (nantinya Luhrmann menerima telepon dari Cannes yang mengatakan dia memiliki satu hari saja untuk memutuskan apabila dia ingin film tersebut ditampilkan di premiere festival tahunan film Perancis tersebut). Di film Moulin Rouge! yang menggunakan set cabaret bohemian abad 19, Luhrmann berhasil mendapatkan hak kepemilikan atas lagu-lagu ikonik David Bowie, Dolly Parton dan Elton John dengan cara menelpon mereka secara pribadi.
Videos by VICE
Lantas, apa momen “paling luar biasa” Luhrmann—”kok film ini bisa dibikin sih?” Sudah pasti Romeo + Juliet: Film blockbuster berdurasi dua jam, penuh dengan action, dan penuh dengan dialog bahasa Inggris gaya kuno (Victorian). Film yang dirilis tahun 1996 ini menjadi sensasi dan sukses membawa Shakespeare ke generasi MTV, menghasilkan pendapatan kotor Rp1,96 trilliun dari seluruh dunia. Soundtrack film ini diisi oleh Radiohead dan Garbage dan menampilkan para pemeran dalam gaun Victorian yang dibuat oleh Prada dan Dolce and Gabbana.
Sudah banyak versi adaptasi populer tentang kisah cinta pasangan yang kurang beruntung, mulai dari West Side Story hingga High School Musical. Namun mereka biasanya kehilangan elemen ‘klasik’ nya. Luhrmann, yang mengembangkan gaya penceritaan yang mewah nan dramatis hasil pengalaman bekerja di teater dan opera, bersikukuh untuk menggunakan gaya bahasa orisinil cerita, namun dalam settingan dunia baru yang unik. Menurut catatan produksi film, Luhrmann menyebut adaptasinya ini sebagai “dunia ciptaan”—semacam ruang khusus yang berakar di campuran imej ikonik bernuansa agama, teknologi, dongeng rakyat dan kultur pop. Dunia ciptaan ini, “memberikan kebebasan estetika yang luar biasa bagi desainer produksi Catherine Martin dan desainer kostum Kym Barrett biarpun hasil ciptaan mereka selalu berakar di cerita Shakespeare.” Ini disebabkan karena, menurut Martin, setting Verona di Romeo dan Juliet merupakan produk imajinasi Shakespeare juga: “Verona merupakan hasil visinya, sebagai seorang warga Inggris tentang mitos negara Italia dimana semua orang penuh gairah dan semangat…jadi sebetulnya Verona itu juga dunia buatan.”
Dunia penuh warna yang diciptakan untuk Romeo + Juliet merupakan Pantai Verona, campuran antara Pantai Venice, Miami dan Meksiko, lokasi utama syuting film. Dunia ciptaan ini sebagian besar mengambil estetika dan tradisi kultur dari daerah-daerah ini. Permainan karnival tua diciptakan berdasarkan sejarah Pantai Venice yang penuh dengan perubahan. Di tahun 50an, sesuai dengan periode film, tempat yang tadinya menjadi pusat turis itu berubah menjadi lokasi aktivitas gang. Martin secara jeli menggunakan kesenian tradisional Meksiko di sepanjang set film yang romantis dan hidup (dan akhirnya memenangkan Oscar di bidang Art Direction). Namun perlu diingat bahwa dunia bikinan Luhrmann tidak hanya berwujud ruang fisik yang menaungi para aktor. Karakter-karakter film ini juga berakar di campuran imej-imej ikonik—mulai dari cara mereka acting hingga pakaian yang dikenakan. Luhrmann sempat menyebut The Godfather dan karakter Southern belle ciptaan Tennessee William sebagai pengaruh besar penulisan karakter ciptaannya. Biarpun Montague dan Capulet mewarisi pertikaian orang tua mereka, mereka berdua memiliki kesamaan: tendensi memberontak generasi tua. Lalu bagaimana caranya untuk menciptakan koneksi antara dua generasi ini sambil tetap menjaga identitas masing-masing? Bagaimana caranya menciptakan elemen pemberontakan ke dalam dunia ciptaan? Fashion jawabannya.
