kesehatan

Problem Kesehatan Akibat Sulit Tidur di Indonesia Berisiko Meningkat Selama Pandemi

Survei bilang anak Muda usia 18-24 di negara ini susah tidur lebih dari 6 jam, atau malah insomnia. Pandemi berisiko memperparahnya. Dokter yang kami hubungi memberi tips agar tidur lebih terpola.
kasus gangguan tidur insomnia meningkat di Indonesia selama pandemi covid-19
Foto ilustrasi kurang tidur oleh Alexandra Gorn via Unsplash

Pandemi Covid-19 hampir berlangsung selama setahun. Berbagai aktivitas yang normalnya dilakukan masih dibatasi. Beragam pembatasan sosial itu telah berdampak kepada kondisi mental banyak anak muda di Indonesia, merujuk laporan VICE sebelumnya. Masyarakat sulit terbiasa dengan pembatasan-pembatasan seperti karantina dan jaga jarak, apalagi dalam waktu begitu lama. Salah satu faktornya adalah karena manusia merupakan makhluk sosial yang butuh berinteraksi.

Iklan

Belakangan, selain problem kesehatan mental, juga muncul laporan semakin banyak orang merasakan gangguan tidur. Riset menyebut hampir separuh responden yang terdampak Covid-19 mengaku insomnia. Ini dipengaruhi oleh kecemasan risiko terinfeksi virus, kematian orang-orang terdekat, protokol kesehatan yang ketat, isolasi dan kesepian, kehilangan pekerjaan, hingga konsumsi informasi mengenai pandemi secara berlebihan.

Sebelum pandemi saja, sebenarnya banyak remaja dan orang dewasa sudah tidak memiliki kualitas tidur yang baik. Para ahli kesehatan mengatakan durasi tidur yang dibutuhkan setiap kategori usia berbeda. Misalnya, untuk yang berumur 13 hingga 18 tahun sebaiknya tidur selama delapan sampai 10 jam setiap malam, sedangkan untuk yang berusia lebih tua disarankan paling sedikit tujuh jam.

Survei Honestdocs terhadap 2.944 orang berusia 18 sampai 24 tahun di Indonesia pada 2019 menyimpulkan dua pertiga responden tidur kurang dari enam jam. Hanya 17 persen yang mengaku disiplin tidur selama delapan jam. Anak-anak di Asia pun ternyata juga tidur lebih sebentar dibandingkan yang tinggal di negara-negara Barat. 

Iklan

Padahal tidur sangat penting bagi kesehatan dan produktivitas. Beberapa kecelakaan besar di dunia ditengarai dipengaruhi oleh minimnya jumlah tidur. Misalnya, tragedi space shuttle Challenger pada 1985 yang menewaskan tujuh astronot di dalamnya. Kesimpulan investigasi menyebut mereka membuat keputusan keliru sebab telah terjaga selama 23 jam dan pada hari sebelumnya hanya tidur tiga jam.

Menurut dr. Andreas Prasadja yang fokus meneliti gangguan tidur, jumlah pasien yang mengeluhkan masalah tersebut selama momen pandemi memang meningkat. Data sebelumnya sebanyak 50 persen pasiennya didiagnosa mengalami insomnia, kini ada lonjakan kurang lebih sebesar 20 persen. 

“Pasien-pasien saya sih nanyanya bolak-bolak selalu ‘apa karena Covid-19 saya jadi insomnia?’. Karena kan banyak yang mengidap Covid. Saya bilang sih enggak. Yang enggak Covid pun pada insomnia juga kok,” kata dr. Andreas kepada VICE. 

Praktisi medis mengkategorikan insomnia dalam dua jenis. Pertama, kondisi seseorang sulit merasa rileks sehingga kemampuan tidurnya terganggu. Kedua, kesulitan untuk tetap tertidur yang berakibat pada seringnya tiba-tiba terjaga pada malam hari. 

Penyebab masing-masing kategori berbeda. Untuk kondisi pertama, bisa didorong oleh jam kerja yang tidak konsisten. Bagi masalah kedua, kemungkinan karena usia atau konsumsi kafeine sebelum waktu istirahat.

Iklan

Secara spesifik, isolasi selama pandemi membuat orang tidak hanya merasa kesepian dan stres, tetapi juga kehilangan kebiasaan yang turut berpengaruh pada jam biologis. “Jadi, manusia sebenarnya adalah makhluk irama. We have circadian rhythm: irama pagi, siang, dan malam,” tutur Andreas. 

