The VICE Guide to Right Now

Jepang Sukses Kirim Tikus ke Luar Angkasa untuk Uji Coba Memperlambat Penuaan

Ilmuwan berharap eksperimen ini dapat membantu pencarian protein yang dapat mengobati penyakit Alzheimer dan menurunnya daya ingat.
Jepang Sukses Kirim Tikus ke Luar Angkasa untuk Uji Coba Memperlambat Penuaan
Foto ilustrasi pengiriman tikus ke luar angkasa oleh VICE / Pixabay 

Pada 2018 lalu, Jepang mengirim 12 tikus ke luar angkasa. Tikus-tikus itu berhasil kembali dengan selamat ke Bumi setelah berada di ruang tanpa gravitasi selama 31 hari. Di tubuh tikus-tikus tersebut, menurut ilmuwan, ada kunci terobosan ilmiah untuk memperlambat penuaan manusia.

Pekan ini, kesimpulan dari eksperimen melibatkan tikus tersebut diumumkan oleh Badan Antariksa Jepang (JAXA), yang menggelar uji coba ini bersama Tohoku University. Ke-12 tikus tadi dikirim ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), untuk menguji dampak dari protein Nrf2 terhadap proses regenerasi tubuh tikus. Selama ini, Nrf2 sudah digadang-gadang dapat memperlambat penyebaran penyakit berat seperti kanker dan komplikasi diabetes.

Iklan

Separuh dari tikus disuntik Nrf2, selebihnya tidak diberi terapi apapun. Tikus seringkali dipilih menjadi subyek uji coba kesehatan, karena struktur organ internalnya menyerupai manusia.

Sementara luar angkasa dipilih menjadi lokasi uji coba, karena efek hilangnya gravitasi dapat berdampak pada tubuh tikus maupun manusia. Penelitian beberapa tahun lalu menyimpulkan bahwa semakin lama manusia berada di luar angkasa, maka besar kemungkinan terjadi pengeroposan tulang dan gangguan kekebalan tubuh, seakan-akan manusia menua lebih cepat dari seharusnya. Maka, efek Nrf2 pada tikus di ISS akan jadi sarana eksperimen terbaik bagi ilmuwan menguji bisakah protein tersebut memperlambat proses penuaan.

Berdasarkan pantauan tim ilmuwan, setelah berjarak dua tahun, tikus yang tidak disuntik Nrf2 mengalami perubahan komponen darah dan gejala penuaan. Sementara tikus yang mendapat asupan protein sebelum berangkat ke luar angkasa kondisi organ dan syarafnya cenderung sama.



“Kami kini bisa lebih yakin menyimpulkan bahwa gangguan tubuh yang biasa dialami astronot tak lagi muncul berkat protein Nrf2,” kata Masayuki Yamamoto, guru besar biologi molekuler di Tohoku University, seperti dikutip Kyodo News

Selain membantu persiapan astronot sebelum pergi ke luar angkasa, uji coba Nrf2 pada tikus ini juga membuka kemungkinan penelitian lanjutan untuk terapi perlambatan penuaan. Pengembangan Nrf2 diyakini bisa mengarah pada tersedianya obat untuk penyakit yang sering muncul ketika manusia menua, seperti Alzheimer, demensia, dan diabetes. 

Penelitian untuk memperlambat penuaan akan semakin berkembang di masa mendatang, dengan nilai industrinya diyakini bisa mencapai US$610 miliar pada 2025. Seiring meningkatnya harapan hidup penduduk banyak negara, generasi yang menua akan menjadi problem tersendiri di masa mendatang.

Selain pengembangan protein Nrf2, ada beberapa taktik perlambatan penuaan yang kini terus diteliti ilmuwan. Dua di antaranya adalah metode kontroversial pembekuan tubuh (cyrogenic) serta transplantasi organ, yang mengandaikan organ yang gagal bisa diganti seperti saat kita memasang onderdil baru ke mobil.