Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia.
Fotografer Scott Williams memiliki kemampuan mengambil foto pemandangan familiar tapi bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang terkesan baru. Penuh dengan refleksi neon dan distorsi bentuk, karya-karyanya terlihat—sekilas—seperti potongan adegan dari film arthouse yang trippy. Lewat lensa William, Melbourne berubah dari sebuah kota besar Australia menjadi latar belakang film David Lynch. Tidak jelas lagi mana yang realita, mana yang tidak nyata. Pemandangan yang akrab menjadi sulit dikenali. Jalanan yang biasa dilewati menjadi penuh misteri.
Videos by VICE
VICE mengajak Scott nongkrong lalu ngobrol. Kami membicarakan inspirasi dibelakang gaya fotografinya yang unik, berdebat soal kamera analog vs digital, serta bagaimana sutradara film—termasuk David Lynch—mempengaruhi karya-karyanya.
VICE: Foto-fotomu terasa seperti potongan adegan dari film surealis. Sengaja ya?
Scott Williams: Saya suka banget menonton film karya-karya David Lynch, Michael Mann dan Martin Scorsese—cara mereka mengambil gambar, mengatur pencahayaan—dari merekalah banyak inspirasi saya muncul. Jadi saya berusaha menerjemahkan teknik ini ke dalam fotografi, menggunakan teknik panning shot dan menahan sebuah adegan. Hasilnya cantik banget.
Karyamu menampilkan perspektif ganda. Ini sangat menarik, mengingatkan saya akan film Inception.
Itu bagian dari karya-karya lama, ketika saya masih bereksperimen. Membuat dua hal tumpang tindih—satu naik, dan satu turun—lumayan sulit karena banyak detil yang harus diperhatikan. Di pengambilan foto kedua dari obyek yang sama (double exposure), daerah yang gelap akan semakin gelap. Jadi sulit untuk membuat foto lebih terang. Dan untuk membuat kedua foto menjadi satu kesatuan yang padu juga lumayan susah. Saya menghabiskan lumayan banyak waktu berlatih.
Sudah berapa lama menggeluti fotografi?
Saya baru mulai menjalani fotografi secara serius tahun lalu ketika saya mulai menggunakan Instagram sebagai platform media sosial untuk menemukan dan berinteraksi dengan orang-orang. Alhasil, saya bertemu dengan banyak orang menarik yang juga mendalami fotografi, baik film atau digital. Saya merasa bangga bisa bertemu orang dan mempromosikan hasil karya saya. Saya juga cenderung tidak banyak bicara, jadi ini hobi yang pas buat saya.
Banyak hasil karyamu terasa intim. Penting gak sih mencari model foto yang sesuai?
Sudah pasti. Saya biasanya nongkrong dengan teman, temannya teman, atau sesama fotografer yang sedang belajar atau sudah aktif. Anda tinggal mengambil gambar, jalan-jalan, ngobrol, ngambil gambar lagi. Seru banget. Saya ingin memproduksi karya sebanyak mungkin. Ngobrol dan berkenalan dengan orang baru itu pengalaman yang hebat.
Ada karya favorit dari semua fotomu selama ini?
Ada satu foto teman yang saya ambil. Itu ketika kami keluar di malam hari untuk memotret tanda neon Skipping Girl Vinegar. Tapi sialnya malam itu, lampu tersebut dimatikan. Saya kesel banget. Akhirnya kami berjalan kembali ke pusat kota, melewati Pecinan dan dalam perjalanan melihat sebuah gang kecil yang memiliki pantulan lampu neon di genangan air. Saya langsung tertarik dan mengeluarkan kamera. Ternyata itu adalah lambang ClubX, semacam klub peep-show. Kemudian saya memotret teman saya. Entah bagaimana, genangan air tersebut berjejer sebaris dengan mata subyek foto, jadi terlihat seakan teman saya sedang menangis genangan air tersebut…kebetulan aja. Banyak hasil karya saya itu kebetulan karena anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Saya terkagum-kagum dengan foto itu.
Anda berdiri di sisi mana dalam perdebatan film vs digital? Apakah anda pendukung kamera analog garis keras?
Engga juga. Buat saya, film itu gak beda jauh sama digital. Cuman bedanya lebih mahal aja, ada biaya pencucian, biaya scanning. Tapi memang film membuat saya lebih disiplin karena ketika memotret, saya harus yakin komposisi dan pencahayaannya baik. Beda sama digital, saya bisa ngambil 100 foto, terus milih mana yang bagus. Kalau pake film, saya harus yakin bahwa satu foto yang diambil itu sempurna. Kalau tidak, saya lanjut ke obyek foto berikutnya. Saya gak bisa mengambil multiple foto obyek yang sama [dengan film]; terlalu mahal biayanya.
Apa menurutmu tren berikutnya di dunia fotografi setelah era digital?
Fotografi semakin ekstrem, mungkin fotografi 3D akan jadi populer, sangat futuristik. Rasanya gila sih sekarang banyak kamera digital bisa memotret ISO tinggi tanpa grain. Padahal 10 hingga 20 tahun yang lalu, banyak orang masih menggunakan film, dan sekarang sudah ada digital yang sangat cepat dan mudah. Saya tidak sabar menunggu teknologi berikutnya. Saya tidak mengandalkan satu medium saja. Biasanya saya tidak menggunakan kamera digital kecuali untuk tugas kampus, tapi semua medium ada kelebihannya sendiri-sendiri.
Kamu mengaku terinspirasi oleh sutradara film. Adakah fotografer lain yang dikagumi?
Saya suka karya Savannah van der Niet; dia menggunakan teknik multiple exposure dalam fotografi musik dan itu sangat mengagumkan. Karya-karya dialah yang membuat saya menggunakan film, karena saya juga ingin mendapatkan foto-foto seperti itu. Saya ingin menggunakan multiple exposure!
Sekarang kamu sedang sibuk mengerjakan proyek apa?
Saya mulai menggunakan format medium; kualitasnya lebih tinggi dari 35mm. Lensanya sangat tajam ketika dalam posisi fokus. Jadi saya sedang sibuk mengerjakan itu dan melanjutkan seri foto-foto malam hari. Secara umum, saya bereksperimen dengan berbagai format, karena kadang anda mendapatkan foto-foto bagus dari format yang berbeda.
Apakah kamu berniat menjadikan fotografi sebagai profesi?
Apabila saya bisa mendapat cukup uang dari fotografi, bakal luar biasa sih. Saya masih menimbang-nimbang. Sulit untuk mulai masuk ke industri fotografi karena konten saya belum banyak. Lagipula, industri ini sangat kompetitif, jadi mungkin saya harus mencari pekerjaan di studio atau semacamnya. Tapi bisa memotret setiap hari itu impian saya.
Simak foto-foto Scott lainnya di situs pribadinya atau lewat Instagram.
Wawancara oleh Desiree Leong. Follow dia di Twitter