Kehidupan yang tergambar dari instagram, kita tahu, bukan sekadar makan-makan atau jalan-jalan cantik, eyebrows on fleek, atau menampilkan gambar saat kita bersenang-senang bareng temen tongkrongan. Kalian sekarang terbebani tuntutan agar menampilkan banyak hal selain pamer. Instagram berkembang jauh lima tahun belakangan, dari awalnya media sosial sekedar untuk sharing foto, menjadi sarana mengurusi dan menghakimi kehidupan orang lain, hingga berfungsi sebagai alat propaganda yang pengaruhnya bahkan sudah jauh melebihi media massa arus utama Indonesia (kalian tahu lah contohnya, akun gosip itu tuh). Bahkan untuk urusan gosip pesohor, Instagram kini dijuluki sebagai kantor berita gosip terbesar Tanah Air, saking seringnya dikutip sama media.
Tuntutan menjaga imej diri di instagram membuat banyak standar yang harus dipenuhi kalian kala mengunggah foto, video, ataupun instastory. Dari mulai angle, penampilan wajib terlihat sempurna, backdrop atau prop foto yang “instagramable.”
Jangan sampai kelewatan filter atau editan photo dengan aplikasi yang harus kamu beli di AppStore atau PlayStore; pokoknya ribet lah. Segala tekanan itu pada akhirnya memunculkan respons menarik di kalangan anak muda berbagai negara, termasuk Indonesia. Semacam fenomena revolusi cara menggunakan medsos, dengan bersikap masa bodoh atas segala pencitraan. Bayangkan kalian terbangun dari tidur lalu berikrar, “gue sekarang cuma mau posting buat temen-temen terdekat gue, dan gue akan posting apa aja yang gue mau, berapa kali yang gue mau, dan enggak mesti pake filter.”
Demikianlah saudara-saudara, dari pemikiran macam itu tercipta finstagram.
Videos by VICE
Finstagram di Indonesia lebih terkenal dengan istilah akun kedua. Berdasarkan definisi Urban Dictionary, finstagram—atau finsta supaya singkat—merupakan campuran dari kata fake dan instagram; semacam istilah menggambarkan orang-orang yang membuat sebuah akun instagram sekunder khusus buat mengunggah gambar atau video personal, berbeda dari citra sehari-hari akun utama. Sederhananya, finstagram itu seperti Twitter ketika masa jayanya di 2009, ketika tiap remaja berkicau hampir tentang segalanya—dari mulai hal terbodoh yang baru saja dia lakukan hingga update tiap tiga menit tentang perasaan dan pikirannya; belum banyak influencer jualan halus ataupun buzzer politik mengajak followernya ribut soal apapun menjelang pilkada.
Urban dictionary menekankan, bila materi finstagram biasanya bersifat “lucu” atau “memalukan.” Kayak gimana tuh? Bisa dibilang, yang lucu dan memalukan itu adalah saat sahabat Instagrammu menjadi dirinya sendiri. Mulai dari swafoto pakai wajah tanpa make up dan pose yang enggak banget, mengumbar screenshot chat dimana kamu salting saat disapa doi, foto teman yang sedang setengah bersin, lelucon internal, gosip kantor yang lebih panas dari lambe turah—sederhananya hal personal atau internal yang tidak mungkin kamu posting di akun utama karena satu dan lain hal. Merasa punya teman yang ember banget di dunia nyata tapi kok di IG selalu anteng? Mulailah curiga. Kemungkinan besarnya temanmu mengunggah keluh kesahnya yang paling frontal di akun tersembunyi.
Berbeda dari rinsta (sebutan slang untuk akun utama seseorang), dunia finstagram bebas dari hukum-hukum tak tertulis Instagram yang harus diikuti. Beberapa di antaranya semisal pantangan memposting foto lebih dari satu kali dalam sehari. Coba saja over posting, maka kamu bisa dicap tidak keren, apalagi kalau jumlah following lebih banyak dari followers. Finstagram, karenanya, bisa kita ibaratkan seperti film The Purge: kamu diperbolehkan untuk memposting apapun yang kamu mau dan berapa kali, dan memfollow siapa saja dari second account kamu—dan itu tidak hanya untuk semalam saja. (Hanya saja, Biasanya, nama akun kedua ini antara aneh, atau aneh banget, tapi kamu pasti langsung ngeh itu siapa karena biasanya yang dipakai adalah panggilan khas dari orang tersebut yang hanya diketahui teman-teman terdekatnya.
Intinya esensi utama dari finstagram adalah eksklusivitas akun tersebut. Followersnya cuma teman-teman terdekat si pengguna. Dalam beberapa kasus, malah tanpa ada lawan jenis sama sekali, sehingga akun tersebut selain digembok, followersnya kerap hanya berjumlah dua digit atau bahkan cuma satu. Dengan demikian, hal-hal yang diposting serta frekuensinya juga lebih fleksibel, kadang terlalu fleksibel.
