Bagi Devita Arisanti berutang bukanlah hal yang tabu. Di dompet perempuan usia 35 tahun tersebut tersimpan rapi deretan kartu kredit, dari silver hingga platinum. Kartu utang tersebut, katanya, justru memudahkan orang untuk berbelanja dan mengatur keuangan. Sudah lima tahun belakangan Devita rutin menggunakan kartu kreditnya buat membeli kebutuhan pokok dan sesekali berbelanja pakaian atau elektronik. Dalam sebulan paling tidak total tagihannya bisa mencapai Rp5 juta.
Namun kini dengan hadirnya ragam aplikasi utang berbasis dalam jaringan (peer to peer lending), Devita kian tak kuasa menekan nafsu belanjanya. Sudah beberapa tahun belakangan pengalaman berbelanja online kian mudah dengan adanya aplikasi pinjaman online yang memungkinkan orang untuk mencicil belanjaannya tanpa kartu kredit. Cukup mendaftar dan mengunggah kartu identitas, setiap orang telah dapat menggunakan jasa pinjaman online di situs belanja manapun.
Videos by VICE
“Awalnya cuma penasaran, eh ternyata memang gampang banget daftar,” kata perempuan wiraswasta tersebut. “Abis itu langsung kalap belanja. Tagihan membengkak. Ini sih sudah terjebak utang namanya.”
Sementara bagi Nike Shabrina yang seumur-umur belum pernah punya kartu kredit, aplikasi pinjaman online tersebut sangat membantu ketika terjadi hal-hal darurat. Sekali waktu pernah, kata Nike, ketika pendingin ruangan di rumah rusak, aplikasi pinjaman online menyelamatkan kamar tidurnya dari hawa panas bulan Oktober.
“Beli AC pakai uang tunai jelas enggak masuk opsi,” kata Nike. “Tapi pakai aplikasi ini AC langsung kebeli dan terpasang tanpa keluar duit di awal.”
Untuk membeli perangkat pendingin ruangan tersebut Nike harus mencicilnya selama enam bulan dengan bunga 2.95 persen. Pendingin ruangan seharga Rp3 juta tersebut harus dibayar dengan cicilan Rp700 ribu setiap bulannya.
Dari situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sudah ada sekira 63 penyedia jasa pinjaman online per Juni 2018. Itu belum termasuk penyedia yang tidak terdaftar di OJK yang jumlah disinyalir lebih banyak. Hingga April 2018, jumlah pinjaman yang diguyurkan perusahaan mencapai Rp5,5 triliun.
Beragam aplikasi seperti Kredivo, Akulaku, dan HomeCredit berlomba menawarkan bunga cicilan terendah dan mekanisme “beli sekarang bayar nanti” yang memungkinkan konsumen membayar barang 30 hari kemudian.
Jelas siapa yang tidak tergiur?
Tapi dalam kemudahan tersebut sebenarnya tersimpan jebakan utang yang tak berkesudahan, jika tidak ada kontrol diri tentunya. Meski OJK bilang bahwa rasio kredit macet gara-gara aplikasi pinjaman online masih aman di kisaran 0.53 persen, pengamat ekonomi Ina Primiana dari Center of Reform on Economics (CORE) mewanti-wanti bahwa risiko naiknya rasio non-performing loan (NPL) tetap bisa meningkat mengingat para start-up pinjaman online tersebut belum memiliki manajemen risiko yang teruji.
“Mereka tetap bukan dari dunia perbankan,” kata Ina kepada VICE Indonesia. “Perbankan punya pengalaman bertahun-tahun, punya manajemen risiko dan assessment yang baik. Makanya kita harus berhati-hati jika meminjam di start-up karena bukan enggak mungkin kita justru terjebak.”
Saking mudahnya meminjam via aplikasi online, terkadang start-up tersebut tidak melakukan screening skor kredit di Bank Indonesia. Padahal cara tersebut telah dilakukan oleh hampir semua bank untuk menilai performa pembayaran nasabahnya, atau digunakan untuk mengecek sejarah kredit seseorang sebelum menyetujui aplikasi pinjaman seseorang.
“Jika dulu bank harus meminta agunan sebelum menyetujui pinjaman, sekarang enggak begitu. Orang bisa meminjam uang atau membeli barang dengan modal KTP saja, ini sangat berisiko,” kata Ina.
Ina bilang bahwa yang terpenting untuk menghindari kredit macet dan tumpukan utang adalah dengan mengedukasi masyarakat terlebih dulu. Jangan sampai, kata Ina, maraknya pinjaman online tersebut justru menyusahkan masyarakat di tengah kondisi ekonomi saat ini.
“Generasi milenial sekarang maunya serba cepat, tapi di sinilah justru kita butuh prinsip kehati-hatian,” kata Ina.
Sebaliknya, perusahaan pinjaman online Crowdo Indonesia mengatakan bahwa rasio non-performing loan masih tergolong rendah, yakni di kisaran 1 persen. Menurut general manager Crowdo Cally Alexandra perusahaannya tetap melakukan proses screening sesuai prosedur untuk menekan risiko kredit macet. Crowdo, kata Cally punya sistem artificial intelligence yang sanggup menilai kemampuan bayar calon nasabah.
“Selain sistem artificial intelligence, kami menerapkan sistem jangka waktu pinjaman yang terbilang pendek dibanding pemain lain yakni 1-12 bulan,” kata Cally.
Baca artikel VICE lain yang membahas tentang pengelolaan
Baik Crowdo dan puluhan perusahaan lain tentu sadar bahwa generasi milenial adalah sasaran empuk. Dari sebuah survei dari Snapcart pada Januari 2018 menunjukkan bahwa persentase generasi milenial sebagai pembelanja online mencapai angka 50 persen. Sementara survei dari Nielsen mengatakan bahwa generasi Z juga telah menunjukkan geliatnya dalam berbelanja online, dengan 62 persen anak muda memilih membeli peralatan elektronik secara online. Dari situ terlihat bahwa potensi anak muda sebagai generasi pembelanja masih sangat besar, yang tentu saja rentan terjebak dalam utang jika tidak diedukasi.
Tasa Nugraza Barley selaku direktur marketing dan pengembangan komunitas Asosiasi FinTech Indonesia (Aftech) mengatakan bahwa generasi milenial sudah bersinonim dengan teknologi. Makanya, dengan adanya teknologi finansial (fintech) tersebut, perusahaan pinjaman online bisa menjadi jembatan dengan industri ritel. Namun di tengah kemudahan yang ditawarkan, Aftech menjamin bahwa industri fintech tetap mengedepankan asas kehati-hatian dalam mengucurkan pinjaman kepada nasabah.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa generasi milenial adalah generasi yang konsumtif,” kata Barley. “Dan tidak semua bisa mendapat akses ke perbankan konvensional. Namun tetap kami selalu memberi edukasi dan literasi keuangan, tentang bagaimana mengelola keuangan juga,” katanya.