Secara sederhana, ia menjelaskan ritme alamiah ini merujuk kepada siklus bangun dan tidurnya manusia setiap 24 jam. Ketika ini tidak ada akibat lockdown atau work from home, maka tidak heran seseorang kesulitan untuk tidur nyenyak di malam hari. “Jadi iramanya yang hilang adalah aktivitasnya. Apalagi lingkungannya bolak-balik di sini lagi, di sini lagi. Pencahayaannya ini lagi, ini lagi,” tambahnya.

Saking semakin umumnya, Journal of Clinical Sleep Medicine melaporkan pada Januari 2021, tingkat pencarian kata kunci insomnia di internet secara global melesat sepanjang momen pandemi Covid-19. 

Sebagian besar orang rupanya mencari tahu soal ini ketika tengah malam sampai pukul 05.00 dini hari, dengan lonjakan tertinggi pada sekitar jam 03.00. Peneliti yang bertanggung jawab atas riset tersebut mengaku khawatir semakin lama pandemi berlangsung, semakin banyak orang akan mengalami insomnia kronis yang sulit disembuhkan.

Survei EurekaAlert menemukan peningkatan insomnia terbesar berasal dari para tenaga kesehatan yang memiliki beban kerja kian besar. Dibandingkan kelompok masyarakat lain, mereka lebih rentan mengalami gangguan sulit tidur. Ini juga dirasakan oleh Lutfi Chusnia, seorang nakes di sebuah rumah sakit di Jawa Timur, yang setiap hari hanya tidur selama empat sampai enam jam, tergantung pada jadwal tugas. Bahkan, dia semakin sering terbangun di malam hari.

Iklan

“Bisa sampai enggak tidur lagi karena handphone kan enggak mati [sebab] ada konsultasi dokter. Kadang aku memantau, kadang masih mikirin ‘tadi waktu aku jaga ada kesalahan apa enggak ya?’. Semacam itu,” kata Lutfi saat dihubungi VICE. Masalah tidurnya bertambah serius belakangan ini karena ada beberapa pasien yang ia rawat meninggal dunia akibat terpapar Covid-19.

Bagi yang masih bisa mengatur jadwal tugas, Andreas berharap seseorang mengikuti durasi shift yang searah jam, agar para pekerja kesehatan mendapatkan kualitas istirahat lebih baik. “Misalnya, tiga hari shift pagi, tiga hari shift malam, kemudian libur tiga hari. Enggak boleh berantakan. Kemudian, saat libur jangan terus jalan-jalan. Kembalikan jam biologisnya,” tegasnya.

Dia juga menyarankan agar penderita insomnia pada umumnya untuk disiplin dalam mengatur waktu supaya kondisi tidak memburuk. Berikut adalah tips dari dr. Andreas:

Konsisten membagi waktu bekerja dan beristirahat

Meski harus bekerja dari rumah, irama aktivitas harus tetap dijaga. “Hal sederhana seperti penunjuk waktu berupa dandan, pakaian aktivitas, itu harus tetap dilakukan. 

Minimal pakaian di rumah dan aktivitas pada malam hari harus dibedakan. Jangan dari pagi pakai daster,” kata dia. 

Durasi bekerja pun semestinya mengikuti saat sebelum pandemi. “Harus tetap sesuai jam kerja. Kalau biasanya loose, ya go ahead. Tapi kalau biasanya ada work hours, ya disiplin.” 

Iklan

Bedakan area beraktivitas dan beristirahat

Ini adalah persoalan lain bagi para pekerja yang work from home, apalagi yang tinggal di kost. Seringkali kasur yang dipakai sebagai tidur bertambah fungsi menjadi zona bekerja. Akibatnya, alam bawah sadar menganggap area tersebut sama pada saat seharusnya berbeda. 

“Kesalahan manusia modern adalah membuat kamar tidur selengkap mungkin, senyaman mungkin, tapi untuk aktivitas, bukan untuk tidur. Banyak yang work from home akhirnya di kamar aja,” imbuhnya. 

Atur transisi pencahayaan dari pagi sampai malam

Dengan kondisi terisolasi di dalam ruangan akibat pandemi, banyak orang jarang mendapatkan pencahayaan seperti waktu normal. Tubuh akhirnya sulit membedakan kapan waktu berkegiatan (pagi atau siang hari) dan saat beristirahat (malam hari). Namun, bukannya ini tidak bisa disiasati. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan lampu terang dan membuka jendela pada waktu bekerja. 

Mendekati malam, pencahayaan harus semakin meredup untuk memberi tanda pada tubuh agar beristirahat. “Menjelang tidur, bukan langsung gelap-gelapan. Tapi buat peralihan. Lampunya dibuat kuning dulu. You relax yourself dengan anything you like sebagai pengantar tidur,” urainya.