Ketika Lurhmann berusaha menyajikan perbedaan antar generasi, dia melakukannya lewat desain pakaian. Montague dan Capulet senior, jelasnya “memiliki gaya 1960an-1970an-Yves-St.Laurent-Jackie-O sementara generasi yang lebih muda menolak gaya itu.” Bentuk penolakan ini ditampilkan dalam dua bentuk: kelompok Capulet—dipimpin oleh John Leguizamo sebagai Tybalt, Prince of Cats—ditampilkan seksi dan rapi berkat koleksi Dolce & Gabbana. Kelompok Capulet memilih pakaian berwarna hitam ketat, dengan berbagai aksesori: sarung pistol menjadi aksesori high fashion dan kemeja/baju yang sengaja dimasukkan guna memamerkan ikat pinggang.
Biarpun bocah-bocah Montague berada dalam kelas sosial nyaman yang sama dengan klan Capulet, gaya pakaian mereka lebih santai dan praktis: kemeja Hawaii tak terkancing, celana kerja baggy, sepatu boot atau Converse. “Gaya pakaian Montague bernuansa Vietnam,” jelas desainer kostume Barett, merujuk kepada akhir perang Vietnam di pertengahan dekade 70-an, “ketika para tentara saat itu mengenakan kemeja Hawaii dan topi tradisional, mereka menciptakan gaya fashion sendiri untuk menyesuaikan diri dengan iklim dan lingkungan.” Biarpun Montague tidak mengenakan rompi anti peluru beludru seperti Capulet, bukan berarti mereka tidak memiliki gaya aksesori sendiri. Mereka tidak perlu perhiasan mengingat kemeja Hawaii berwarna-warni sudah cukup menarik perhatian. Alih-alih berambut klimis, mereka menampilkan gaya rambut spiky berwarna pink. Biarpun kedua kubu ini jelas berbeda, mereka sama-sama menampilkan perilaku dan gaya pakaian penuh pemberontakan, menghubungkan mereka dengan dunia ciptaan.
Setelah berjarak 20 tahun, saya jadi mikir, filmnya Baz ini ingin menggambarkan anak muda memberontak dari apa sih? Rasanya, jawaban paling tepat adalah memberontak dari Kisah Romeo dan Juliet itu sendiri. Biarpun salah satu bagian dari Capulet, anda tidak akan melihat karakter Juliet mengenakan gaun hitam kulit transparan. Sama seperti anda tidak akan melihat Romeo yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio berambut pink dan mengenakan sepatu Dickies berwarna merah menyala layaknya hendak pergi ke gig No Doubt. Barett justru sengaja menciptakan pakaian yang “simpel, bersih, tanpa aksesori sama sekali.” Untuk menciptakan nuansa ini, dia bekerja sama dengan Prada.
Dua dekade setelah film ini dirilis, Prada beberapa kali merilis koleksi kemeja Hawaii penuh warna dan aksesoris punk seperti yang dikenakan DiCaprio. Namun justru di pertengahan 90an lah—ketika Miuccia, pemilik Prada tengah membangun koleksi pakaian berbahan kulit—Barrett tertarik dengan pakaian simpel basic karyanya. Sebelumnya baru pernah merilis pakaian pria di 1993, Prada menciptakan jas pernikahan berwarna biru dongker untuk karakter Romeo, lengkap dengan kemeja katun dan dasi pink floral, semacam penghormatan terhadap keluarga Montague. Gaya fashion Juliet juga subtil, simpel dan sederhana—bahkan ketika dia mengenakan kostum malaikat di pesta dansa Capulet. Barrett menyajikan Juliet dalam bentuk yang murni dan sederhana. Dalam satu adegan, Juliet menunggu Romeo hanya mengenakan kaos putih polos dan celana jeans.
Pemberontakan masa muda ditampilkan dalam banyak bentuk dalam film ini, tapi setiap pilihan gaya disesuaikan dengan dunia buatan Luhrmann (sama seperti bagaimana beberapa desainer menciptakan dunia untuk pakaian mereka di atas runway). Fashion custom minimalis Prada, Gaya Vietnam bercampur anak mal, dan koleksi D&G yang super seksi mungkin tidak akan pernah bisa sukses dicampur di luar imaginasi Luhrmann, sapa seperti bagaimana soundtrack film Shakespeare diisi oleh Butthole Surfers dan The Cardigans. Namun justru pilihan-pilihan ganjil inilah yang akhirnya membuat film adaptasinya sangat unik dan tahan waktu.