Kejahatan

Ngobrol Dengan Dokter yang Tak Mau Lagi Jalankan 'Tes Keperawanan'

Tes keperawanan menurut WHO tidak memiliki dasar ilmiah. Dokter di negara seperti Pakistan masih sering melakukannya. TNI/Polri juga masih menerapakannya saat merekrut calon anggota.
HJ
Islamabad, PK
Perempuan mengangkat poster bertuliskan "unsafe is my default existence"
Aksi demo mengkritik kasus pemerkosaan yang menimpa perempuan Pakistan pada 12 September 2020. Foto: ABDUL MAJEED/AFP.

Pengadilan Tinggi Lahore di Provinsi Punjab, Pakistan, resmi melarang “tes keperawanan” dua jari pada korban pemerkosaan pekan lalu, dengan menyatakan tes ini dilakukan “tanpa dasar medikolegal” dan telah “merendahkan martabat perempuan yang menjadi korban”. Presiden Pakistan Arif Alvi sudah melarang tes keperawanan sejak Desember 2020, tetapi peraturannya belum ditegakkan.

“Tes keperawanan sangat invasif serta tidak memiliki dasar ilmiah dan medis, tapi dilakukan dengan alasan protokol kesehatan untuk kasus kekerasan seksual,” Hakim Ayesha A. Malik menyampaikan putusannya.

Iklan

Namun, keputusan tersebut hanya berlaku di Provinsi Punjab.

Dr Summaiya Syed Tariq adalah ahli bedah polisi yang bekerja di Jinnah Post Graduate Medical Center di Karachi, Pakistan selatan. Dia telah melakukan tes dua jari sejak memulai kariernya pada 1999. “[Larangan] ini adalah lompatan besar bagi perempuan,” Dr Tariq memberi tahu VICE World News.

Sang dokter mulai mengurangi tes keperawanan pada 2010, dan berhenti total pada 2015. “Pedoman WHO menunjukkan tes pemeriksaan pada korban pemerkosaan tidak memiliki dasar ilmiah,” lanjutnya. “Tes ini seharusnya dilarang sejak dulu.”

Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan tes keperawanan dilakukan di 20 negara, termasuk Pakistan yang masih sangat patriarkis. Sementara itu, praktiknya telah dilakukan sejak 2013 di India dan 2018 di Bangladesh. Di Indonesia, institusi seperti TNI dan Polri terus menjalankan tes keperawanan untuk menyaring calon anggota baru, sekalipun mendapat banyak kritikan.

Menurut penjelasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tes keperawanan dilakukan untuk mengecek apakah selaput dara perempuan — jaringan mukosa tipis yang sebagian menutupi lubang vagina — robek atau tidak. Perempuan diyakini sudah berhubungan seks jika selaput dara mereka robek.

Dr Tariq aktif mengampanyekan larangan pemeriksaan yang problematis tersebut. “[Tes dua jari] jauh lebih mudah daripada mengumpulkan bukti. Saya berusaha untuk tidak mengajarkan praktik ini kepada petugas medikolegal [WMLO].”

Iklan

Apabila tes dua jari menunjukkan perempuan yang belum menikah aktif secara seksual sebelum diperkosa, maka wacana langsung beralih ke perempuan tersebut. Prosedur tindak lanjut, seperti pemeriksaan forensik dan tes usap vagina, tak lagi signifikan.

Banyak WMLO melakukan tes keperawanan supaya tidak perlu mengumpulkan bukti yang memakan waktu. Akan tetapi, beberapa petugas mengelak ketika ditanyakan perihal ini.

“Setelah melakukan tes dua jari, mereka akan menulis “pemeriksaan membuktikan dia [korban] sudah tidak perawan, dan pendapat akhir tentang kekerasan seksual akan diberikan setelah menerima laporan,’” Dr Tariq mengungkapkan. “Ini bagaikan memperkosa penyintas untuk kedua kalinya.”

Aktivis HAM menjelaskan perempuan sering kali diperiksa tanpa persetujuan mereka. “Banyak penyintas tidak memahami prosedurnya dan diperiksa tanpa persetujuan mereka,” kata Sidra Humayun, anggota organisasi War Against Rape, kepada VICE World News.

Dr Amen Khurshid, 29 tahun, bekerja di bawah pengawasan Dr Tariq. Dia berpendapat tes dua jari “memalukan bagi korban kekerasan seksual. Prosedur dan dokumentasinya tidak masuk akal dan konyol.”

Meskipun demikian, dia masih melakukan 40-50 tes keperawanan setiap tahunnya di rumah sakit terbesar di Karachi. Dia merasa praktik itu mencerminkan pola pikir masyarakat Pakistan. “Perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan. Dalam banyak kasus, karakter mereka ‘dibunuh.’”

Iklan

Sejauh ini hanya ada 12 WMLO yang bertugas di kota berpenduduk 15 juta jiwa. Jumlahnya naik 10 orang dari 2018.

“Dokter perempuan tidak tahu caranya melakukan medikolegal, jadi dia meminta bantuan seniornya yang laki-laki. Dokter senior itu memeriksa saya, sambil diamati oleh juniornya. Saya merasa sangat malu,” penyintas kekerasan seksual di Lahore mengenang pengalaman traumatisnya.

Sama seperti beberapa WMLO lain, Dr Khurshid masih melakukan tes keperawanan kepada penyintas. Mereka mengaku belum menerima pedoman baru. “Pemerintah belum memberikan perintah apa pun untuk menghentikan tes keperawanan. Saya melakukan empat tes pada akhir Desember.”

Tak semua dokter setuju dengan keputusan tersebut. Banyak yang berpandangan tes dua jari dapat langsung menunjukkan bukti kekerasan seksual ketika penyintas masih di bawah umur. Orang yang diperiksa tak perlu menjalani tes forensik yang panjang. Dr Shumaila Abbas di Sialkot, Pakistan timur menyayangkan keputusan itu.

“Seharusnya tidak ada larangan menyeluruh pada tes dua jari,” ujarnya. “Tes ini seharusnya diizinkan untuk kasus pemerkosaan yang masih baru dan pada remaja yang masih perawan. Tes ini seharusnya diizinkan ketika tak ada lagi cara lain untuk membuktikan sesuatu yang terikat waktu.”

Berdasarkan data LSM yang melindungi hak-hak perempuan dan anak, ada 1.868 kasus pemerkosaan dan 928 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di Pakistan selama paruh pertama 2020. Tingkat hukuman bagi pemerkosa kurang dari tiga persen di sana.

Follow Haroon Janjua di Twitter.