serba-serbi pekerjaan

Aku Harus Masuk Kantor Lagi, Tapi Khawatir Membawa Virus ke Keluarga

Bagaimana caranya meyakinkan atasan supaya bisa tetap bekerja di rumah, terutama jika kalian memiliki anggota keluarga yang rentan tertular?
ilustrasi orang terpapar virus corona karena masuk kantor

Curhatan pembaca: Aku sudah WFH dari awal pandemi. Tempatku bekerja pengertian, dan bilang enggak ada “tanggal pasti” kapan kami harus masuk kantor lagi. Tapi, mereka mendadak berubah pikiran belum lama ini. Semua karyawan wajib masuk kantor paling lambat bulan depan.

Suami menderita immunocompromised (gangguan defisiensi imun), dan aku enggak mau membahayakan kesehatannya. Keputusan perusahaan sangat menyudutkanku.

Iklan

Aku bingung mesti bagaimana. Aku enggak yakin akan mendapat perlindungan jika bekerja di kantor, atau menerima pesangon jika dipecat. Kalau aku membahas masalah ini dengan atasan, terlepas ada rekan kerja yang mau bantuin atau enggak, aku yakin mereka akan menyuruhku menjalaninya saja. Mereka bisa dengan mudah memecatku karena ada banyak orang yang butuh pekerjaan. Tapi masalahnya kalau sampai aku dipecat, mencari pekerjaan sedang susah banget sekarang.

Apa yang sebaiknya aku lakukan? Tetap masuk kantor dan membahayakan kesehatan suami karena yakin perusahaanku bisa bertahan, atau mencari pekerjaan baru dan berisiko dipecat lagi begitu gelombang baru menghantam?

Tenang, kamu enggak sendirian menghadapi ini. Banyak banget pembaca yang curhat sedang dalam posisi serupa, dan harus memilih antara mempertahankan posisi kerja aman atau mementingkan kesehatan keluarga dan diri sendiri.

Tak sedikit perusahaan yang terlalu terburu-buru mewajibkan karyawan masuk kantor, padahal pakar kesehatan belum mengatakan kondisinya sudah aman (dan sering kali kasus penularan lokalnya masih terus naik). Kamu bisa mencoba cara-cara berikut ini supaya diberi keringanan oleh perusahaan.

Pertama, kamu wajib ngomong sama atasan. Kasih penjelasan kalau suami kamu menderita immunocompromised dan berisiko tertular COVID-19. Bilang kepada mereka, kamu akan membahayakan kesehatannya jika masuk kantor. Coba tanya boleh bekerja dari rumah atau enggak. Kalau memang perlu, kamu bisa menunjukkan riwayat kesehatan suami atau bukti pekerjaanmu lancar-lancar saja selama di rumah. Kamu bisa menanyakannya langsung ke HR atau atasan, tergantung siapa yang menurutmu lebih enak diajak ngobrol. Alasan ini seharusnya sudah cukup kalau atasanmu baik. Banyak perusahaan memberikan keringanan untuk orang-orang dalam situasimu, yang terpenting kamu tanya dulu ke atasan.

Iklan

Nah, bagaimana kalau ternyata perusahaan menolak? Kamu bisa meminta bantuan rekan satu kantor. Bisa jadi ada karyawan lain yang menghadapi situasi ini. Kalaupun enggak, mereka pasti akan mendukungmu. Akan lebih sulit bagi perusahaan untuk menolak permintaan banyak orang. Sebagai karyawan, kamu berhak menyuarakan keprihatinan ke perusahaan. Selama enggak menyimpang, tindakan ini dilindungi UU Ketenagakerjaan.

Jika atasan tetap menolak, mau tak mau kamu harus memilih akan melakukan apa selanjutnya. Pastikan kamu memberi tahu atasan kalau ingin berhenti bekerja di sana. Siapa tahu ini mendorong mereka untuk mempertahankan kamu. Bicarakan sebaik mungkin. Jangan sampai menggertak, karena ini hanya akan membuat mereka menyetujui pengunduran dirimu.

Sayangnya, kamu enggak akan menerima pesangon apabila resign karena alasan ini. Jadi kamu harus mempertimbangkan bisa bertahan berapa lama tanpa gaji bulanan, dan kira-kira akan seberapa cepat kamu mendapat pekerjaan baru (kita enggak bisa memprediksi ini melihat sekarang banyak yang kena PHK dan kesulitan mencari pekerjaan). Kamu juga perlu memikirkan apakah tempat kerja baru akan mengizinkan kerja dari rumah. Benar-benar pilihan yang sulit.

Ya, kamu bukan satu-satunya karyawan yang menghadapi situasi ini. Tapi rasanya enggak masuk akal saja kalau perusahaan ogah mengizinkan bekerja dari rumah, padahal selama ini pekerjaan kamu lancar-lancar saja meski enggak dari kantor.

Silakan baca saran-saran lainnya dari Alison Green di Ask a Manager atau dalam bukunya.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US