Fenomena atau tren finstagram booming di seluruh dunia sejak tahun 2015. Nukman Luthfie pengamat media sosial mengatakan populernya finsta terhitung baru di Indonesia. Lazimnya, kepemilikan lebih dari satu akun di negara ini hanya untuk urusan nonpersonal. “Di Indonesia biasanya kalau punya lebih dari satu akun, yang pertama untuk personal, selanjutnya lebih untuk jualan,” ujarnya saat dihubungi VICE Indonesia.
Alya* yang saat ini berstatus mahasiswi jurusan perfilman, membenarkan analisis tersebut. Dia baru terpikir membuat akun instagram kedua setahun lalu. Sebagai seorang narsis yang senang mengumbar hal pribadi, finstagram diciptakan Alya agar dapat berkeluh kesah dan berbagi hal-hal eksklusif ke sahabat terdekatnya.
“Karena mereka udah pada mencar, gue kalo cerita sama mereka susah nyari waktu. Dengan finstagram gue saving so much time dibanding harus ketemuan,” ujarnya.
Alya memiliki akun finstagram dengan 44 followers, bebas dari anggota keluarga, yang postingnya kebanyakan terdiri dari meme-meme, foto kucing, screenshot chat orang yang dia anggap ngeselin, serta muka aib pacarnya. “It’s not a diary, tapi lebih ke blog. Sebuah blog dari alter ego gue,” katanya.
Alasan serupa diungkapkan Yogi*, fotografer lepas asal Jakarta, menciptakan finsta agar akun utamanya tetap dapat menjadi portofolio karya profesional tidak terganggu posting bernuansa pribadinya.
Finsta Yogi, hingga saat diwawancarai VICE, berisi 1.058 posting tentang absurditas kesehariannya, curahan hati soal masalah keluarga, serta foto unyu bareng pacarnya. Bandingkan misalnya dengan intensitas postingan Yogi dari 192 posting foto profesional pada akun utama yang memakai nama aslinya. “Di second account, gue enggak ngerasa harus mikir untuk posting,” ujarnya.
Yogi merasa finstagram cukup penting untuk melampiaskan emosi saat diperlukan. Setali tiga uang, Alya merasa second account memberikan dia manfaat. Salah satunya, akses mendapat teman baru yang benar-benar bisa menjalin hubungan di dunia nyata.
Alya merasa bahwa jika dia saling follow finsta dengan orang lain, utamanya dengan seseorang yang dia belum kenal, dia merasa itu semacam undangan bagi mereka menjadi teman baiknya. ”Gue enggak menyarankan elo jadi temen deket melalui instagram, tapi kalau kalian udah follow-followan [di Finsta], postingan kalian bisa jadi stepping stones buat topik kalau ketemuan,” ujarnya.
Walau finstagram semacam dunia underground eksklusif yang terkesan aman dari sisi privasi, tetap ada batasan-batasan tertentu dalam hal yang bisa bagikan. Finstagram tak bisa sepenuhnya bebas dari risiko.
Contohnya kehidupan seksual atau foto saat sedang mabuk berat tetap mustahil dibagikan. “Mungkin kalau mabuk-mabukan boleh, tapi engga yang gue udah dalam kondisi fucked up banget atau gimana,” ungkap Alya.
Sebagai orang yang juga memiliki finstagram, saya pribadi mengakui membagi emosi di dua akun berbeda cenderung merepotkan. Apalagi finsta sekilas membantu kita mengakali batasan dunia maya—tapi caranya adalah secara tidak langsung tetap mengakui hukum tak tertulis bermedsos di atas dan terus menaatinya. Finsta lahir, setidaknya merujuk sebuah penelitian pada 2016, dipicu tekanan pengguna medsos yang merasa berbohong tentang diri mereka untuk pecitraan dunia maya. Apapun alasan yang melatarinya, finsta adalah hak semua orang. Kalau kalian baru ingin mulai menyalurkan konten-konten pribadi di akun kedua, ketiga, dan seterusnya, ikutilah panduan tokcer yang sebelumnya pernah dimuat oleh VICE.
Nukman pun menyatakan ada cara lebih sederhana bagi anak muda untuk melampiaskan emosi atau mengungah hal-hal ngaco ke medsos, tanpa harus membuat akun kedua atau membentuk alterego sepenuhnya berbeda. Salah satunya dengan berbagi konten pribadi lewat fitur IG story yang bisa terhapus otomatis saban hari. Selain itu, yang selalu patut diingat menurutnya, bermedsos mustahil bisa mengganggu kesehatan jiwamu jika kau jarang mengumbar hal-hal personal.
“Kalau segalanya di-share ya enggak bagus. Usahakan ada karya lah yang di-share, paling tidak 30 persen feed-mu berupa karya.”
*Nama narasumber diubah untuk melindungi privasinya.