Dua tahun lalu, saya menghadiri International Astronautical Congress di Meksiko. Dalam perhelatan itulah, Elon Musk pertama kali mempresentasikan rencananya mengolonisasi Mars. Garis besar pesan Mz Musk gampang saja sebenarnya: Udah ikut saja kami ke Mars. Yang jadi masalah, detail-detail dari rencana seakbar ini, seperti bagaimana kita—manusia biasa yang koceknya tidak sedalam Elon Musk—bisa membayar tiket ke Mars yang konon dipatok di harga $200.000 (setara Rp2,8 miliar) sebijinya, alpa dibahas. Barangkali, bagi Mz Musk ini enggak penting sama sekali atau bisa ditunda dibicarakan..
Begitulah, setelah puluhan memimpikan menjalani perjalanan luar angkasa, Mz Musk benar-benar menjadikannya sebuah kenyataan.
Videos by VICE
Maju ke hari Selasa dan Rabu kemarin, SpaceX menggelar pembukaan “Lokakarya Mars” di University of Colorado Boulder. Konferensi ini diadakan untuk menegaskan keseriusan salah satu perusahaan Mz Musk itu terkait ambisinya untuk mengkolonisasi planet merah dan untuk membahas permasalah teknis mendasar dari upaya menerbangkan ratusan orang, menembus jutaan kilometer angkasa luar yang sepi.
Saya berani taruhan, kalian semua tak mendengar kabar tentang konferensi sampai artikel ini terbit. Saya bukannya sombong jadi salah satu orang pertama yang mengabarkan pertemuan tersebut. Namun, lokakarya tersebut memang hanya diikuti oleh para orang dalam di SpaceX dan akademisi yang diminta secara eksplisit untuk tidak mempublikasikan kehadiran mereka di lokakarya ini. Ironis kan? hanya berjarak dua tahun dari kali pertama Mz Musk menjabarkan rencana akbarnya mengajak umat manusia mengolonisasi Mars, kita dihadapkan pada fakta pahit: hanya orang-orang yang dipilih Mz Musk yang boleh ikut dalam rencana kolonisasi Mars.
Ini menandai perubahan drastis kebijakan komunikasi NASA sekaligus memperlihatkan masalah-masalah yang muncul dari privatisasi sumber daya publik. Selepas program Apollo berakhir, NASA berupaya keras untuk meningkatkan transparansi program-program mereka dan aktif menyebarkan informasi tentang rencana mereka pada publik. Jika pun ada kasus saat NASA belum membuka akses pada dokumen-dokumen tertentu, penduduk Amerika bisa memaksa NASA melakukannya karena hak mereka toh dilindungi oleh Freedom of Information Act.
Hal serupa tak berlaku pada SpaceX dan perusahaan swasta sejenisnya. Ada hal-hal yang membedakan NASA dengan perusahaan macam SpaceX. Misalnya, bila NASA selalu merilis dokumentasi perkembangan teknologi yang mereka gunakan lewat Technical Reports Server, teknologi SpaceX adalah properti intelektual pribadi, yang tak bisa diumbar ke publik. Lalu, jika NASA selalu mempublikasikan rencana-rencananya, SpaceX mendiskusikan rencana mereka secara tertutup. makanya, kendati SpaceX sesumbar ingin membangun masa depan manusia, hanya segelintir orang saja yang “diundang” untuk mengomentari rencana mereka.
Ini jelas bermasalah sebab angkasa luar semestinya jadi ruang publik, dan sayangnya kini malah disodorkan pada korporasi. Angkasa luar milik semua orang. Namun, sayangnya, korporasi pribadi macam SpaceX tak diwajibkan membeberkan rencana mereka mengeksplorasi luar angkasa. Kita, manusia biasa yang derajatnya jauh di bawah Mz Musk, dikutuk selalu terlambat tahu rencana SpaceX. kita diblokir dari percakapan tentang diskusi tentang eksplorasi luar angkasa. Akibatnya, kita kehilangan kendali akan masa depan kita bersama.
Sebelum kedok Mz Musk terbongkar—ternyata dia cuma pengusaha teknologi tajir melintir yang benci serikat pekerja, anti insan pers dan alergi berdekatan dengan kaum papa, Mz Musk berhasil mempresentasikan perusahaan-perusahaannya sebagai jawaban akan masalah manusia sekaligus mengisyaratkan bahwa kita bisa jadi tajir seperti dirinya hanya dengan berbuat baik. Dalam retorika Mz Musk yang sok humanis itu, Telsa akan memutus ketergantungan kita akan bahan bakar fosil, Boring Company akan melenyapkan kemacetan, Solar City akan menyediakan listrik bersih dan murah dan SpaceX akan menaikan derajat manusia menuju peradaban multi planet.
Belakangan, Mz Musk kebingungan berpura-pura bahwa dirinya bekerja demi kemaslahatan umat manusia atau bahwa dia tahu apa yang terbaik bagi masa depan kita semua. Masalahnya, kalau kamu sudah kelewat tajir hingga uangmu tak berseri lagi dan punya keinginan untuk mengolonisasi planet lain, memang suara orang lain masih ada artinya?
Sepertinya, di kuping Mz Musk, suara kita sudah tak ada harganya.