Seorang lelaki mengenakan masker disuntik tangannya
Foto ilustra FG Trade via Getty Images
sains dan teknologi

Selain Covid, Niat Ilmuwan Temukan Vaksin Flu Universal Mendekati Kenyataan

Andai vaksin flu universal ditemukan, gejala demam, pilek, dan batuk tiap pergantian musim akan menjadi kenangan masa lalu.

Musim flu tahunan karena pergantian musim telah tiba. Sudah waktunya kita melakukan vaksin flu sebelum tumbang. Berbeda dari vaksin lain yang dilakukan satu kali seumur hidup, vaksin flu lazimnya harus dilakukan setiap tahun.

Kedengarannya mungkin bukan masalah besar, tapi melakukan vaksin setiap tahun tidak semudah itu. Faktanya, berdasarkan data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), cakupan vaksin flu di negeri Paman Sam belum berhasil mencapai 50 persen dalam 10 tahun terakhir. Padahal, kekebalan kelompok (herd immunity) baru bisa terwujud jika cakupan vaksinnya mencapai 50 persen.

Iklan

Dalam satu dekade terakhir, CDC memperkirakan virus flu di AS menghabiskan biaya pengobatan sebesar $10,4 miliar (setara Rp147 triliun) dan menewaskan sekitar 12.000-61.000 jiwa setiap tahun.

Ada banyak alasan kenapa AS gagal mencapai target tersebut — sikap anti-vaksin dan ketidakpedulian hanyalah dua contohnya — tetapi kurangnya akses menjadi faktor utama. Undang-Undang Perlindungan Pasien dan Perawatan Terjangkau (UU ACA atau Obamacare) mewajibkan perusahaan asuransi kesehatan untuk menanggung biaya vaksinasi flu, tapi tanggungan itu dapat menghasilkan premi asuransi yang lebih tinggi. Sementara itu, orang yang tidak pegang asuransi harus bayar sendiri.

Kalau begitu, apakah tidak ada vaksin flu yang bisa diberikan satu kali saja? Sebelumnya memang tidak ada, tapi inilah yang mendasari program pembuatan vaksin flu universal. Para ilmuwan telah meneliti dasar-dasarnya selama lebih dari satu dekade, tapi kemajuan baru-baru ini membuat mereka semakin percaya diri bahwa kita sudah semakin dekat menuju vaksin flu universal.

“Ada kebutuhan mendesak untuk menciptakan vaksin influenza yang memberikan perlindungan lebih luas dan tahan lama,” ujar Alan Embry, kepala Cabang Penyakit Pernapasan dari Institut Nasional Penyakit Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID). “Sudah menjadi prioritas NIAID untuk mewujudkan vaksin flu universal. Kami yakin ini dapat dicapai dengan upaya yang signifikan dan berkelanjutan.”

Iklan

Apa itu vaksin universal?

Vaksin mengandung patogen yang dilemahkan, mati atau parsial yang akan merangsang tubuh untuk membentuk kekebalan terhadap penyakit tersebut.

Sistem kekebalan tubuh akan memproduksi protein yang disebut antibodi, dan nantinya antibodi ini menempelkan diri pada protein lain di permukaan partikel virus. Setelah itu, sel-sel dari sistem kekebalan akan mengenali dan menghancurkan virus. Namun, butuh waktu berminggu-minggu untuk menghasilkan antibodi yang memiliki afinitas pengikatan tinggi pada protein permukaan patogen serta “pabrik” antibodi yang membuatnya dalam skala besar.

Dari keempat jenis flu (tipe A-D), virus influenza tipe A dapat menyebabkan wabah atau bahkan pandemi. Jenis virus inilah yang menjadi target utama vaksin universal. Panel NIOSH 2017, yang diketuai oleh Anthony Fauci, menyebut vaksin universal mampu melawan semua virus influenza A setidaknya hingga 75 persen, dan memberikan perlindungan tahan lama setidaknya selama satu tahun untuk semua kelompok usia. Walaupun begitu, pemberian sekali seumur hidup tetap menjadi tujuan utama vaksin ini.

“Ini bagaikan main kejar-kejaran.”

Vaksin ini akan mengincar protein permukaan pada virus influenza A yang disebut hemaglutinin (Ha). Ha terdiri dari daerah kepala dan batang. Arup Chakraborty, profesor teknik kimia dan fisika di MIT yang mendalami respons imun terhadap patogen, menjelaskan sistem kekebalan cenderung menghasilkan antibodi yang dapat menempel dengan baik pada daerah kepala. Menurutnya, daerah kepala bermutasi cukup cepat sehingga antibodi sebelumnya tidak dapat mengincar protein Ha pada flu selanjutnya. Vaksin flu diberikan setiap tahun untuk mencegah ini.

Iklan

Asisten profesor Daniel Lingwood dari Fakultas Kedokteran Harvard menggambarkan virus seolah-olah melambaikan bendera dengan protein Ha untuk menarik perhatian sistem kekebalan tubuh. “Ini bagaikan main kejar-kejaran,” tutur Lingwood.

Sebaliknya, vaksin universal akan mendorong sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang mengikat sebuah daerah yang tidak bermutasi dengan cepat, seperti daerah batang pada protein Ha.

Embry mengutarakan ada dua alasan utama beberapa vaksin flu kurang efektif. Pertama, Organisasi Kesehatan Dunia mengadakan konferensi tahunan untuk memprediksi strain flu mana yang akan muncul di musim flu mendatang. WHO lalu merekomendasikan komposisi vaksin flu Belahan Bumi Utara. Akan tetapi, prediksi mereka terkadang meleset.

“Vaksin flu universal akan memberikan perlindungan yang lebih luas terhadap semua virus influenza, sehingga setiap tahunnya tak perlu lagi memprediksi virus mana yang akan muncul,” terang Embry.

Alasan kedua adalah 90 persen vaksin flu dibuat menggunakan media telur. Strain flu yang disuntikkan ke dalam telur ayam dapat menghasilkan mutasi yang tidak ada dalam strain yang beredar, yang menyebabkan ketidaksesuaian antara antibodi yang dikembangkan vaksin dan protein pada virus flu yang menjadi sasaran. Tak seperti vaksin flu lainnya, proses pembuatan vaksin universal tidak membutuhkan telur ayam.

Kenapa orang-orang yakin vaksin flu universal sudah semakin dekat?

Saat ini, ada beberapa kandidat vaksin yang diuji klinis di Amerika dan Eropa. Embry berujar kandidat vaksin tersebut menargetkan daerah selain kepala Ha, meskipun hingga saat ini, uji coba yang sudah selesai belum menunjukkan “sinyal positif”.

Satu pendekatan baru mengidentifikasi protein kandidat vaksin menggunakan imunologi komputasi, cabang penelitian yang menggunakan algoritme komputer untuk memodelkan struktur protein. Lingwood dan Chakraborty mengetuai penelitian yang mengambil pendekatan komputasi dan eksperimental gabungan.

Iklan

Diterbitkan Oktober lalu dalam jurnal Cell, karya ilmiah mereka memodelkan proses sistem kekebalan tubuh meningkatkan respons ketika diberikan beberapa jenis patogen. Mereka kemudian menerapkan temuannya untuk merekayasa vaksin dan menciptakan rejimen yang memberikan kekebalan tinggi kepada tikus dalam bentuk “antibodi penetralisir luas”, atau antibodi yang mengikat dengan baik pada banyak subtipe flu.

Dengan kata lain, Lingwood dan Chakraborty tampaknya sudah berada di jalan yang benar.

Para peneliti tidak sepenuhnya yakin kenapa kandidat vaksin universal di masa lalu tampak menjanjikan dalam studi tapi tidak memenuhi harapan setelah diuji klinis. Pencetakan imunologi mungkin ada hubungannya dengan kegagalan ini. Pada dasarnya, setiap orang memiliki tingkat kerentanan yang berbeda terhadap infeksi flu berdasarkan serangan virus pertamanya. Setelah terinfeksi kembali dengan jenis virus serupa, tubuh merespons seolah-olah menangkap strain pertama dan memproduksi antibodi yang kurang spesifik untuk infeksi baru.

“Ada bukti yang menunjukkan kemungkinan pertemuan pertama dengan influenza secara signifikan memengaruhi respons kekebalan kita selanjutnya seiring bertambahnya usia,” kata Embry. Saat ini, NIAID mendukung dua studi kohort yang akan mengamati kelompok anak-anak dan melacak flu pertama mereka serta infeksi berikutnya.

Menuju ‘vaksin pan-coronavirus’

Terlepas dari semua tantangan yang ada, Embry menyampaikan peneliti “sangat mungkin” membuat kemajuan dalam dekade berikutnya dan bergerak menuju realisasi vaksin flu universal.

Pendekatan baru seperti imunologi komputasi dapat membantu kita mewujudkan itu. Chakraborty menuturkan peneliti memperlakukan vaksin dan kekebalan tubuh layaknya kotak hitam selama ini. Pendekatan komputasi berusaha menjelaskan proses dan alasan kekebalan tubuh berkembang, agar peneliti memiliki kendali lebih terhadapnya.

Iklan

Kandidat vaksin lain sudah memasuki berbagai tahap dalam uji praklinis dan klinis, termasuk vaksin berbahan tumbuhan yang sedikit memperkuat perlindungan terhadap flu berdasarkan hasil uji coba Tahap 3 yang diterbitkan pada November, dan vaksin berbasis nanopartikel yang sudah selesai menjalani uji coba Tahap 2.

NasoVAX, kandidat vaksin flu universal yang berupa semprotan hidung, sedang diteliti sebagai kemungkinan pengobatan infeksi coronavirus. Perusahaan Altimmune, yang memproduksi vaksin tersebut, berencana menyelesaikan pendataan pada awal 2021.

Selain berguna untuk virus flu lainnya, proses pembuatan vaksin universal bisa membuka jalan bagi vaksin lain, khususnya yang dapat melawan virus yang bermutasi dengan cepat. Chakraborty mengambil contoh coronavirus jenis baru.

“Patogen yang rumit seperti HIV dan influenza mungkin berguna jika suatu saat nanti kami harus memikirkan tentang vaksin pan-coronavirus,” simpulnya.