Ketika Seiji Kurata mulai menyeriusi fotografi pada 1970-an, aktivisme politik dan pemberontakan terhadap pembangunan membanjiri jalan-jalan Jepang, penuh semangat orang-orang yang mencari kebebasan dan kesenangan dalam ekonomi yang baru stabil. Orang desa berbondong-bondong mendatangi Tokyo, yang pusat hiburannya diwarnai lampu neon, papan iklan mencolok dan pakaian ngejreng mereka yang ingin tampil beda. Ikebukuro menjadi destinasi pilihan Seiji.
Dia berkeliaran dari satu diskotek ke diskotek lain, dan berkenalan dengan dunia bawah tanah yang dikuasai yakuza, penari telanjang, cross-dresser, dan banyak lainnya.
Videos by VICE
Kebanyakan momen dalam jepretan Seiji sarat akan kekerasan, seperti perkelahian antara anggota yakuza dan geng motor di Shinjuku yang diabadikan olehnya bersama Katsumi Watanabe. Sang fotografer merebut radio polisi dan menggeber sepeda motornya menuju TKP. Di sana, dia memfoto pertikaian dan bentrokan, lalu menghilang di tengah kegelapan malam.
Seiji terkenal akan foto-fotonya yang menampilkan pria bertato mencengkeram katana panjang, disorot oleh kilatan cahaya kamera medium format miliknya; serta para penari kabaret, hostess dan pegawai kantoran mesum yang sibuk menggrepe-grepe mereka. Mahakarya awal ini lahir “dari kombinasi sempurna antara orang-orang berpakaian unik yang kepengin difoto dan keinginan Seiji memfoto mereka,” terang Nina N, yang menggelar dua pameran, Night, Alleys & People dan Lads & Gangs, di Zen Foto Gallery, Tokyo.
Pada 2013, Seiji mengenang pertemuannya dengan anggota yakuza yang memungkinkan terwujudnya “The Tattooed Man”. “Kota ini diterangi lampu jalan, pub, tempat permainan, kafe, restoran, rangkaian lampu neon dan lampu sorot. Dua laki-laki memanggilku. Mereka terlihat dan bertingkah seperti playboy,” tulisnya.
“Pemandangan di sana kurang bagus, jadi kami memutuskan untuk foto-foto di atas gedung. Mereka keasyikan bermain pedang di tangga darurat, seolah-olah mereka sedang syuting film samurai. Mereka menyuruhku memfotonya seperti [aktor] Ken Takakura. Mereka juga meminta agar saya menunjukkan semua fotonya, dan mencetak foto yang bagus besar-besar.”
Seiji menangkap subjek-subjek ini dengan intim, menemukan secercah kemanusiaan di antara mereka, dari yakuza dan Bosozoku hingga sayap ultra-kanan di Kuil Meiji, Shibuya. Dia kerap menjepret anggota geng dari dalam rumah mereka, dengan kucing bermain di latar belakang dan cermin berlapis emas yang melembutkan reputasi agresif mereka. Seiji juga menunggu dengan sabar hingga dua orang PSK tertawa terbahak-bahak.
Di luar kabaret, dia mengabadikan seorang ibu yang beristirahat sambil menemani anaknya bermain di depan tempat kerjanya. “Kamu bisa merasakan suasana mentah simpati manusia di kota [Ikebukuro], daripada rangsangan menyengat dari kota maju macam Shinjuku,” Nina bercerita tentang distrik yang didatangi Seiji.
Mengembangkan kecenderungan futuristik dengan munculnya teknologi baru, Tokyo pasca-pendudukan menemukan jejaknya sebagai kota Asia terkemuka — dan Seiji terpikat oleh orang-orangnya. “Tinggal di Tokyo bagai bertualang. Apakah ada kota lain yang bertransformasi seperti itu?” tulisnya pada 1980.
“Perjalanan hidupku dimulai di kota ini, meski mungkin agak terlambat,” kata Seiji, menceritakan tentang keputusannya meninggalkan pekerjaan di pabrik termostat kecil untuk mengejar karier di dunia fotografi pada usia 30. “Suatu hari, ketika saya mulai menua dan realitas saya telah memudar, saya jatuh ke dalam kehancuran yang tak terelakkan. Saat itu, saya bersungguh-sungguh mencari wadah untuk mengekspresikan diri, tapi saya tak kunjung menemukan jawabannya.”
Seiji menikmati foto-foto yang terpampang dalam majalah ciptaan Daidō Moriyama, fotografer jalanan yang karya konfrontatifnya membandingkan nilai-nilai tradisional dan masyarakat modern Jepang pasca-perang, serta aspek kehidupan perkotaan yang lebih gelap. Seiji memantapkan diri untuk mendaftar ke Workshop Photography School, yang menampilkan fotografer macam Daidō, Eikoh Hosoe, Masahisa Fukase, Nobuyoshi Araki, Noriaki Yokosuka dan Shōmei Tōmatsu.
Buku fotografi pertamanya, Flash Up, menjadi pemenang Penghargaan Kimura Ihei kelima pada 1980. Dalam buku itu, dia mengeksplor jalan-jalan kumuh di barat laut Tokyo pada malam hari, sama seperti gurunya Daidō. Bertahun-tahun kemudian, dia memfokuskan lensa kameranya pada dunia erotis di dalam ruangan, seperti Araki yang foto-foto kontroversialnya menampilkan perempuan dalam kostum Geisha yang terikat kinbaku (bondage ala Jepang).
Yang berbeda dari hasil bidikan Seiji adalah keterlibatan aktif di dalamnya. Dalam Eros Lost, dia bereksperimen dengan tubuh manusia, menciptakan potret perempuan dan laki-laki bersama dengan instalasi mekanis, pertunjukan teater, objek dan interior yang meriah. Karyanya menampilkan dinamisme tubuh telanjang, gerakan dan aviditas.
Perlakuannya terhadap transpuan dan crossdresser yang menjadi subjek foto pun sama. Dia menjelajahi ketelanjangan dengan hati-hati dan menghormati para subjeknya. Seiji tampak akrab dengan mereka.
“Semangatnya yang menggebu-gebu akan penyelidikan membuat [Seiji] terus mengeksplorasi kemungkinan menggunakan berbagai teknik fotografi pada subjek yang berbeda,” kata Nina.
Seiji menggelar pameran tunggal pertamanya, Night Dwellers, pada 1978. Dalam publikasinya, dia menulis: “Saya ingin mengobservasi orang. Saya ingin melihat manusia sebanyak mungkin, setepat mungkin.”
Artikel ini pertama kali tayang di i-D