Société

Filter ‘Gender-Swap’ Snapchat Berpotensi Memperparah Fobia Pada Transgender

Seorang nonbiner sedang selfie menggunakan ponselnya.

Snapchat baru saja merilis fitur filter foto baru yang dapat “mengubah” wajah pengguna secara otomatis menjadi versi lawan jenis. Netizen ramai-ramai menjajal filter gender-swap tersebut, lantas membagikan fotonya ke akun medsos mereka. Hasilnya tentu saja kekacauan. Seorang laki-laki menggunakan foto “versi perempuannya” setelah pakai Snapchat untuk mengelabui para pengguna Tinder.

Filter gender-swap sebenaryna bukan hal baru, karena FaceApp sudah lebih dulu menciptakannya. Tetapi popularitas filter Snapchat ini menimbulkan kekhawatiran di komunitas transgender.

Videos by VICE

Dana Vivian-White, pembicara topik nonbiner yang menjabat dewan direksi Yayasan Collective Action for Safe Spaces, meyakini orang-orang cisgender menggunakan filter ini tanpa pernah memikirkan kalangan mereka yang trans sama sekali.

“Ada perbedaan tipis antara mengajak orang bisa rileks memahami gender dan mengabaikan realita yang kelompok transgender hadapi, dengan sembrono melanggengkan kesalahpahaman tentang identitas orang transgender,” kata Vivian-White kepada VICE.

Berbeda dari orang cis yang bisa menggunakan filter “tanpa terpicu apapun”, transpuan Lisbeth Plague merasakan gejala dysphoric saat menyaksikan banyak orang mengganti wajah jadi lawan jenisnya. Dia berandai-andai apa yang terjadi jika dia ikut mencobanya, dan hasil hipotesisnya membuat Lisbeth takut. “Aku khawatir kalau sampai ada kenalan yang menyuruhku mencoba filternya.”

Adrian Ridings, seorang nonbiner, mendengar dari sejumlah transgenderm kalau filternya Snapchat ini sebetulnya menyenangkan, bahkan bersifat gender-affirming, bikin orang lebih toleran sama kelompok trans. Namun

Sebagian kawan Ridings menyatakan filter ini diciptakan sembari mengabaikan sejarah kekerasan serta diskriminasi terhadap komunitas trans selama bertahun-tahun. “Jujur, aku lumayan suka [filternya], karena kita bisa memvisualisasi bakal kayak gimana andai kita menjadi lawan jenis,” kata Ridings. Sayangnya, tak sedikit followers di Twitter membuat guyonan soal filter ini berbasis stereotipe menyedihkan, bahwa transgender memanfaatkan perubahan kelamin mereka sebagai “tipu daya.”

Eric Stanley, assistant professor jurusan Studi Gender dan Seksualitas di University of California yang mendalami gerakan sosial queer dan trans, menilai tanggapan media sosial terhadap filter gender-swap bukannya positif. Banyak orang yang menjajal aplikasinya justru memperparah homofobia dan transfobia yang sudah lama berlangsung di masyarakat. Tak sedikit kasus selama sepekan terakhir mengabarkan maraknya candaan transfobik di medsos, atau malah penggunaan filter tersebut untuk menipu orang di situs-situs kencan.

“[Tanggapan terhadap filter itu] sepertinya mendukung gagasan laki-laki harus ‘marah’ ketika mereka menyadari jenis kelamin yang disukai, tidak secara langsung merujuk norma-normabudaya dominan,” ujar Stanley.

“Berkali-kali saya melihat video-video orang menggunakan filter Snaphat sebagai alasan buat menghina orang trans, buat bilang kami ‘karya iblis’ dan bakalan ada yang di-catfish,” kata Maliyah London, seorang transpuan. Bagi komunitas TGNC, catfishing, tindakan menggoda seseorang dengan akun palsu, berpotensi menimbulkan kekerasan dalam komunitas transgender, serta mempertahankan gagasan bahwa orang-orang TGNC tukang tipu. “Kami menderita cemoohan dan menjadi karikatur kejam.”


Tonton dokumenter VICE soal parade pride Timor Leste, negara paling progresif untuk urusan hak LGBTQ di Asia:


Juru bicara Snapchat mengakui ada masalah homofobia setelah pemakaian filter wajah tersebut ramai oleh pengguna. “Kami memahami bahwa identitas seksual adalah topik yang sangat pribadi dan sensitif,” ujarnya pada Broadly. Snapchat mengaku berupaya memastikan filternya “beragam dan inklusif” dengan menawarkan berbagai efek lain.

Tapi masalah utama memang bukan soal filternya, melainkan niat awal setiap orang yang menggunakannya. Setidaknya itu menurut Rebecca, seorang transpuan. “Aku sendiri menggunakan filter ini karena membantu menghilangkan disforia gender. Sementara beberapa cisgender yang kukenal menggunakan filternya secara kontraproduktif.”

“Sebenarnya lewat filter ini Snapchat menyediakan peluang bagi orang-orang mengeksplor ekspresi gender mereka secara berbeda, termasuk jika kamu seorang cis,” kata Celeste Divinity, transpuan yang dihubungi Broadly. “Sayangnya, berdasarkan apa yang saya lihat, kaum cisgender menggunakan filter ini lebih untuk melakukan perbuatan yang pastinya kontroversial jika dilakukan seorang trans dan gender fluid.”

Menurut Divinity, tidak adil jika laki-laki cisgender menggunakan filter ini untuk nge-catfish teman-teman mereka. Tindakan macam itu akan makin memicu kebencian terhadap transpuan di aplikasi kencan. “Aku sendiri pernah diusir dari Tinder hanya karena mengubah genderku setelah bertransisi,” kata Divinity. Meski Tinder menawarkan 37 pilihan identitas gender, banyak kaum trans mengaku diblokir dari aplikasi tersebut karena status gender mereka di masa lalu.

“Buat beberapa orang yang straight mungkin aplikasinya seru aja. Padahal kalau aku melakukan hal yang sama, mereka enggak terima,” kata Divinity.

Josh Langdon, pengacara hak LGBTQ yang mewakili orang-orang transgender dalam kasus yang berkaitan dengan identitas, menilai Snapchat seharusnya berbicara dengan komunitas TGNC sebelum merilis filternya. “Ini sama wujud transfobia pasif agresif, karena identitas gender dijadikan fetish,” ujar Langdon.

Penuli Vanessa Clark percaya kaum cisgende sebagai mayoritasr harus lebih bertanggung jawab memahami peran mereka dalam penggunaan fitur ini. “Agak hipokrit sih ketika kaum cis merasa boleh menganggap gender sebagai candaan, sementara sehari-hari mereka mengabaikan perjuangan kaum trans dan non-biner.”

Clark berharap orang-orang cisgender akan memahami bahwa bagi mereka, fitur Snapchat ini hanya sekedar filter, tetapi setidaknya mereka bisa lebih menghormati kami–online maupun offline.”

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly