Artikel ini pertama kali tayang di i-D Magazine.
Kamu pasti belum pernah nonton Melody, film tentang proses pendewasaan produksi sineas Inggris yang beredar 1971. Tapi percayalah, Wes Anderson pasti sudah dan sangat menyukai film ini. Dalam sebuah pujiannya yang terkesan muluk-muluk, Anderson melabeli film itu sebagai “permata perfilman penuh inspirasi yang terlupakan.”
Bahkan, kecintaan Anderson dalam film langka itu begitu besar sampai-sampai menjadi inspirasi bagi film Moonrise Kingdom. Oleh Anderson, dua aktris muda—yang pertama berakting—dalam film itu dicekoki Melody sebelum shooting.
Videos by VICE
Sekali saja kamu menonton Melody—disutradarai oleh Waris Hussein dan naskahnya ditulis oleh Alan Parker—kamu bisa langsung mafhum bagaimana cerita tentang cinta pertama dan pengalaman akil balik di film tersebut bikin Wes Anderson kesengsem. Tentu saja, film tak punya obsesi dengan frame-frame simetris. Font yang dipakai juga dipastikan bukan Futura dan Bill Muray tak jadi lakon dalam film ini. Meski demikian, kamu bakal segera merasakan kemiripannya dengan Moonrise Kingdom.
Bersetting di London, pada sebuah musim panas yang panjang, plot Melody yang riang berkisah tentang pertemanan antara dua murid suatu sekolah di London. Daniel, salah satunya, adalah bocah lelaki berambut pirang dan sensitif. Penampakkannya sekilas sebelas duabelas dengan bocah yang dimabuk cinta di Love Actually. Sementara, Ornshaw adalah kawanannya yang tak tahu malu dan kerap kasar, sepintas mirip Harry Styles yang tengah meniru Mick Jagger. Persahatan keduanya mendapatkan cobaan ketika Daniel memergoki Melody dalam sebuah pelajaran dansa dan langsung mabuk kepayang. Setelah itu, Daniel ogah-ogahan nonton “film” bersama Ornshaw setelah jam sekolah. Daniel juga jadi sungkan meledakkan kaleng-kaleng bersama Ornshaw. Yang diinginkan Daniel cuma berduaan dengan Melody. Daniel tergila-tergila padanya dan berharap ingin menikahinya. Usia Daniel? Baru 11 tahun saja Bung dan Nona.
Film ini—yang jeblok di bioskop Inggris dan Amerika Serikat tapi laris manis di Jepang—sejatinya tentang cinta monyet, tentang perasaan yang susah digambarkan saat hatimu terpaku pada satu sosok orang saja. Siapa yang tak ingat rasanya degdegan melihat gebetan berdiri barisan depan dalam apel senin pagi? Atau perasaan degdegser ketika dia berbalik dan mata kalian bertemu? Daniel jelas tak tahu apa yang tengah terjadi karena dia tak pernah merasa seperti ini. Dia gagal pernah mencoba—dan gagal—duduk di sebelah Melody di ruang makan. Daniel juga dengan gagah berani mencoba memainkan cello mengiringi Melody berlatih memainkan Frère Jacques sebelum kelas musik. Daniel tak mau menyerah—dan kita dipaksa untuk kagum padanya—sampai akhirnya Melody pun membalas cintanya.
Seperti Sam dalam Moonrise Kingdom, Daniel adalah anak lelaki ringkih yang sepertinya bakal tumbang karena hembusan angin sepoi-sepoi belaka. Tapi, layaknya Sam di Moonrise Kingdom, dia mendadak punya mental baja ketika jatuh cinta. Dia tak jeri ketika kena sentak kepala sekolah lantaran memilih jalan-jalan bareng keliling kuburan bersama Melody daripada mengerjakan PR. tak cukup sampai di situ, Daniel rela kena peringatan tingkat tiga karena membolos demi menemani sang kekasih plesiran ke tepi pantai. Di sini lah sisi menarik film ini, Melody menyajikan adegan-adegan menarik seorang anak lelaki sopan dan pintar yang dengan penuh keyakinan berkata—lengkapnya sih tidak seperti ini— “Bodo amat! Gue sudah kepalang mabuk kepayang dengan Melody. Persetan dengan seluruh dunia!”
Kisah cinta monyet antara Daniel dan Melody digambarkan sebagai sebuah perjuangan berat. Keduanya tahu apa yang mereka inginkan. Mereka ingin terus bersama-sama, mereka ingin cepat-cepat menikah. Sayangnya, ayah Melody tak memahaminya. Dia malah menunjukkan bahwa Melody sangat menyukai sekolah, tuduhan yang dibalas telak oleh Melody dengan berkata “Aku lebih suka berdua dengan Daniel daripada belajar Geografi.” Yap, makan tuh Pak!
Dengan latar belakang London dekade 70-an (kebanyakan berkisar di wilayah Lambeth dan Hammersmith), Melody adalah sebuah film tentang masa akil balik yang diilhami penulis skenario Alan Paker dan produser David Puttnam. Keduanya melewati masa akil balik di London. Lewat film ini, kalian bisa merasakan bagaimana rasanya tumbuh dewasa di kawasan London selatan pada waktu itu. Film ini juga tak lantas jadi lebay karena dengan cerdik memanfaatkan sudut pandang anak sekolah.
46 tahun setelah film dilepas, plotnya masih terasa kekinian. Anak sekolah yang main di kuburan, sembunyi merokok di halaman sekolah, ketahuan mengintip temannya di kelas dansa dan mati-matian menahan tawa di kelas agama, ini semua masih terjadi sampai sekarang. Yang membuat film ini tetap terasa dari dekade 70-an adalah gaya rambut khas masa itu dan soundtrack yang sedih tapi bikin semangat yang diisi lagu-lagu Crosby, Stills, Nash and Young dan lagu Melody Fair milik The Bee Gees. semua elemen ini masih sering kita jumpai di karya-karya Wes Anderson. Dia—kita tahu—gemar menyisipkan lagu-lagu 70an dalam filmnya dan masih menggemari potongan rambut khas masa itu.
Ketika pertama kali tahu film ini dibintangi oleh Oliver dan Dodger dari Oliver!, saya akui saya meremehkannya. Paling-paling isinya penuh dengan logat cor blimey dan komedi kacangan. Tapi, toh saya tetap menontonnya karena Wes Anderson juga menontonnya. Alasannya, kalau Wes Anderson dapat ilham dari film ini, berarti Melody memang layak tonton. Lantas, setelah kredit film mulai muncul di layar, saya bergumam dalam hati. Ya, Wes memang benar. “Film ini terlupakan?” benar sekali! “Penuh inspirasi?” Pasti! “Melody adalah permata perfilman?” Pasti!
Melody dibuat dengan budget semenjana, sekitar $600.000 (setara Rp7 miliar). Tak ayal, jika kemudian film ini jadi sebuah tontontan cult. Tapi percayalah saya, atau setidaknya Wes Anderson. Melody adalah film ringan keren yang cocok ditonton maraton bersama Moonrise Kingdom.